Chapter 64 – The Journey to Shandai (Perjalanan ke Shandai)
Langit di atas Lembah Arashi diselimuti kabut halus saat Zienxi berdiri di tepi Pinggir Arus, menyaksikan aliran cahaya spiritual yang lembut mengalir seperti sungai surgawi. Cahaya keemasan dari fajar baru mulai menyusup melalui celah-celah kabut, menciptakan kilauan seperti permata di permukaan air. Ia memandangi tempat itu untuk terakhir kalinya sebelum berbalik dan bersiap melanjutkan perjalanan.
"Sudah waktunya," gumamnya pelan. Suaranya hampir tenggelam oleh desir lembut angin lembah.
Ia melompat ke udara dan terbang dengan tenang, aura spiritual mengalir lembut dari tubuhnya, menyelimuti sosoknya dalam cahaya keperakan. Tujuannya, Kota Shandai di timur sebuah kota yang dikenal sebagai pusat alkimia dan tempat berkumpulnya para pembuat pil.
Selama dua hari penuh, ia melintasi hutan-hutan lebat dan pegunungan terjal. Kanopi pohon-pohon raksasa di bawahnya tampak seperti samudra hijau, dan hembusan angin malam terasa dingin namun menyegarkan. Sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi rencana. Ia membutuhkan tungku pil. Dengan itu, ia bisa mulai meracik pil-pil penting untuk masa depan kultivasinya.
Namun, saat hari ketiga fajar menyingsing, ia melewati sebuah lembah kecil yang tersembunyi. Lembah itu sunyi, hanya dihuni oleh semak-semak rendah dan batu-batu yang ditumbuhi lumut. Di sanalah ia melihat lima sosok berkeliaran di antara batu-batu besar. Mereka tampak seperti kultivator kelana berpenampilan lusuh, dengan tatapan waspada dan niat buruk terpancar dari aura mereka.
Salah satu dari mereka, seorang pria berambut gimbal dengan jubah hitam kusut, menunjuk ke arah Zienxi.
"Hei! Kau lihat itu? Seorang bocah! Terbang sendirian!"
Seorang wanita dengan mata sipit dan senyum sinis menjawab, "Aura kultivasinya tidak terlalu tinggi... tapi dia membawa harta dalam kantong spiritualnya. Bisa jadi hasilnya lumayan."
"Bagaimana kalau kita rampas saja?" kata seorang lainnya, suara seraknya seperti batu digesekkan.
Zienxi menyadari mereka mulai bergerak ke arahnya. Ia mempercepat lajunya, tetapi tidak panik. Matanya tetap tenang, penuh perhitungan.
"Berhenti! Serahkan harta dan kantong rohmu!" teriak si pria gimbal sambil terbang mendekat.
Zienxi tak menggubris, tetap meluncur maju tanpa menoleh.
"Sombong sekali bocah ini!" seru yang bersuara serak. "Kubunuh saja dia!"
Dengan gerakan cepat, pria gimbal melesat ke depan dan mengayunkan pedangnya ke arah Zienxi.
Zienxi tiba-tiba berhenti di udara, tubuhnya berbalik seperti daun yang tertiup angin. Dengan satu kilatan, pedangnya sudah berada di tangannya.
"Kalian yang memulai," ucapnya datar.
Serangan pertama datang dari pria gimbal. Pedangnya menyambar dengan kecepatan tinggi, namun Zienxi menangkisnya dengan mudah. Denting logam bergema keras di udara.
"Dia bisa menangkisnya?!" seru wanita bermata sipit.
Zienxi menyelipkan kakinya dan mendorong pria itu ke belakang, lalu membalik tubuhnya dan menyerang balik. Dalam dua tarikan napas, pedangnya telah menembus dada pria itu. Darah menyembur, tubuhnya melayang jatuh ke bawah.
"Dia membunuh Foh Lun!" salah satu dari mereka berteriak.
"Serang bersamaan!" teriak wanita bermata sipit.
Mereka semua melesat bersamaan, membentuk formasi tak resmi, mencoba mengepung Zienxi dari berbagai arah.
"Kubuat kau menyesal menantang kami!" teriak pria berbaju merah dengan tato di lengan.
Zienxi mengayunkan pedangnya, menciptakan gelombang energi berbentuk sabit yang memotong udara. Gelombang itu menebas dua dari mereka yang datang dari kiri.
"Arghhh!" teriak salah satu sebelum tubuhnya terpotong di bagian perut.
Zienxi bergerak dengan kecepatan luar biasa. Ia melompat ke depan, pedangnya menusuk ke arah dada pria bertato. Dua napas berlalu, dan pria itu pun jatuh ke tanah dengan mata terbelalak.
"Dia... dia iblis!" teriak wanita bermata sipit dengan napas terengah.
"Kita tidak bisa kabur!" sahut yang lain. "Dia lebih cepat dari kita!"
Wanita itu mencoba melontarkan mantra api. Segel terbentuk di udara, namun sebelum sempat selesai, Zienxi telah melesat ke hadapannya.
"Terlambat," kata Zienxi dingin.
Satu tebasan horizontal membelah tubuh wanita itu menjadi dua. Darah menyemprot di udara, lalu tubuhnya lenyap dalam semburan cahaya jiwa yang hancur.
Kultivator terakhir mundur dengan ketakutan. Ia mencoba melarikan diri, tetapi Zienxi mengangkat tangannya, dan seberkas cahaya biru muncul dari ujung jarinya.
"Heaven Piercing Ray."
Cahaya itu melesat dan menembus punggung pria itu, menghancurkan tubuh dan jiwanya sekaligus. Tubuhnya hancur menjadi abu.
Zienxi berdiri di udara, dadanya naik turun pelan. Napasnya sedikit berat. Meski pertarungan itu singkat, ia mengeluarkan hampir seluruh kekuatan Meridian Awakening tahap awalnya.
Ia menyimpan kembali pedangnya dan melirik ke bawah. Tak ada yang tersisa. Hanya tubuh-tubuh terbantai dan debu yang diterbangkan angin.
"Mengganggu saja," gumamnya lirih.
Ia mengangkat tubuhnya perlahan, memandang ke timur.
"Masih lima hari lagi ke Kota Shandai."
Dengan tubuh masih dikelilingi cahaya spiritual, ia kembali terbang, menembus langit biru yang mulai dipenuhi awan tipis. Angin membawa suara gemerisik dari pepohonan lembah, seolah dunia kembali tenang setelah kekacauan singkat.
Zienxi melanjutkan perjalanannya, diam, fokus, dan semakin kuat dari sebelumnya.
Lima hari pun berlalu dengan cepat. Angin lembut mengiringi langkah Zienxi yang kini berdiri di hadapan gerbang kota Shandai. Ia mengenakan jubah hitam yang samar-samar mengilap di bawah sinar matahari pagi. Pandangannya tenang, tapi tajam, mengamati tiap sudut kota yang sibuk dan penuh warna. Kota ini luas, bangunannya menjulang dengan gaya khas barat pegunungan selatan, dan aktivitas di dalamnya tak pernah berhenti.
Zienxi melangkah masuk. Deru langkah kaki para pedagang, teriakan para penjual, dan aura spiritual dari para kultivator bercampur dalam harmoni yang khas. Banyak manusia fana berdagang di sepanjang jalan, menjajakan rempah, kain, senjata kasar, dan kebutuhan pokok. Di antara mereka tampak sosok-sosok yang memancarkan energi spiritual dari sekte yang berbeda, tampak dari lambang di pakaian mereka. Beberapa kultivator mengenakan jubah ungu dari Sekte Darah Teratai, sementara yang lain mengenakan lambang Langit Perunggu, dan tak sedikit pula yang menyembunyikan afiliasinya.
Matanya menyapu barisan toko dan paviliun. Beberapa bangunan tampak begitu kokoh dan dijaga ketat. Paviliun para pembuat pil tampak paling ramai, aroma ramuan dan uap panas menyebar dari dalam, membuat siapa pun yang lewat bisa merasakan sensasi campuran wangi akar dan api.
Zienxi tetap melangkah perlahan, wajahnya tetap tenang. Sesekali matanya menyipit, memperhatikan para kultivator yang sedang bertransaksi atau sekadar berbincang di tengah jalan. Hingga ia sampai di bagian pusat kota, di mana berbagai bangunan besar berdiri sejajar. Kedai-kedai dengan lampion bergantung di atapnya, paviliun tinggi dengan tulisan emas, dan toko-toko dengan pagar batu mengelilinginya.
Di antara semua itu, sebuah kedai yang tampak lebih ramai dari biasanya menarik perhatiannya. Banyak kultivator tampak berkumpul di sana, beberapa tampak tengah tertawa keras, sementara yang lain membahas sesuatu dengan suara pelan tapi serius. Zienxi memutuskan untuk masuk.
Begitu pintu kayu berderit terbuka, aroma teh hangat dan semur pedas menyambutnya. Pemilik kedai, seorang pria paruh baya dengan janggut tipis dan senyum hangat, segera menyambutnya.
"Selamat datang, Tuan Muda. Silakan duduk. Ingin pesan apa?"
Zienxi mengangguk singkat. "Teh saja."
Ia memilih tempat duduk dekat jendela, sedikit terpisah dari kerumunan. Namun telinganya tetap awas. Di meja tidak jauh darinya, empat orang kultivator duduk melingkar sambil menyeruput minuman dan menikmati obrolan hangat mereka.
"Tiga hari lagi pelelangan di Paviliun Merah akan dimulai. Apa kalian dengar apa saja yang akan dilelang?" tanya seorang kultivator muda dengan jubah biru, wajahnya antusias.
Temannya yang lebih tua menjawab sambil menggigit sepotong kue daging, "Ada desas-desus tentang pedang roh kualitas menengah."
"Bukan cuma itu," sela kultivator wanita di sampingnya, mengenakan jubah hijau zamrud. "Aku dengar ada juga giok warisan keluarga Lian, dan pil tingkat lima dari klan alkemis utara."
"Yang paling menarik bagiku…" kultivator keempat, pria bertubuh besar dengan suara berat, menyender malas. "...adalah tungku pil yang bisa digunakan membuat pil tingkat empat dan lima. Katanya terbuat dari batu bintang langka yang hanya ada di lembah Weishan."
"Tungku seperti itu pasti akan diperebutkan dengan harga selangit," ujar si pemuda berambut biru.
"Bukan hanya itu," ujar yang wanita lagi. "Ada peta juga, peta yang menuju ke suatu tempat. Tapi entah benar atau tidak."
Zienxi mendengar semuanya dengan tenang. Ia tidak menunjukkan reaksi apa pun, hanya menatap ke arah cangkir tehnya yang mengepulkan uap tipis. Dalam hatinya, ia bergumam pelan:
"Tungku pil… peta… giok warisan… tampaknya akan menjadi hal yang menarik. Tapi aku ke sana bukan untuk semua itu… bukan semata untuk harta, tapi untuk petunjuk."
Tak seorang pun di kedai itu memperhatikannya. Seolah ia hanyalah seorang kultivator biasa yang sekadar lewat. Setelah selesai dengan tehnya, Zienxi beranjak dari tempat duduknya. Ia membayar dengan sekeping batu roh dan meninggalkan kedai itu dalam diam.
Ia berjalan kembali ke arah pusat kota, kali ini dengan tujuan yang lebih jelas, mencari Paviliun Merah. Langkahnya mantap, dan setelah bertanya secara singkat pada seorang penjaga toko, ia diarahkan ke sebuah persimpangan jalan besar.
Di sana berdiri sebuah bangunan berarsitektur megah dengan atap melengkung dan pilar-pilar merah tua. Lampion besar tergantung di sisi kiri dan kanan gerbang, dan papan kayu hitam dengan tulisan emas menyebutkan namanya Paviliun Merah.