LightReader

Chapter 46 - Canggung

"Ya, mungkin akan memakan waktu beberapa hari." Ethan berkata langsung, tanpa tahu bahwa ucapannya akan menimbulkan kecurigaan baru.

Raja berpikir keras, tampak tak enak sebelum berjata, "sepertinya itu akan sulit, kau sudah mendengar tentang pedang beracun di perburuan itu bukan? Aku khawatir kau akan disibukkan dengan persiapan perang, berjaga-jaga jika musuh menyerang lagi. Kemungkinan itu dari Kerajaan seberang. "

Mata Ethan semakin dingin, tampak sedikit paham dengan alur pembicaraan ayahnya. "Tidak, itu bukan musuh. Para pembunuh itu menyerang dengan pedang beracun untuk menargetkanku. Mereka mengincarku, itu telah dikirim oleh seorang bangsawan di kerajaan ini."

Ethan ingin langsung mengungkapkan kebenaran dan maksud dari pedang beracun itu. Agar Raja dan para pejabat lain tidak membuat asumsi sembarangan.

"Kalau begitu, lebih tidak aman jika kau pergi berlibur apalagi membawa istrimu. Kalian mungkin akan diserang lagi di luar kerajaan."

"Raja tidak perlu khawatir, aku akan menjaga diriku dan Evelyn dengan baik. Kami hanya akan pergi selama beberapa hari."

"Kau boleh pergi tapi tunggu selama beberapa minggu lagi. Jika tidak ada tanda-tanda penyerangan atau apapun. Kau dan istrimu bisa pergi dengan aman. Tunggu sampai kondisinya mereda." Raja bernegosiasi. Bagaimanapun, jika Ethan tetap nekat pergi, hal ini hanya akan memperburuk asumsi para pejabat tentangnya.

Tanpa kata, Ethan bangkit dan keluar dari ruang kerja raja dengan aura lebih pekat. Tampaknya sesuatu telah berkembang dan menimbulkan masalah baru.

Ia tahu Marquess telah memberikan pendapat bahwa mereka telah diserang oleh musuh Kerajaan agar semua orang tidak fokus dengan penyerangan di perburuan dan penyelidikan tidak perlu dilanjutkan.

Niat mereka ingin membuktikan kejahatan Marquess malah digunakan pria itu untuk berbalik melawannya.

Sepertinya ia harus merombak rencana mereka lagi dan mengubahnya sepenuhnya.

Keesokan harinya, di halaman kediaman Pangeran kedua yang damai dan tentram, suara tusukan pedang dan panas berkali-kali terdengar.

Evelyn berlatih lagi sebagai persiapan untuk menyusup dan pergi ke hutan. Dia tidak mau semakin lemah dan hanya bisa menjadi beban Ethan, pria itu sudah berbaik hati mau membawanya.

Dia berlatih dengan pedang yang diberikan oleh sistem, pedang ini ringan tapi sangat tajam karena menyesuaikan dengan kemampuannya.

Evelyn memasang kuda-kuda dan sibuk berlatih seorang diri. Tanpa disadarinya, seseorang sedang menonton latihannya dari jauh.

Ethan tiba sekitar sepuluh menit yang lalu di kediaman dan melihat Evelyn yang berlatih dengan tekun. Karena tidak ingin menyela latihannya, dia memilih berjalan pelan dan berdiri di sisi koridor sambil memperhatikan.

Evelyn berhenti, dia merasa lelah dan energinya sudah hampir habis. Walaupun diberikan sistem, hal itu tetap terbatas dan perlu digunakan dengan baik.

Jadi dia duduk malas di kursi panjang untuk beristirahat sejenak memulihkan kekuatannya.

Ethan berjalan pelan menuju Evelyn yang sedang minum air "Jika kau terus berlatih seperti itu, kau akan cepat kehabiskan tenaga."

Evelyn terkejut mendengar suara yang tiba-tiba itu dari arah belakangnya, hampir membuatnya tersedak.

Ethan duduk disamping gadis itu dan berucap, "teknik yang kau gunakan memang sangat akurat dan bagus tapi itu hanya digunakan untuk menyerang dan mengakhiri pertarungan."

Ethan mengambil satu lagi air minum, dia juga merasa haus. Minum beberapa teguk kemudian melanjutkan lagi, "ketika menemui musuh sungguhan seperti di medan perang, kekuatan juga membutuhkan ketahanan dan kecerdasan. Ketika bertarung, hal pertama yang dilakukan hanyalah bertahan dengan menangkis serangan. Dengan itu, tenaga kita tidak berkurang banyak di awal pertarungan. Jika lawan sudah hampir kehabisan tenaga barulah kita perlu mencari kesempatan menyerang di titik vital lawan."

Ethan memberi beberapa cara bertarung dan berpedang yang efektif kepada Evelyn. Gadis itu mendengarkan dengan seksama sambil sesekali mengajukan pertanyaan.

"Kau paham?" Tanya Ethan lagi setelah mengakhiri pidato panjangnya.

Evelyn mengangguk paham, dia merasa tercerahkan sekarang dan lebih bersemangat untuk berlatih.

"Sekarang coba praktekkan," perintah Ethan.

"Sekarang? Disini?" Evelyn bertanya sedikit heboh dan... gugup.

Ethan mengerutkan kening bingung, memang dimana lagi mereka bisa berlatih selain di halaman luas ini?

Tidak, maksud Evelyn, dia tidak terbiasa berlatih sambil diawasi, bisa buyar konsentrasinya. Untuk berlatih, biasanya memang ia memilih ruangan yang sepi dan tenang, hanya ada pelatihnya.

"Kalau begitu anggap saja aku gurumu, aku hanya akan mengawasi dan mengajarimu berlatih."

Ethan memahami keraguan Evelyn, tapi ia tidak terlalu mempermasalahkannya demi kebaikan gadis itu. Sebagian waktunya juga digunakan untuk melatih dan mengajari anak buahnya.

Evelyn pasrah, dia mengambil napas panjang lalu menghembuskan pelan.

"Baiklah, tolong ajari aku guru." Gadis itu menunduk hormat sambil menangkupkan kedua tangan berpose layaknya murid.

Ia mulai berlatih, menggunakan kuda-kuda pertahanan yang telah Ethan ajarkan tadi. Menangkis, memukul dan sesekali berlatih menyerang untuk pertahanan diri.

"Tunggu sebentar, tanganmu seharusnya seperti ini, kakimu harus di buka lebih lebar dan kaki kiri maju satu langkah. Jika seperti ini kau akan mudah terblokir dan kehilangan keseimbangan."

Ethan menjelaskan dengan beberapa kali memperbaiki postur pertahanan Evelyn dengan tubuh yang berada dibelakangnya.

Evelyn membeku, dia tidak bisa fokus karena tidak pernah sedekat ini dengan lawan jenis. Aroma maskulin yang menenangkan juga masuk ke indra penciumannya.

Sesaat kemudian, rasa gugup menyusup ke dalam hatinya membuatnya sedikit kikuk. Tangan yang dipegang Ethan tadi terasa panas.

Suara rendah Ethan seakan tidak masuk ke telinganya, dirinya hanya menangkap suara detak jantungnya yang berdegup semakin kencang.

"Evelyn? Kau mendengarku?" Suara Ethan menginterupsi kegugupannya, Evelyn berdehem singkat dan berusaha menenangkan diri. Bisa hancur harga dirinya kalau Ethan tahu dia sedikit gugup...

Mendengar balasan singkat itu, Ethan menundukkan tatapannya melihat wajah Evelyn. Niat awalnya yang ingin memeriksa apakah gadis itu mendengarkan instruksinya malah membuatnya gagal fokus.

Wajah gadis itu halus dan bersih tanpa riasan, dengan kemerahan samar yang tampak memikat. Alisnya tampak mengerut samar, bibirnya terkatup rapat dan gadis itu hanya diam.

Bulu mata lentiknya berkibar pelan, seperti kipas yang menaungi tatapan indah dibaliknya. Pupil mata kuning keemasan juga samar-samar terlihat dari baliknya, terkena sinar matahari.

Mata itu yang selalu menatap tenang dan tajam ke sekitar tanpa ragu, selalu berisi keanggunan dan ketajaman seorang bangsawan.

Yang paling menarik perhatiannya dari dulu adalah tahi lalat di bawah matanya. Itu menambah kesan indah dan dingin pada visual sempurna Evelyn.

Ethan sadar akan posisi mereka sepenuhnya, satu tangannya yang menggenggam lengan kanan Evelyn ketika ia memperbaiki cara gadis itu memegang pedang. Sedangkan tangan lainnya memperbaiki kaki dan posisi tubuhnya.

Karena tinggi gadis itu hanya sebatas telinganya, tubuh mungil itu sepenuhnya berada dalam dekapan Ethan. Wangi harum gadis itu juga memenuhi indra penciuman dan udara di sekitarnya.

Dalam sekejap, detak jantungnya menggila di dalam sana, berdetak sangat kencang. Keduanya berdiri dengan canggung dan gugup.

Kulit mereka yang bersentuhan juga membawa arus asing yang membuat jari Ethan bergetar halus. Segera ia melepaskan tangan halus Evelyn.

Sadar akan ketidakberesan itu, Ethan mau tidak mau berdehem menenangkan diri dan mundur berpura-pura tenang.

Pria itu menarik napas dalam dan kemudian berkata untuk mengusir kecanggungan.

"Sekarang cobalah lagi." Alih-alih terdengar dingin, suara Ethan justru terdengar lembut dan pelan.

More Chapters