LightReader

Chapter 47 - Perasaan aneh

Setelahnya Ethan berdehem lagi dan segera duduk dikursi sambil berusaha menenangkan detak jantungnya. Ia sedikit malu.

Mendengar perintah itu, tiba-tiba Evelyn merasa otaknya kosong dan tidak berfungsi. Dia lupa bahkan tidak benar-benar mendengar apa saja yang di intruksikan oleh Ethan.

Sembari menenangkan diri, dia mencoba mengingat ajaran pria itu sebelumnya. Untungnya kuda-kuda dan posisi yang diperbaiki tadi masih belum berubah, jadi Evelyn hanya perlu mengikuti latihan dengan postur seperti itu.

Evelyn kembali memasang wajah dingin dan tajamnya. Dia berlatih dengan serius dan dengan cepat menguasai gerakan.

Gadis itu menangkis, mendorong dan menyerang entitas lawan tak terlihat dengan akurat, seperti apa yang di ajarkan Ethan tadi.

Ethan mengangguk pelan, dia sudah membuang semua kecanggunannya tadi karena takut hubungannya dengan Evelyn semakin berjarak. Tidak ingin gadis itu merasa tidak nyaman walaupun dia juga merasa sedikit aneh.

Mereka tidak seharusnya terlibat hal-hal seperti perasaan, yang hanya akan menghambat kerjasama mereka dan kesepakatan mereka dari awal.

Evelyn berhenti setelah dirasa cukup, dia melirik Ethan. Gadis itu mengangkat dagunya bangga seolah ingin pria itu mengakui kehebatannya.

Ethan mengangkat alisnya acuh tak acuh dan berkata dengan seringai licik, "ujianmu belum lulus jika kau belum mengalahkanku. Sekarang serang aku."

Pria itu kemudian berjalan ke tengah lapangan untuk berdiri di depan Evelyn sambil memasang kuda-kuda pertahanan, jari tangannya menekuk ke arahnya dua kali sebagai undangan pertarungan.

Evelyn membuang pedang yang tadi dipakainya untuk latihan, mereka hanya akan bertarung dengan tangan kosong sekarang.

Gadis di depannya merasa tertantang, dia ingin menghancurkan ekspresi sombong pria itu dan membuatnya mengakui kerja kerasnya.

Ia juga ingin melampiaskan sedikit kekesalannya pada Ethan tadi karena sempat terpengaruh olehnya.

"Marilah!" sambut Evelyn.

Evelyn maju dan memulai dengan semangat, keduanya segera bertempur dalam pertempuran yang sengit.

Ethan kebanyakan hanya menangkis membuat Evelyn merasa sedikit kesal, dia menyerang dengan kuat. Gadis itu memukul dan menendang pria itu dengan gesit sambil bertahan agar tidak kehabisan tenaga.

"Dalam bertarung, tidak boleh dipengaruhi emosi, tetap tenang dan fokus," interupsi Ethan sekali lagi usai merasa Evelyn semakin membabi buta.

Evelyn sedikit lebih tenang, mereka memulai lagi dengan kuat dan akurat. Dibandingkan memukul dengan bertubi-tubi, lebih efektif sekali pukul tapi langsung mengenai titik vital lawan.

Ethan menghindar dengan cepat atas setiap pukulan ganas Evelyn, jika terkena ia yakin akan merasa sakit. Ketika pria itu akhirnya membalas dengan menendang kaki kirinya, Evelyn mundur beberapa langkah dengan goyah.

Sesaat kemudian, dia mengerahkan semua kekuatan dan tenaganya untuk mengakhiri latihan. Evelyn memukul ke arah perut yang tentunya ditahan oleh Ethan.

Sesaat kemudian Evelyn menendang Ethan beberapa kali yang membuatnya mau tidak mau mundur untuk menghindari tendangan dan menangkis nya dengan tangan.

Disaat Ethan sibuk menghindari serangan kakinya, ia menyerang wajah tampannya lagi untuk mengalihkan perhatian Ethan.

Pria itu menangkap tangan Evelyn dan membawanya ke belakang tubuh gadis itu untuk menguncinya, menyebabkan Evelyn sepenuhnya bersandar kepada Ethan.

Sejenak, wajah mereka berdekatan dan saling menatap lagi. Ethan dengan jelas melihat ekspresi keras kepala dan pantang menyerah di mata gadis itu, dia sedikit hanyut dan kehilangan fokus.

Memanfaatkan itu, Evelyn memutar badannya untuk melepaskan diri dan balas mengunci lengan pria itu kebelakang dengan kuat, memukul perut dan setelahnya menendang betisnya.

Ethan goyah karena tendangan kuat di kakinya, perutnya mati rasa dan terasa sakit. Dia mundur beberapa langkah dan menopang badannya dengan satu lutut sebelum bisa berdiri tegap.

Dia... Orang pertama yang berhasil membuatku tumbang. Entah karena kemampuannya ataukah karena sesuatu yang lain. Batin Ethan mengakui.

Evelyn segera melarikan diri untuk menghindari balasan pria itu dengan senyum bangga di wajahnya. Dia memasang ekspresi sombong seperti yang dipakai Ethan sebelumnya dan mengangkat dagu.

Ethan terdiam menatap lalu ingatannya kembali pada kata-kata gurunya dulu.

Jika berhadapan dengan wanita, kau harus teguh pada prinsip. Jangan mudah lengah atau kehilangan fokus. Mereka sangat pandai memanfaatkan keadaan, bahkan ketika hanya diam.

Ethan diam-diam membenarkan hal itu. Ia pun memutuskan tidak akan bertarung lagi dengan Evelyn–gadis itu terlalu lihai membaca situasi.

Yang membuatnya heran, melihat ekspresi Evelyn tidak menimbulkan rasa kesal atau amarah sedikit pun dalam dirinya. Padahal, jika itu orang lain, mungkin sedetik kemudian kepala mereka sudah lebih dulu berkenalan dengan pedang kesayangannya.

"Baiklah, kau lulus." Ethan dalam suasana hati yang baik dan menyerah pada tatapan harap Evelyn yang menunggu pengakuannya.

Evelyn mengerutkan kening dengan mata memicing, masih tidak puas dengan jawaban singkat itu.

"Itu saja?" tanyanya dengan mata memicing menyelidik.

Ethan terkekeh samar, tidak menyangka bahwa Evelyn juga bisa bersikap polos dan kekanakan.

"Kau hebat, pukulanmu tadi juga bagus dan akurat. Selebihnya tingkatkan lagi konsentrasi dan jangan mudah lengah. Kau mengerti?" ucap Ethan yang akhirnya memancing senyum bangga Evelyn.

Dia mengangguk mantap dan menjawab, "baiklah, aku mengerti."

Gadis itu bangkit, hendak pergi, sebelum sempat berkata lagi, "bagaimanapun, tidak kusangka aku mendapat kesempatan untuk menjatuhkanmu. Tapi lain kali, Guru, kau juga tidak boleh lengah."

Usai berkata demikian, Evelyn buru-buru menunduk hormat lalu bergegas meninggalkan hadapan Ethan.

Ethan tertegun, menatap punggung gadis itu yang perlahan menjauh. Bibirnya terangkat tipis tanpa ia sadari–apakah gadis itu baru saja mengejeknya?

Entah kenapa, kali ini ia tidak merasa tersinggung.

Beberapa saat ia hanya diam, membiarkan keheningan menggantung, sebelum akhirnya teringat bahwa ia belum menyampaikan jawaban Raja mengenai rencana keberangkatan mereka.

Ia segera melangkah cepat keluar, berusaha mengejar Evelyn, namun tampaknya gadis itu sudah kembali ke kamarnya.

Ethan menghela napas pendek. Tidak masalah, ia bisa mengatakannya nanti. Untuk saat ini, ia harus kembali ke kamp militer.

Meski begitu, entah kenapa, bayangan tatapan Evelyn barusan masih tertinggal di benaknya.

Sementara di sisi lain istana yang megah dan luas. Seorang pelayan paruh baya mendekati seorang wanita yang duduk di gazebo indah miliknya.

"Hormat yang mulia Ratu, anda mendapat kunjungan pribadi dari Marquess Lovell." Pelayan itu adalah Marrie-pelayan pribadi Feliza yang telah mengabdi selama puluhan tahun.

Di depannya, Ratu Feliza duduk anggun di kursi empuknya sambil menatap sekeliling dengan tenang.

Aroma teh yang hangat bercampur dengan harum bunga yang menenangkan. Tempat itu adalah tempat pribadinya, ia biasa menyambut tamu di gazebo itu karena lebih tertutup.

Hening menyapa udara, meninggalkan ketegangan samar sebelum Feliza akhirnya menanggapi.

"Ada apa pria itu kemari?" Feliza meletakkan cangkirnya di tangannya pelan, menimbulkan suara samar.

Marrie menunduk dalam, tampak sangat patuh dan hormat. "Maaf yang mulia, saya tidak mengetahuinya. Marquess Lovell hanya berkata ingin membicarakan sesuatu dengan Anda, Beliau berkata ini masalah penting."

"Hmm, persilahkan dia masuk." Feliza bergumam kecil tanpa mengalihkan tatapannya dari cangkir itu. Tangannya mengelus permukaan cangkir dengan pelan.

"Baik Ratu." Marrie menjawab hormat kemudian berbalik.

Feliza diam menunggu, dia dapat menebak apa yang akan dibicarakan oleh Hans. Beberapa hari ini dia memang sudah mendengar desas desus pedang beracun yang ditemukan di lokasi perburuan itu.

Matanya berkilat dingin dan sedikit menggertakkan gigi kesal. Hans telah mengambil keputusan besar dan beresiko dengan meracuni Ethan di perburuan.

"Sungguh ceroboh," gumam Feliza pelan.

Tak lama, terlihat Marrie datang kembali dengan seorang pria yang mengikutinya.

"Silahkan masuk, Marquess. Yang Mulia Ratu ada di dalam," ucap Marrie kemudian keluar, ia bertugas untuk memeriksa keadaan.

Feliza mendongak pelan, tangannya mengarah lembut pada kursi di depannya, menyuruh pria paruh baya itu duduk.

Setelah Hans duduk, wanita itu menodongnya dengan pertanyaan menyudutkan, "Ada masalah apa lagi kau kesini? Kau menghancurkan rencana yang sudah kita sepakati, Hans."

More Chapters