LightReader

Chapter 7 - Bab 5: Kebenaran yang Menyakitkan

Novel: Hanya Kabar Angin

(Versi Kisah Nyata Toro)

Bagian 3: Kenyataan Pahit (Klimaks)

Bab 5: Kebenaran yang Menyakitkan

Kegelisahan itu tak bisa lagi Toro bendung. Semakin ia mencoba mencari pembenaran atas sikap Kinasih atau keanehan Tumpul, semakin banyak pertanyaan baru yang muncul. Tekadnya sudah bulat.

Ia tak bisa lagi hidup dalam keraguan yang mengambang ini, membiarkan hatinya terombang-ambing antara harapan dan kecurigaan. Ia harus tahu. Pagi itu, dengan alasan ingin pergi ke sawah membantu Bapaknya (meski sebenarnya tidak), Toro sengaja mengambil jalan memutar yang melewati sisi belakang rumah Kinasih.

Ada sebuah rumpun bambu besar di dekat sana, tempat yang cukup tersembunyi untuk mengamati tanpa terlihat. Mungkin ini tindakan yang tidak sopan, mengintip, tapi hatinya sudah terlalu resah untuk memikirkan etika.

Ia hanya butuh jawaban. Dengan jantung berdebar kencang, ia menyelinap di antara rerimbunan bambu, mencari celah pandang ke arah halaman belakang rumah Pak Bejo yang biasanya digunakan untuk menjemur pakaian atau tempat Tek Supiak menumbuk bumbu.

Awalnya tak ada yang aneh. Hanya Tek Supiak yang sedang menyapu, sesekali mengobrol dengan tetangga sebelah lewat pagar bambu. Toro hampir saja memutuskan untuk pergi, merasa tindakannya ini konyol dan sia-sia.

Tapi kemudian, pintu belakang rumah terbuka. Kinasih muncul, menggendong seorang anak kecil perempuan berusia sekitar tiga tahun – usia yang sama dengan sepupunya Cantika saat di Lamongan dulu. Anak itu merengek manja, menyandarkan kepalanya di bahu Kinasih.

Pemandangan itu seketika membuat darah Toro berdesir. Siapa anak itu? Keponakan? Atau anak tetangga yang dititipkan? Kinasih terlihat begitu… keibuan. Cara ia menenangkan anak itu, mengusap punggungnya lembut, menyanyikan lagu nina bobo pelan, semua terasa begitu alami. Toro menahan napas, matanya tak lepas dari pemandangan di depannya.

Kemudian, kata itu terdengar. Lirih, tapi cukup jelas terbawa angin pagi. "Amak… mau mimik..." rengek si anak kecil sambil menunjuk ke arah dapur. Amak. Ibu. Di ranah Minang, panggilan itu jelas ditujukan untuk seorang ibu kandung.

Dunia Toro serasa berhenti berputar. Kinasih – Kinasih pujaannya – adalah seorang Amak? Seorang ibu? Kaki Toro terasa lemas, pandangannya mulai kabur. Ia mencengkeram batang bambu di sebelahnya kuat-kuat agar tidak jatuh. Tepat saat itu, Tumpul keluar dari pintu yang sama, membawa segelas susu untuk anak kecil itu.

Ia memberikannya pada Kinasih dengan sikap biasa saja, lalu duduk di bangku kayu tak jauh dari sana, menyulut sebatang rokok – lagi-lagi, sikap yang jauh dari kesan seorang paman atau kakak pada keponakan kecilnya.

Tak ada interaksi hangat antara Tumpul dan anak itu. Kinasih kemudian menyuapi anak itu dengan sabar. Pemandangan itu – Kinasih menyuapi anaknya, sementara Tumpul merokok dengan santai di dekatnya – menghantam Toro seperti palu godam.

Semua kejanggalan selama ini tiba-tiba terasa masuk akal dengan cara yang paling menyakitkan. Kebohongan itu terpampang nyata di depan matanya.

Bab 5: Kebenaran yang Menyakitkan

Beku. Seluruh tubuh Toro terasa kaku, otaknya berusaha keras mencerna kenyataan pahit yang baru saja menghantamnya. Ingatan tentang Lamongan berkelebat – Kinasih yang tertawa lepas di kolam renang, Tumpul yang ia kira adiknya, senyum hangat Pak Bejo dan Tek Supiak.

Semuanya kini terasa seperti adegan dalam film drama murahan yang penuh kepalsuan. Semua keramahan Kinasih padanya, senyum manisnya, semua terasa seperti topeng yang menyembunyikan rahasia besar ini.

Rasa sakit yang tajam menjalari dadanya, disusul gelombang kemarahan dan kekecewaan yang meluap-luap. Ia merasa bodoh, naif, karena begitu mudah percaya, karena begitu lama membiarkan dirinya dibutakan oleh harapan kosong, oleh sesuatu yang ternyata hanya kabar angin belaka. Ia tak bisa diam saja di balik rumpun bambu ini. Ia butuh penjelasan. Ia butuh konfrontasi.

Dengan langkah gemetar menahan amarah dan sakit hati, Toro keluar dari persembunyiannya, berjalan melintasi halaman belakang menuju tempat Kinasih masih duduk memangku anaknya.

Kehadirannya yang tiba-tiba membuat Kinasih dan Tek Supiak (yang baru saja kembali dari pagar tetangga) tersentak kaget.

Wajah Kinasih langsung pucat pasi melihat Toro berdiri di sana dengan tatapan terluka dan penuh tuntutan. Anak kecil di pangkuannya menatap Toro dengan mata bulat polos, tak mengerti apa yang terjadi.

Tumpul yang melihat kedatangan Toro, buru-buru mematikan rokoknya dan berdiri, memasang kuda-kuda seolah siap melindungi.

"To-Toro? Kamu... sedang apa di sini?" suara Kinasih bergetar hebat, matanya tak berani menatap Toro langsung.

Toro tak menjawab basa-basi itu. Matanya tertuju lurus pada Kinasih, lalu beralih pada anak kecil di pangkuannya. "Siapa dia, Kin?" tanya Toro, suaranya serak menahan emosi. Pertanyaan sederhana itu menggantung di udara, terasa begitu berat dan penuh makna.

Kinasih tergagap. "Dia... dia ini..." Ia melirik ibunya, mencari pertolongan.

Tek Supiak hanya bisa menunduk, bahunya bergetar menahan tangis.

"JAWAB, KIN!" bentak Toro, tak bisa lagi menahan gejolak di dadanya.

Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

"Siapa anak ini?! Dan kenapa kamu bohong sama aku selama ini?!"

"Dia anakku, To," akhirnya sebuah pengakuan lirih meluncur dari bibir Kinasih, bersamaan dengan air mata yang mulai deras mengalir di pipinya.

"Maafkan aku, To... aku..."

"Anakmu?" ulang Toro, suaranya bergetar hebat.

Kata itu terasa seperti belati yang menusuk jantungnya. "Jadi... selama ini? Semua senyummu? Keramahanmu? Itu semua bohong?"

"Bukan begitu, To..." isak Kinasih.

"LALU TUMPUL?!" Toro kini menatap tajam ke arah Tumpul yang berdiri tegang.

"Dia bukan adikmu, kan? SIAPA DIA SEBENARNYA?!"

Tumpul maju selangkah, wajahnya mengeras.

"Itu bukan urusanmu!"

"Jaga mulutmu!" bentak Toro balik, amarah membuatnya lupa rasa takut.

"Sudah, sudah! Cukup!" Tek Supiak akhirnya angkat bicara di tengah isak tangisnya. "Maafkan kami, Toro... Maafkan Kinasih..."

Tapi Toro tak lagi mendengar.

Dunianya runtuh. Semua mimpi dan harapan yang ia bangun hancur berkeping-keping dalam sekejap. Gadis pujaannya, cinta pertamanya, ternyata menyimpan rahasia sepahit ini. Rasa sakitnya begitu luar biasa hingga ia merasa sulit bernapas.

Tanpa berkata apa-apa lagi, dengan hati yang remuk redam, Toro berbalik badan dan melangkah pergi meninggalkan halaman belakang itu. Ia tak menoleh lagi. Yang terdengar di belakangnya hanyalah isak tangis Kinasih dan suara lirih Tek Supiak memanggil namanya.

Tapi Toro terus berjalan, menjauh, membawa luka menganga yang ia tak tahu kapan akan sembuh.

More Chapters