LightReader

Chapter 6 - Bab 4: Sinyal Merah yang Terabaikan

Bagian 2: Kabar Angin dan Keraguan

Bab 4: Sinyal Merah yang Terabaikan

Hari-hari berikutnya di Manggopoh berjalan seperti biasa, namun bagi Toro, ada ketidaknyamanan halus yang mulai menyusup di balik semangatnya untuk mendekati Kinasih. Ucapan Tia tentang Kinasih yang 'rumit' dan bisik-bisik sumbang yang sesekali masih terdengar, mau tak mau meninggalkan jejak keraguan kecil di benaknya, meski ia berusaha keras mengenyahkannya.

Ia bertekad untuk lebih mengenal Kinasih, membuktikan pada dirinya sendiri – dan mungkin juga pada Tia dan para penebar gosip – bahwa Kinasih adalah gadis baik-baik seperti yang selalu ia yakini.

Kesempatan itu datang saat ia tak sengaja bertemu Kinasih sedang duduk sendirian di bawah pohon rindang dekat pematang sawah, tempat favorit anak-anak muda mencari angin sore. Kali ini, tak ada Tia, tak ada Tumpul.

Hanya Kinasih, menatap kosong ke hamparan padi yang mulai menguning. Ini dia momennya.

"Kin, sendirian?" sapa Toro lembut, duduk agak berjarak darinya.

Kinasih sedikit tersentak, lalu tersenyum tipis.

"Eh, kamu, To. Iya, lagi cari angin saja."

"Sama dong," Toro mencoba tersenyum. "Kin, aku mau tanya sesuatu, boleh?"

"Tanya apa, To?" Alis Kinasih sedikit terangkat.

"Setelah ini... maksudku setelah lulus sekolah kemarin, kamu ada rencana lanjut kuliah atau kerja gitu?" Toro mencoba memulai percakapan yang lebih pribadi.

Wajah Kinasih berubah sedikit kaku. Ia membuang pandang ke arah sawah lagi. "Belum tahu, To. Lihat nanti saja. Mungkin bantu-bantu Tek Piak di rumah." Jawabannya terdengar datar dan mengambang.

"Oh..." Toro merasa sedikit kecewa dengan jawaban itu. Ia mencoba lagi. "Aku sendiri rencananya mau coba cari kerja di kota kabupaten dulu, kumpulin modal. Siapa tahu nanti bisa..."

"To," potong Kinasih tiba-tiba, nadanya sedikit berbeda. "Maaf ya, kayaknya aku harus pulang sekarang. Tadi Tek Piak pesan jangan sore-sore pulangnya." Ia bangkit berdiri, membersihkan pakaiannya dari rumput kering.

"Eh, tapi ini kan belum terlalu sore, Kin?" cegah Toro, merasa ada yang aneh.

"Nggak apa-apa, To. Aku duluan ya. Assalamu'alaikum." Tanpa menunggu jawaban Toro, Kinasih bergegas pergi, langkahnya cepat seolah dikejar sesuatu.

Toro termangu. Sikap Kinasih barusan terasa sangat janggal. Menghindar? Kenapa? Apakah pertanyaannya terlalu pribadi? Atau ada hal lain? Toro mencoba mencari alasan: mungkin Kinasih memang tipe pemalu jika bicara soal masa depan, atau mungkin ia benar-benar harus segera pulang. Ya, pasti begitu. Tak mungkin Kinasih menghindarinya tanpa alasan.

Kejanggalan lain datang dari Tumpul. Beberapa hari kemudian, Toro melihat Tumpul sedang nongkrong di lepau bersama beberapa pemuda kampung yang usianya jelas jauh di atasnya.

Yang membuat Toro terkejut, Tumpul terlihat santai mengapit sebatang rokok kretek di jarinya, tertawa terbahak-bahak mendengar obrolan mereka yang terdengar kasar. Toro tahu Tumpul itu mungkin seusia anak SMP, tapi sikap dan gayanya di lepau sore itu lebih mirip pemuda dewasa pengangguran.

Saat mata Tumpul tak sengaja bertemu pandang dengan Toro yang berdiri di seberang jalan, senyum di wajahnya langsung hilang, digantikan tatapan dingin dan sedikit menantang, sebelum ia cepat-cepat membuang muka.

Toro merasa aneh. Sejak kapan 'adik' Kinasih bergaul dengan pemuda-pemuda seperti itu? Dan tatapan Tumpul tadi… terasa tidak seperti tatapan seorang adik pada teman kakaknya. Tapi lagi-lagi, Toro menepisnya. Ah, mungkin Tumpul hanya salah pergaulan saja, anak seusia itu memang sedang mencari jati diri, pikirnya.

Sinyal merah berikutnya datang dari Tek Supiak, ibu Kinasih. Suatu hari Toro bertandang ke rumah Pak Bejo dengan alasan mengantarkan undangan kenduri dari keluarganya.

Pak Bejo sedang tidak di rumah, hanya ada Tek Supiak yang menyambutnya di teras dengan senyum yang terasa dipaksakan. Saat Toro basa-basi menanyakan kabar Kinasih, wajah Tek Supiak langsung berubah keruh.

"Kinasih... baik dia, To. Di dalam lagi istirahat," jawabnya pelan, matanya tak berani menatap Toro lama-lama. Ada lingkaran hitam tipis di bawah matanya, wajahnya tampak lelah dan menyimpan beban.

"Oh, syukurlah kalau baik, Tek. Salam ya buat Kinasih," kata Toro.

Tek Supiak hanya mengangguk pelan. Hening sejenak. Lalu wanita itu bergumam lirih, lebih pada dirinya sendiri, "Kasihan anak itu..."

"Kasihan kenapa, Tek?" tanya Toro, penasaran.

Tek Supiak tampak kaget gumamannya terdengar. "Eh, ndak... ndak apa-apa, To. Maksud Tek... kasihan kalau nanti dia nggak dapat jodoh yang baik." Wanita itu buru-buru mengalihkan pembicaraan ke topik lain.

Toro pulang dari rumah Kinasih dengan perasaan semakin tidak menentu. 'Kasihan'? Kenapa Tek Supiak berkata begitu? Dan kenapa raut wajahnya tampak begitu sedih saat membicarakan anaknya sendiri? Kabar angin tentang Kinasih yang dekat dengan pria 'berduit' dari desa seberang kembali terngiang.

Apakah ada hubungannya? Apakah Kinasih dijodohkan? Atau ada masalah lain yang Tek Supiak sembunyikan?

Malam itu, Toro sulit tidur. Kepingan-kepingan kejanggalan itu – sikap menghindar Kinasih, tatapan aneh Tumpul, wajah sedih Tek Supiak, ucapan 'rumit' dari Tia, bisik-bisik tetangga – mulai membentuk pola yang mengganggu di benaknya.

Ada sesuatu yang tidak beres. Ia merasa seperti sedang berjalan di tengah kabut tebal, hanya bisa melihat beberapa jengkal ke depan, sementara di sekelilingnya mungkin ada jurang menganga.

Tapi, bayangan Kinasih di Lamongan, senyum manisnya sore tadi, dan harapan yang sudah terlanjur membuncah, semua itu berperang melawan keraguannya. Ia ingin percaya bahwa semua ini hanya kesalahpahaman.

Ia ingin percaya bahwa Kinasih tetaplah gadis baik pujaannya. "Ini pasti hanya kabar angin," bisiknya pada diri sendiri di tengah keheningan malam. "Aku hanya perlu membuktikannya." Ya, ia harus melakukan sesuatu yang lebih nyata untuk mendapatkan kepastian, sebelum keraguan ini menggerogoti keyakinannya.

More Chapters