LightReader

Chapter 5 - Bab 3: Hari-hari di Kampung

Bagian 2: Kabar Angin dan Keraguan

Bab 3: Hari-hari di Kampung

Seminggu berlalu sejak kepulangan Toro ke Manggopoh. Debu perjalanan sudah lama hilang, rutinitas kampung mulai kembali ia akrabi. Membantu Bapak memberi makan ayam di pagi hari, mengobrol dengan pemuda kampung di lepau sore hari, atau sekadar duduk termenung di tepi sungai kecil mengenang masa lalu.

Namun, di tengah semua rutinitas itu, ada satu agenda tak tertulis yang selalu berputar di benak Toro: Kinasih. Pertemuan singkat di hari pertama kepulangannya terus membekas, menyalakan api harapan yang sulit ia padamkan.

Maka, dimulailah 'operasi senyap' ala Toro. Ia mulai sering 'tak sengaja' melewati jalan depan rumah Kinasih saat sore hari, berharap bisa berpapasan lagi. Kadang ia mampir lebih lama di warung Mak Uti, pura-pura membaca koran bekas sambil memasang telinga kalau-kalau nama Kinasih disebut.

Pernah juga ia memberanikan diri ikut shalat Maghrib berjamaah di masjid, bukan karena mendadak alim (meski ia berusaha memperbaiki diri), tapi lebih karena berharap bisa berjalan pulang searah dengan Kinasih dan orang tuanya.

Usaha yang kadang berhasil membuahkan hasil, kadang hanya membuatnya pegal berdiri menunggu.

Suatu sore, usahanya membuahkan hasil. Ia melihat Kinasih sedang menyapu halaman rumahnya yang asri, penuh bunga kertas warna-warni. Dengan jantung berdebar sedikit lebih kencang dari biasanya, Toro mendekat.

"Assalamu'alaikum, Kin," sapanya, berusaha terdengar sesantai mungkin.

Kinasih mendongak, sedikit terkejut, lalu tersenyum. "Wa'alaikumussalam, To. Tumben lewat sini?"

"Eh, iya, tadi habis dari rumah Pak Malin, ada perlu sedikit," Toro berbohong sedikit. "Rajin sekali sore-sore begini sudah bersih-bersih."

"Biasa, To. Bantu Tek Piak," jawab Kinasih sambil terus menyapukan lidinya. "Kamu sendiri, nggak keluar main sama kawan-kawan?"

"Lagi malas," jawab Toro cepat. "Kin, ehm... besok sore ada acara di lapangan, katanya ada organ tunggal. Mau nonton?" ajak Toro, memberanikan diri. Ini kesempatan!

Kinasih tampak berpikir sejenak, menggigit bibir bawahnya. "Wah, kurang tahu ya, To. Kayaknya nggak bisa, mau ada acara keluarga."

"Oh, begitu ya..." Nada kecewa tak bisa Toro sembunyikan sepenuhnya.

Tepat saat itu, dari dalam rumah muncul Tumpul. Wajahnya datar seperti biasa, membawa segelas air putih. "Kak, ini minumnya," katanya pada Kinasih, lalu melirik Toro sekilas tanpa ekspresi berarti, sebelum kembali masuk ke dalam rumah.

Kehadirannya singkat, tapi cukup untuk membuat suasana sedikit canggung.

"Itu... adikmu perhatian sekali ya," komentar Toro, mencoba mencairkan suasana, meski dalam hati ia merasa sedikit terganggu oleh kehadiran Tumpul yang seolah selalu muncul di saat yang 'tepat'.

Kinasih hanya tersenyum tipis. "Begitulah, To. Dia memang begitu." Senyumnya kali ini terasa sedikit berbeda, entah apa artinya.

Tak lama kemudian, ia pamit masuk dengan alasan dipanggil Tek Supiak. Toro ditinggal sendirian di depan pagar, merasa usahanya sore itu belum membuahkan hasil maksimal.

Kesempatan lain datang saat ia bertemu Tia sendirian di warung Mak Uti, sedang membeli kerupuk kulit.

"Tia, sendirian saja?" sapa Toro.

"Eh, iya, To. Kinasih lagi nggak enak badan katanya di rumah," jawab Tia ramah.

"Oh, sakit apa dia?" tanya Toro, nada khawatir langsung muncul.

"Biasa, masuk angin mungkin," jawab Tia sedikit mengambang. Lalu ia menambahkan, "Kamu lagi dekat ya sama Kinasih, To?"

Toro sedikit salah tingkah. "Ya... gitu deh. Cuma teman lama, kan?"

Tia tersenyum penuh arti. "Teman lama apa teman tapi mesra?" godanya. "Hati-hati saja, To. Kinasih itu... yah, dia baik sih, cantik lagi. Tapi kadang agak rumit.

Jangan terlalu berharap banyak dulu."

"Rumit gimana maksudnya, Ti?" Toro mengerutkan kening.

"Ya... rumit saja," Tia mengelak sambil membayar kerupuknya. "Aku duluan ya, To!" Ia pergi begitu saja, meninggalkan Toro dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Rumit? Apa maksudnya?

Ucapan Tia itu sedikit sebanyak mulai mengganggu pikiran Toro. Ditambah lagi, ia mulai samar-samar mendengar bisik-bisik atau 'kabar angin' di antara ibu-ibu atau pemuda di lepau. Bukan sesuatu yang jelas, hanya potongan-potongan samar.

Ada yang bilang Kinasih sering pergi keluar kampung tanpa tujuan jelas. Ada yang bergosip dia dekat dengan seorang pria dari desa seberang yang katanya 'orang berduit'. Ada juga yang sekadar berkomentar kalau Kinasih sekarang 'berbeda', lebih tertutup.

Toro berusaha keras menepis semua itu. Ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu hanyalah gosip orang kampung yang iri melihat kecantikan Kinasih atau sekadar salah paham.

Ingatannya kembali melayang ke sosok Kinasih yang ia lihat di Lamongan – gadis manis dari keluarga baik-baik.

Mana mungkin dia seperti yang digosipkan orang? Lagipula, Tumpul, adiknya, selalu terlihat menjaganya kan? Pasti semua hanya kabar angin, pikirnya. Orang kampung memang suka melebih-lebihkan cerita.

Ia memilih untuk fokus pada sisi positif: Kinasih masih selalu ramah padanya setiap kali bertemu, ia tersenyum manis, dan tidak pernah secara terang-terangan menolaknya. Bagi Toro, itu sudah cukup menjadi bahan bakar untuk terus berharap.

Ia hanya perlu lebih sabar dan gigih. Ia yakin, suatu saat nanti, Kinasih akan melihat ketulusannya dan membuka hati. Kabar angin itu? Ah, biarlah dia terbang bersama angin sore.

More Chapters