LightReader

Café BondGia

Thonkol
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
161
Views
Synopsis
Azei hanyalah seorang mahasiswa biasa yang bekerja paruh waktu sebagai barista.Hidupnya datar , kuliah, kerja, main game.Setelah tergelincir dengan cara paling memalukan di dunia, Azei mendapati dirinya bereinkarnasi di dunia lain. Sampai suatu ketika dia menemukan kota caerliona, kota berkabut yang penuh misteri dan aroma roti gosong. Dengan bekal uang receh dan kekuatan yang tampak tidak berguna, ia berusaha bertahan hidup… sampai akhirnya menemukan tempat aneh bernama Café BondGia, kafe bata merah yang menerima pelanggan tidak biasa vampir, penyihir, bahkan iblis yang suka minum kopi susu. Namun, pekerjaan barista hanyalah permukaan.
Table of contents
VIEW MORE

Chapter 1 - Dimana aku?

Suatu malam yang hening.

Waktu di ponselku menunjukkan pukul 23:49.

Aku berjalan tenang di Toar Toar jalanan sampai suatu ketika aku tak sengaja menginjak kulit pisang.

Seketika tubuhku jatuh dan kepalaku terbentur dengan sangat keras ke pot tanaman.

Saat aku membuka mata lagi aku sudah tak di sana lagi.

Aku langsung menyadari bahwa aku berada di ruangan aneh. Tempat ini aneh karena hanya ada lantai marmer hitam yang membentang luas dan kabut hitam yang menyelimuti tempat ini serta banyak pot aneh yang melayang.

Tepat di depanku ada seorang wanita berambut putih dengan pakaian yang... aneh. Aku pikir dia seperti Dewi.

Wanita itu mulai berbicara “Wahai manusia apes, kamu telah mati karena kulit pisang. Karena kematianmu cukup menyedihkan, aku akan memberimu kesempatan kedua untuk bereinkarnasi di dunia baru. Mumpung aku lagi mood, aku akan memberimu sedikit uang. Yah setidaknya cukup buat makan sementara waktu dan sewa tempat tinggal murah.”

Aku masih terpaku antara kesal dan malu karena cara kematianku yang begitu menyedihkan. Serius aku mati kayak gini?! Kaya gaada harga diri sama sekali!

Aku menggerutu “Astaga.”

“Aku belum namatin genshin impact, aku juga mau tau ending one piece, aku juga belum nikah kenapa aku harus mati SEKARANG!! sungguh takdir yang kejam.”

Kemudian Dewi itu berkata lagi “Hei, hei, tenangkan dirimu. Oh iya, aku belum memperkenalkan diri. Namaku Lavendia, Dewi yang bertugas mengawasi bumi dan mengurus reinkarnasi manusia. Jangan khawatir aku akan memberimu kemampuan spesial yaitu“

Ia menatapku dengan tatapan serius dan berwibawa.

“Kemampuan spesialmu adalah menghasilkan dan memanipulasi bawang.”

Aku menggerutu “Woi kasih aku kemampuan keren dikit lah kaya shadow,hell fire dan lain sebagainya, emangnya bawang bisa apa coba.”

Dewi itu menghela napas panjang.

“Bersyukur dikit napa. Mau nasibmu kayak Natsuki subaru? Atau lebih parah kayak Guts di berserk?”

Belum sempat aku protes, jentikan jarinya berbunyi.

Saat aku membuka mata lagi, aku terbaring di tengah hutan berkabut.

Udara dingin, dan lembap.

Namaku Azei, jujur sebenarnya aku masih belum ikhlas dengan kehidupan ku yang sekarang tapi mau bagaimana lagi.

Setelah berjalan beberapa menit, aku menemukan gerbang kota besar dengan papan bertuliskan: Caerliona

Kabut tipis menyelimuti udara bahkan di sekitar gerbang itu juga.

“Hufth.” Aku menatap uang di tanganku.

“Setidaknya Dewi sialan itu memberiku sedikit uang kira kira ini sekitar 199 ribu Dhelmos. Serta kemampuan untuk memunculkan dan memanipulasi bawang.”

Aku mencoba memunculkan bawang di tanganku. Saat aku menatap telapak tanganku, sebuah bawang bombai besar muncul perlahan di sana dan bawang itu tak terlihat menggoda.

Aku berpikir. Hmm apa coba yang bisa aku lakukan dengan bawang? Cuih masa aku harus buka toko bawang? Mungkin sebaiknya aku mempelajari sihir lain.

Aku mulai memasuki gerbang dengan perasaan setengah putus asa.

Caerliona bukan kota biasa.

Ia berdiri di antara kabut tipis yang abadi.

Terletak di wilayah barat yang dikelilingi hutan pinus, kota ini memiliki arsitektur bergaya gotik-antik: bangunan bata merah, menara jam kuno, dan jendela kaca patri yang memantulkan cahaya lembut di sore hari. Ada banyak orang yang mengenakan pakaian formal, tapi tak hanya itu aku juga melihat beberapa manusia yang terlihat seperti vampir. Ada banyak trem-trem yang beroperasi.

Aku menatap sekitar, kagum.

“Ini dunia fanthasy yang cukup bagus tapi sayangnya... aku gak dapet kekuatan keren kayak Sung Jin Woo.”

Setelah berkeliling cukup lama, aku menemukan papan bertuliskan:

“Kontrakan murah! 49 ribu Dhelmos per bulan (Diskon 49%)!”

Murah banget. Tanpa pikir panjang, aku langsung nyewa.

Pemilik kontrakan cuma bisa melongo ngelihat pakaianku yang kayak “turis tersesat”, tapi anehnya aku langsung ngerti bahasa mereka.

Catatan:(Dhelmos adalah mata uang di tempat ini)

Tiga hari kemudian.

Pagi yang normal di kota caerliona, kabut tipis yang menyelimuti kota.

Hawa dingin terasa dari celah jendela rumah kontrakan mungil yang menjadi tempat tinggal baru ku.

Aku duduk di kursi rotan reyot dekat jendela, rambutnya yang acak acakan membuat ku terlihat menyedihkan .

Di tanganku, secangkir kopi rasa kelapa bukan karena aku suka, tapi karena cuma itu yang diskonnya dua kali lipat di Toko lokal.

Bangunan-bangunan bata tinggi bergaya gotik berbaris rapi, dan suara trem bergemuruh di udara lembap pagi itu.

Aku melirik ke kaca.

Refleksi diriku tampak “Aku terlihat seperti Orang yang sangat menyedihkan."

Sementara di luar, mayoritas orang Caerliona mengenakan jas panjang, rok formal, atau mantel tebal seperti sedang ikut audisi film abad ke-19.

Ya walaupun aku sudah membeli beberapa baju agar menyesuaikan sekitar.

Sudah tiga hari aku tinggal di sini, dan sejauh ini rutinitasku adalah:

Bangun siang.

Beli roti lokal yang saking kerasnya bisa dijadiin senjata.

Menyeruput kopi instan sambil pura-pura jadi mafia kesepian.

“Ya setidaknya aku sudah lumayan bisa menggunakan sihir api modal baca buku walau masih sulit dikendalikan.”

“Walaupun sebenarnya aku masih merindukan dunia lamaku.”

“Ya, hidup simple gini kayanya aja udah cukup,” katanya waktu itu.”

Sayangnya, alam semesta tidak sepakat.

Pagi itu, aku membuka dompet.

Isinya… nihil. Kosong. Hampa.

Seperti rumah bersejarah yang udah ditinggal penghuninya dua abad.

“Oke…” aku menarik napas panjang.

“Sepertinya aku butuh pekerjaan.”

Aku menatap luar jendela. Kabut makin tebal, menelan cahaya lampu jalan.

Di kejauhan, terlihat papan kecil bergoyang diterpa angin.

Tulisan di papan itu samar-samar terbaca:

“Lowongan Café BondGia.”

Dicari barista

Aku membeku sejenak.

“Butuh barista ya , katanya…? Untung aja pas belum isekai aku kerja paruh waktu jadi barista.”

Langkahnya berhenti di depan kafe bata merah dengan papan kayu tua yang tulisannya sedikit pudar:

“Café BondGia.”

Lampu gantung di depan pintu berayun pelan, seolah menyambutnya.

Aku menatap pintu itu, menarik napas, dan bergumam:

“Semoga tempat ini nggak seaneh yang keliatan.”

Dan dengan bunyi kecil lonceng pintu…

Kring...