LightReader

Chapter 17 - BAB 17 — Lelaki yang Menghilang dari Dunia yang Dibangunnya Sendiri

Tidak ada yang benar-benar tahu bagaimana Surya keluar dari medan perang itu.

Tidak ada langkah kaki.

Tidak ada jejak ban mobil.

Tidak ada saksi mata.

Yang tertinggal hanya bau besi, asap, dan tubuh-tubuh yang membeku dalam ketakutan terakhir mereka.

Di kota itu, nama Surya tidak lagi sekadar rumor.

Ia menjadi mitos yang menetes dari mulut ke mulut, seperti cerita makhluk gaib yang katanya bisa muncul di balik bahumu ketika kau menyebut namanya tiga kali.

Namun pada malam pembantaian terakhir itu—ketika dua kelompok besar dunia gelap lenyap tanpa sempat bersujud—Surya tidak berdiri sebagai pemenang.

Dia berdiri sebagai lelaki yang tiba-tiba merasa sangat sendirian.

Perang itu tidak membuat Surya puas.

Tidak membuatnya bangga.

Tidak membuatnya merasa lebih kuat.

Justru sebaliknya.

Saat darah mengalir di lantai gudang tua itu, Surya mendengar suara yang sejak lama ia takutkan:

suara ibunya… tapi dengan nada kecewa.

"Nak, iki dalan sing mbok pilih?"

(Nak, ini jalan yang kamu pilih?)

Surya tersentak keras waktu itu—bukan karena peluru, bukan karena luka.

Tapi karena kalimat itu menusuk ke bagian dirinya yang sudah lama dia kubur.

Di tengah bau mesiu dan jeritan putus napas, Surya melihat tangannya sendiri bergetar.

Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun.

Dan ia sadar:

Setiap langkah kejam, dingin, dan tak berperasaan yang ia ambil…

punya harga yang tak bisa dibayar.

Dan harga itu adalah:

— jarak antara dia dan ibunya

— jarak antara dia dan adik perempuannya

— jarak antara dia dan dirinya sendiri

Ketika semua orang menganggapnya monster,

Surya sadar dia mulai mempercayainya juga.

Malam itu, setelah memastikan tak ada lagi musuh bergerak, Surya berjalan keluar dari gedung tanpa menoleh. Ia menatap langit kota yang gelap—tanpa bintang, tanpa harapan.

"Jika aku terus seperti ini," gumamnya lirih,

"aku akan membunuh diriku sendiri… sedikit demi sedikit."

Ia duduk di bangku bus kota yang sudah tua, lampunya berkedip seperti kunang-kunang sekarat.

Semua penumpang tertidur, tidak ada yang tahu mereka duduk bersebelahan dengan salah satu sosok paling berbahaya di kota itu.

Di bangku itu, Surya membuat keputusan yang tidak pernah diprediksi siapa pun:

Dia akan menghilang.

Benar-benar menghilang.

Melepas nama, melepas masa lalu, melepas bayangan.

Tidak untuk selamanya…

tapi cukup lama sampai dia bisa memastikan satu hal:

Bahwa dia masih manusia.

Ia membakar ponsel yang dipakai untuk komunikasi gelap.

Membuang pisau-pisau kesayangannya ke sungai.

Menghapus jejak di jaringan bawah tanah.

Dan berjalan pulang ke kampung halaman dengan satu tas kecil dan tubuh penuh luka.

Saat tiba di desanya setelah bertahun-tahun, dia berdiri di depan rumah sederhana itu—tempat ibunya pernah menghangatkannya meski mereka nyaris tak punya apa-apa.

Udara desa terasa seperti obat setelah hidup bertahun-tahun dalam asap hitam.

Surya memejamkan mata.

Menghirup dalam-dalam.

Dan untuk pertama kalinya sejak ia menjadi bagian dunia gelap…

dia merasa hidup.

Tidak ada yang tahu apa yang terjadi setelah itu.

Yang orang-orang tahu hanyalah:

— Surya hilang dari kota

— semua jejaknya hilang seperti asap

— semua namanya di dunia gelap tidak lagi bisa dipanggil

— semua musuh yang mencarinya menemui jalan buntu

Dan kota itu mulai berbisik:

"Mungkin ia sudah mati."

"Mungkin ia sembunyi di luar negeri."

"Mungkin dia berubah jadi orang lain."

Tapi tidak ada yang benar-benar tahu.

Kecuali satu hal:

Surya memilih pergi…

karena ia ingin menyelamatkan sisa-sisa dirinya yang masih manusia.

 

More Chapters