Pagi itu, Surya bangun lebih cepat dari ayam jago.
Udara desa menusuk hidungnya dengan aroma rumput basah dan tanah yang belum tersentuh panas matahari. Tidak ada raungan mesin mobil hitam, tidak ada teriakan orang mabuk, tidak ada dering telepon dari orang-orang yang memintanya menghilangkan seseorang.
Hanya keheningan.
Keheningan yang… menyembuhkan.
Di hari-hari pertama kepulangannya, warga desa masih memandang Surya seperti melihat roh gentayangan yang mirip seseorang yang mereka kenal dulu. Surya kecil dulu pendiam, jarang senyum, tatapannya seperti anak yang sedang bertahan hidup.
Tapi Surya yang kembali sekarang—
tertawa.
banyak bicara.
suka menggoda tetangga.
suka membuat lelucon receh yang bahkan kadang tidak lucu.
"Lha, Pak Man… kok rambut njenengan mirip sapu ijuk sing kesel?"
(Pak Man… kenapa rambut Anda mirip sapu ijuk yang capek?)
Pak Man tertawa sambil memukul bahunya pelan.
Atau ketika ibu-ibu lewat, ia sering bercanda:
"Bu, kalo sayurnya murah-murah terus, aku nikah cepat iki! Bahaya kuwe!"
(Bu, kalau sayurnya murah terus, aku bisa cepat nikah! Bahaya itu!)
Ibunya sampai heran melihat perubahan drastis itu.
Adiknya sampai bingung, bahkan sempat bertanya:
"Mas… kok mas jadi kayak pelawak jatuh cinta?"
Surya hanya tersenyum.
"Yah… wong urip kok, le. Kudu iso ngguyu sakarepmu."
(Ya begitulah hidup, dek. Harus bisa ketawa semaumu.)
Tapi meski mulutnya bercanda,
hati kecilnya tahu:
Semua itu adalah topeng yang sedang ia pakai untuk menyembuhkan dirinya sendiri.
Di sawah, ia bekerja seperti petani biasa—
menanam, memotong gulma, mencangkul, membawa karung pupuk di pundaknya.
Tangan yang dulu memegang pistol, kini memegang sabit.
Tangan yang dulu sangat dingin, kini hangat oleh matahari desa.
Namun setiap kali matahari condong ke barat,
dan bayangan pohon mulai memanjang di pematang,
Surya kadang berhenti.
Menatap jauh.
Senyumnya masih di bibirnya…
tapi sorot matanya berubah.
Sorot mata yang:
— tajam
— gelap
— seperti melihat sesuatu yang orang lain tidak bisa lihat
— seperti predator yang bersembunyi di balik tubuh seorang petani muda
Kucing saja tahu itu.
Setiap kali seekor kucing mendekatinya, lalu Surya menatapnya terlalu lama, kucing itu mundur perlahan.
Ibunya pernah memergokinya dalam keadaan seperti itu saat ia sedang mencuci pisau di sumur.
Pisau itu hanya pisau dapur, namun cara Surya memegangnya…
cara dia menatap ujung besinya…
…mengingatkan ibunya pada sesuatu yang tidak ia mengerti.
Surya sadar tatapan ibunya berubah khawatir.
Ia cepat-cepat tersenyum lebar dan berseru:
"Bu, iki mung pisau, bukan mantan sing durung move on."
(Bu, ini cuma pisau, bukan mantan yang belum move on.)
Ibunya tertawa, tapi dalam hatinya tetap ada rasa ganjil yang tidak bisa dijelaskan.
Namun tidak banyak yang tahu:
Surya sebenarnya sedang berpura-pura ceria.
Tidak palsu—tapi dibuat-buat untuk membunuh monster kecil di dalam dirinya.
Ia ingin menjadi lelaki baru:
bukan algojo, bukan pemburu bayaran, bukan mesin pembunuh.
Tapi… manusia.
Manusia biasa.
Yang bisa bercanda, kerja di ladang, minum kopi di warung, pulang sore, tidur nyenyak.
Bagaimanapun, monster itu belum mati.
Ia hanya tidur.
Kadang muncul ketika Surya teringat masa lalu,
atau mendengar suara motor berknalpot besar,
atau melihat segerombolan anak muda mabuk lewat depan rumah.
Kadang muncul saat bayangan sore menghitam di dinding.
Kadang muncul saat adiknya pulang telat dan ia merasa gelisah tanpa alasan.
Sorot mata itu—
yang membuat dunia gelap dulu bertekuk lutut—
seperti api yang tidak pernah benar-benar padam.
Tapi Surya berusaha.
Setiap hari.
Berusaha menutup masa lalu dengan tawa.
Berusaha menambal luka dengan canda.
Berusaha menenangkan diri dengan tanah desa dan aroma padi.
Namun takdir tidak pernah membiarkan seseorang benar-benar lepas dari bayangannya.
Pada suatu sore yang lengang, ketika Surya sedang duduk di beranda sambil mengupas jagung, suara sepeda motor berhenti tepat di depan rumah.
Tiga pemuda.
Tertawa keras.
Tatapan kasar.
Cara bicara seenaknya.
Dan Surya merasakan itu:
getaran kecil di dalam dirinya…
yang sudah lama ia tekan…
bangkit lagi.
Dia tersenyum ramah pada mereka.
Tapi matanya—
matanya berubah menjadi sesuatu yang pemuda-pemuda itu bahkan tidak sadari sedang menatap mereka.
Sesuatu yang dulu—
pernah membuat dunia gelap berlutut.
