LightReader

Chapter 12 - chapter 12

Sebelum bendera-bendera asing berkibar di pelabuhan-pelabuhan kerajaan…

sebelum dentum bedil dan langkah para serdadu bersepatu keras meratakan adat-adat lama…

tanah ini hidup di bawah hukum yang jauh lebih tua dari akal manusia.

(Ilmu. Kesaktian. Darah.)

Tiga pilar yang tidak tertulis dalam kitab mana pun,

namun mengalir di udara, di sungai, dan di tulang-tulang para leluhur..

menentukan kehormatan, kekuasaan, bahkan nasib hidup dan mati.

Tiga kata itu tak sekadar ajaran, melainkan hukum besi yang menakar harga hidup seseorang..

Bagi kaum bangsawan, kesaktian bukan pilihan..

ia adalah syarat mutlak untuk dihormati, diterima, bahkan untuk sekadar dianggap hidup.

Dan di tengah dunia yang keras itulah,

lahirlah seorang anak laki-laki yang kelak membawa petaka bagi keturunannya sendiri.

Namanya Raiman.

Ia lahir di istana kecil di lereng barat Gunung kembang, sebuah wilayah yang mencapai kejayaannya bukan karena kekuatan tentara, melainkan karena kedekatan para leluhur dengan dunia gaib.

Dan Di tempat itulah, pusaka-pusaka kuno, jimat, dan kitab-kitab rahasia dijaga seperti jantung kerajaan.

Ayahnya seorang bangsawan terpandang, penyambung garis darah panjang yang dipercaya—konon—berasal dari para penjaga gaib hutan suci. Ibunya berasal dari keluarga terpelajar yang menguasai ilmu aksara kuno.

Semua orang mengira Raiman akan tumbuh menjadi pewaris yang sempurna.

Tapi sejak kecil, satu hal menjadi rahasia yang tidak pernah diucapkan dengan jujur:

Raiman… berbeda.

 

Anak-anak di istana mulai belajar olah napas sejak usia tujuh.

Di usia sepuluh, mereka sudah mampu memecah batu bata dengan tangan kosong.

Saat menginjak sebelas tahun, mereka mulai mengasah batin untuk melihat yang tak kasatmata.

Namun Raiman…

Menahan napas sepuluh detik saja ia terbatuk-batuk.

Tiap kali memegang senjata kayu, tangannya gemetar seolah memegang bara.

Tubuhnya kurus, pundaknya rapuh, langkahnya tidak pernah benar-benar tegap.

Hari pertama ia ikut pelatihan, Guru Besar hanya menatapnya lama, lalu menghela napas.

Hari ketiga, ia diminta berdiri paling belakang, jauh dari barisan utama.

Hari keenam..bahkan sebelum mempelajari jurus dasar....ia diusir oleh gurunya yang sudah sangat emosi..

Dan pada hari ketujuh…

mulut anak-anak istana mulai tajam seperti mata pisau.

“Anak haram yang tak diberi anugerah kerajaan!”

“Darahmu bukan darah kami, Raiman.”

Orang dewasa pura-pura tidak mendengar, tetapi tatapan mereka sama saja..

penuh keraguan, penuh bisik-bisik yang menusuk lebih dalam dari kata-kata.

 

Setiap senja, saat suara meriam jauh dari benteng besar kerajaan tetangga bergema,

Raiman kecil duduk sendirian di halaman belakang istana, menulis pola jurus di tanah.

Tangan kecilnya menggambar bulatan

garis lengkung, setengah pola.

Ia membuatnya berulang-ulang..

sampai kukunya patah, ujung kukunya retak.

Di bawah pohon randu besar yang konon ditunggui leluhur,

ia berlutut..

Malam-malam tertentu, ia membawa bunga kenanga yang dipetiknya diam-diam dari taman raja.

Ia menengadah, memohon dalam hati:

“Berikan aku sedikit saja kesaktian.

Sedikit saja… agar aku tidak menjadi hina.”

Tapi angin tak menjawab.

Pohon randu hanya melambai samar, seakan mengabaikan doanya.

Sementara dari kejauhan, suara tawa para sepupunya menggema..tawa yang terasa seperti tamparan.

Dan justru pada periode itu, rumor gelap mulai menyebar.

Rumor yang tidak berasal dari rakyat jelata,

bukan dari guru-guru di padepokan,

melainkan dari keluarga besar ayahnya sendiri.

Raiman adalah aib.

ibunya di tuduh telah membawa darah asing ke dalam istana.

raiman bukan pewaris sah.

Tidak ada yang membela.

Tidak ada yang peduli.

Seolah-olah seluruh istana diam-diam setuju bahwa Raiman sebaiknya tidak pernah dilahirkan.

 

Pada malam ketika hujan paling deras mengguyur kerajaan,

petir membelah langit dan menerangi istana seperti nyala obor raksasa.

Di dalam salah satu bilik kecil, ibunya terbaring sekarat..kulitnya pucat seperti kertas, napasnya terputus-putus.

Raiman yang berusia sembilan tahun duduk di sampingnya, menggenggam tangan ibunya dengan ketakutan yang tidak mampu ia ucapkan.

Namun ayahnya tidak menunggu di sana.

Ia sibuk di pendapa utama, menemui para tamu bangsawan dan menyembunyikan “aib keluarga” dari mata pengadilan istana pusat.

Ibunya meninggal tanpa sempat mengucap pesan terakhir.

Tak ada upacara besar.

Tak ada ratapan.

Tak ada doa-doa panjang dari para tetua.

Hanya Raiman…

sendirian dalam gelap.

Tubuh kecilnya berdiri di bawah teras istana, hujan menetes dari rambutnya, menggigil hebat.

Ia melihat para bangsawan lewat begitu saja, langkah mereka cepat, tanpa memedulikan anak kecil yang kehilangan satu-satunya tempat pulang.

Dan di saat itulah, sesuatu dalam diri Raiman retak.

Dunia tidak menginginkannya.

Leluhur tidak mengakuinya.

Darah bangsawan tidak pernah mengalir untuknya.

Malam itu, di tengah petir yang menghantam puncak gunung,

ia berbisik pada dirinya sendiri—bukan sebagai doa, bukan sebagai harapan, tapi sebagai janji:

“Aku akan mendapatkan kekuatan.”

“Dengan cara apa pun.”

“Meski harus meminjam dari dunia yang tidak disukai manusia.”

Itulah malam ketika hati seorang anak berubah menjadi sesuatu yang kelak jauh lebih gelap.

 

Tahun-tahun berikutnya tidak membaik.

Saat menginjak usia remaja, Raiman semakin dikucilkan.

Padepokan istana menolak melatihnya.

Guru-guru batin menganggap dirinya tidak memiliki “wadah”.

Sementara sepupu-sepupunya semakin kuat, semakin disegani, semakin siap menjadi penerus tahta kesaktian.

Dan Raiman..?

Ia menjadi bayangan yang berkeliaran di istana..

tak terlihat, tak berarti..

seolah dia ada hanya untuk bahan hinaan

Tapi raiman tidak menyerah,

Ia selalu mencoba belajar mandiri dari kitab-kitab tua yang disembunyikan penjaga perpustakaan,

namun setiap kali ia membuka halaman berisi mantra, huruf-hurufnya seakan menolak dipahami. Ada kekosongan yang terus menyeretnya.

Hingga pada suatu malam…

hawa dingin merayap ke kamar tempat ia tinggal.

Dingin yang berbeda dari angin gunung.

Dingin yang terasa seperti… tatapan.

Dan untuk pertama kali sejak ibunya meninggal,

Raiman merasa ada sesuatu yang mendekatinya.

Bukan manusia.

Bukan leluhur.

Sesuatu yang seakan berbisik dari balik tirai dunia.

Sesuatu yang menawarinya perhatian…

ketika seluruh dunia menolaknya.

 

Arah yang Menggelapkan Segala Garis Nasib

Itulah titik awal kelam dalam sejarah keluarganya.

Di umur belasan, Raiman mulai meninggalkan istana saat tengah malam.

Ia pergi ke tempat-tempat terlarang:

ke pohon keramat yang dipasung dengan jaring besi,

ke sungai yang airnya tidak memantulkan bayangan,

ke reruntuhan padusan tempat para raja dulu melakukan ritual yang kini dianggap tabu.

Ia mencari apa pun yang bisa menjawab panggilannya.

Dan pada malam itu,

ketika kabut menelan seluruh lereng gunung,

Raiman menemukan jawabannya.

Atau mungkin…

jawaban itu yang menemukan Raiman.

Ia tidak tahu nama makhluk itu.

Ia tidak tahu wujudnya, wajahnya, atau batas tubuhnya.

Yang ia tahu hanyalah suara..

suara yang terdengar seperti perpaduan hujan deras, desir angin, dan gumaman dari seseorang yang sudah lama mati.

Suara yang berkata:

“Aku bisa memberimu kekuatan.”

Dan Raiman, anak kecil yang dibesarkan oleh penghinaan,

yang diabaikan oleh dunia,

yang ditolak oleh para leluhur…

…tersenyum untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun.

Malam itulah ia memulai perjanjian

yang kelak akan menjadi kutukan bagi seluruh garis keturunannya.

More Chapters