LightReader

Chapter 14 - chapter 14

Angin pagi yang biasanya membawa aroma bunga melati kini terasa lain.

Lebih berat.

Lebih lambat.

Seolah setiap hembusan harus melewati lapisan tak kasat mata yang menggantung di sekitar istana.

Di balik pendapa besar, para emban menata kendi air dan lembaran kain, tetapi tangan mereka gemetar tanpa alasan.

“Apa kowe krungu kuwi?” bisik salah satu emban.

“Krungu opo?” tanya yang lain.

Emban itu menelan ludah.

“Sakdurunge Raiman liwat… aku krungu swara koyo… tembang wong nangis.”

Tidak ada yang menanggapi. Mereka takut menyebut hal-hal yang semestinya dibiarkan dalam gelap.

Namun satu hal jelas:

kini yang berjalan melewati gerbang itu… bukanlah Raiman yang sama.

 

Di aula dalem yang penuh ukiran emas pudar, Tumenggung Wiradipa duduk mendengarkan laporan. Namun pikirannya mengembara.

Udara terasa sendu.

Sejak subuh, balai seperti tanah setelah badai.

“Panggil para juru hawa,” perintah Tumenggung.

Abdinya menelan ludah.

“Dalem… napa wonten ingkang… ganjil?”

Tumenggung tidak menjawab. Matanya menyapu jendela, menatap gerbang luar.

“Angin dina iki ngandhut swara sing ora lumrah. Koyo ana roh bali… nanging ora kanthi slamet.”

Ucapan itu membuat abdi gemetar.

Di istana kecil seperti ini, kata-kata tentang roh bukan metafora..tapi peringatan.

 

Di kamar kecilnya yang berada di sayap barat istana, Raiman berdiri di depan cermin retak.

Wajahnya tampak sama…

tapi bayangannya tidak.

Bayangannya tertinggal sepersekian detik, seolah mencoba mengingat bentuk tubuh yang sedang ditirunya.

Kadang panjang, kadang pendek. Kadang seperti memiliki tanduk samar, yang hilang saat Raiman berkedip.

Ia mengangkat tangan.

Di cermin, bayangan ikut mengangkat…

namun dari ujung jari bayangan itu muncul garis hitam tipis seperti akar yang tumbuh dari kegelapan.

Dulu Raiman mungkin menjerit.

Dulu ia mungkin memanggil orang tua atau pengasuhnya.

Tapi setelah malam itu…

setelah perjanjian itu…

Tidak ada lagi rasa takut.

Yang ada hanya rasa lapar.

Lapar akan kekuatan.

Lapar akan pengakuan.

Lapar untuk melihat orang-orang yang dulu menghinanya… bersujud.

Di bawah tulang rusuknya, sesuatu berdenyut pelan. Bukan degup jantung.

Degup makhluk lain..

sesuatu yang sedang tumbuh di dalam dirinya.

Menunggu.

Mengawasi.

Menghela napas melalui tubuh Raiman.

 

Ki Gadinglaras, sesepuh istana, memejamkan mata saat Tumenggung memanggilnya.

“Aku krungu swara bumi sing ora lumrah wiwit subuh,” katanya.

“Bumi ngomong, Ki?” tanya Tumenggung.

Ki Gadinglaras mengangguk. “Swara kaya nyanyian… nanging kepenuhan lara. Tembang sing dudu gawean manungsa.”

Tumenggung menghela napas berat.

“Bicara terus terang. Apa sing mlebu istanaku dina iki?”

Ki Gadinglaras membuka mata. Pupurnya bergetar.

“Nduweni bayangan dudu bayangan manungsa, Raden.”

Ia menunduk.

“Sing mlebu kuwi dudu bocah… nanging titah peteng sing numpak awak bocah kuwi.”

“Apa jenenge?” Tumenggung bertanya pelan.

Seolah takut mendengar jawabannya.

Sesepuh itu memejamkan mata lebih rapat, lalu berbisik:

“Raiman.”

-----++_----

ketika matahari naik, seorang penjaga istana berlari ke balai dalam, napasnya tersengal.

“Nuwun sewu! Darurat!”

Tumenggung berdiri. “ono OPO.?”

“R—Raiman, Raden… ana ing panggungan banyu… lan kolam… mati nalika panjenenganipun nyentuh!”

Ruangan sunyi seketika.

“Jalari aku weruh.”

 

Di area wudhu istana, para prajurit dan emban berkumpul.

Wajah mereka pucat.

Raiman berdiri sendirian.

Kolam kecil yang biasanya jernih kini berubah seperti kaca hitam yang memantulkan cahaya dengan cara yang tak wajar… seolah air itu bukan lagi air.

Ki Gadinglaras bergetar.

“Ratri saka gunung… wis ngetutake bocah kuwi.”

Raiman menatap kolam.

Bayangannya menatap balik…

dan tersenyum.

Senyum itu bukan milik seorang anak.

-----_------

Kabar perubahan Raiman menyebar seperti angin liar.

Para prajurit berbisik di sudut lorong.

Emban-emban enggan lewat dekat kamarnya.

Beberapa orang bahkan memohon cuti, mengaku sakit.

Tumenggung Wiradipa tidak bisa membiarkan kegelisahan ini membesar.

“Aku butuh bukti,” katanya.

“Bocah kuwi ora bakal tak vonis tanpa nonton kahanane dhewe.”

Maka dipanggillah Jendral Arya Brawijaya, penjaga utama istana, lelaki bertubuh seperti batu karang dan bersenjata tombak warisan keluarga.

Orang yang konon mampu membengkokkan baja dengan tangan kosong.

Orang yang tidak pernah kalah dalam pertarungan latihan maupun perang.

“Raden,” Arya membungkuk.

“Menapa perintah panjenengan Gusti Raden..?”

“Aku pengin ngerti kekuatan bocah kuwi wajar apa ora. Latih dhèwèkan. Yen perlu… tekan pertarungan.”

Para prajurit terbelalak.

Melawan jendral itu berarti menghajar gunung hidup.

Tapi perintah sudah keluar.

 

_-_+_

Sore itu, langit memerah seperti terbakar.

Raiman dibawa ke alun-alun latihan istana.

Jendral Arya berdiri di tengah lapangan, tombak di tangan.

“Raiman,” katanya tanpa hiasan.

“Dina iki mung latihan. Aku mung arep ngerti apa sing kedadeyan karo awakmu.”

Raiman tidak menjawab.

Ia hanya menatap tanah..atau tepatnya, bayangan dirinya yang menari pelan di atas tanah.

Bayangan itu bergerak tidak serempak… seperti makhluk berbeda yang kebetulan menempel di tubuh raiman.

Jendral Arya mengerutkan kening.

“Bocah, delok aku nek tak ajak ngomong.”

Raiman mengangkat kepalanya.

Mata itu kosong.

Kosong, namun dalam.

Seperti ada ribuan bisikan di balik tatapannya.

Arya menelan ludah.

“Baik. Aku mulai.”

Ia melangkah maju. Tombaknya memotong udara.

SHUAAAA!

Serangan cepat.

Cukup untuk melukai tanpa membunuh.

Tapi sebelum tombak itu menyentuh kulit Raiman…

Bayangan di tanah bergerak lebih dulu.

Sesuatu menarik Raiman ke samping.

Tubuh bocah itu menghilang dalam kedipan mata.

Tombak hanya mengiris angin.

Arya terbelalak.

Prajurit-prajurit di sekitar lapangan saling berbisik.

“Apa kuwi?!”

“Cepete koyo kilat!”

“Dheweke ora gerak kaya manungsa..!”

Jendral Arya menggetarkan tombaknya.

“Sekali lagi.”

Kali ini ia menggunakan seluruh kekuatannya.

Tanah bergetar ketika ia melompat dan menghantamkan pusaran angin dari lompatan tombaknya.

DUARRR!!!

Debu mengepul.

Ketika debu turun…

Raiman sudah ada di belakangnya.

Tanpa suara.

Tanpa langkah.

Bayangan Raiman naik, memanjang, lalu menempel pada bayangan Arya seperti belut hitam.

Jendral itu tercekik.

Bukan oleh tangan Raiman…

tetapi oleh bayangannya sendiri, yang kini seolah hidup dan menjerat lehernya.

“Ha—haaaak!!” Arya terhuyung.

Ia mencoba menarik napas—sia-sia.

Tombaknya jatuh.

Mata Arya memerah.

Kakinya menghentak tanah mencari keseimbangan.

Para prajurit berteriak panik.

Ki Gadinglaras yang menonton dari kejauhan menutup mulutnya.

“Wis… wiwit…” bisiknya.

“Kutukan aji tumbal kencana wis tangi…”

Raiman mengangkat tangan pelan..

bukan untuk menyerang, tetapi seolah sekadar memberi izin.

Bayangan yang mencekik Arya mengendur.

Jendral itu jatuh berlutut, terbatuk keras.

Ia menatap Raiman dengan mata terbelalak, penuh ketidakpercayaan dan ketakutan.

“A-aku… ora bisa… aku… kalah… karo bocah umur telulas…”

Raiman tidak tersenyum.

Tidak bangga.

Tidak marah.

Ia hanya berkata pelan—suara yang tidak seperti suaranya sendiri:

“Sirah wis ndelok tondo pisan. Aja nyoba kapindho.”

 

Berita kekalahan Jendral Arya menyebar seperti penyakit.

Di dapur, emban-emban menjerit kecil sambil menutup mulut.

Di barak prajurit, para ksatria senior membanting kendi.

Di pasar bawah istana, para pedagang berbisik-bisik penuh ngeri:

“Anak kuwi dudu manungsa… ana peteng sing numpak ing awaké…”

“Jendral Arya kalah..? Lha terus… sapa sing isa nahan bocah kuwi..?”

“Kutukan apa iki sing teka saka Gunung Kembang?”

Tumenggung Wiradipa hanya bisa menatap cakrawala sore yang memerah.

Ada badai yang sedang tumbuh di istananya.

Badai yang lahir dari seorang anak kecil…

yang telah menjual masa depan keturunannya demi kekuatan.

Dan dia tahu..

Ini baru permulaan.

More Chapters