BAB 23 – Luka yang Belum Mati
Belati hitam itu jatuh.Suara dentingan logam memenuhi ruangan kecil, menggema di antara dinding kayu.
Aeryn berdiri mematung.Tangannya masih terangkat, tapi kosong—belati itu sudah terlepas. Dadanya naik turun cepat, napasnya berat. Mata peraknya bergetar, dan air mata tipis mengalir tanpa ia sadari.
Kael melangkah maju perlahan.Ia berhenti satu langkah di depannya, menatap wajah yang selama lima tahun menghantuinya.Wajah yang dulu ia cintai.Wajah yang ia khianati.
"Aeryn…" suaranya pelan, penuh rasa bersalah."Aku minta maaf."
Aeryn menoleh dengan cepat.Matanya memancarkan amarah yang membara, meski air mata masih jatuh.
"Maaf?" katanya dengan suara serak. "Kau pikir satu kata itu bisa menghapus apa yang kau lakukan padaku?"
Kael menunduk. "Tidak. Aku tahu itu tak cukup. Tapi kau harus tahu—malam itu… aku—"
Aeryn memotong kata-katanya dengan teriakan.
"Kau menjatuhkan obor itu, Kael!"Suaranya pecah, melukai udara seperti bilah tajam."Dengan tanganmu sendiri, kau membakarku hidup-hidup! Kau melihat aku menjerit, memohon… dan kau tetap melemparkan obor itu."
Air mata deras mengalir, tapi suaranya tidak melemah.
"Aku mencintaimu, Kael. Aku percaya padamu. Aku bahkan berpikir… kau akan menyelamatkanku. Tapi kau malah membunuhku."
Kael menutup mata, dadanya terasa seperti diremukkan.
"Aku…" suaranya patah. "Aku pengecut, Aeryn. Aku ketakutan malam itu. Tekanan dari raja, dari seluruh kerajaan… Aku memilih cara yang salah. Aku memilih mereka. Dan aku kehilanganmu."
Hening panjang.
Aeryn menatapnya, matanya berkilau oleh air mata.Kegelapan yang menyelubunginya tampak bergetar—seolah ikut merasakan dilema di hatinya.
"Aku ingin membencimu, Kael," katanya pelan, hampir seperti pengakuan."Aku kembali hanya untuk menghancurkanmu. Setiap nama yang kuambil… setiap jiwa yang kuhabisi… semuanya untuk sampai ke titik ini. Untuk melihatmu hancur."
Ia mendekat, jaraknya hanya satu langkah. Tangannya meraih kerah baju Kael, menariknya kasar, menatap mata pria itu dari jarak sedekat mungkin.
"Tapi kenapa… kenapa saat aku menatapmu, hatiku masih sakit dengan cara yang sama seperti dulu?"
Kael tidak menahan dirinya.Tangannya perlahan menyentuh pipi Aeryn.Kulitnya dingin, seperti malam, tapi sentuhan itu membuat Aeryn membeku.
"Karena kau masih mencintaiku," bisik Kael. "Sama seperti aku yang masih mencintaimu."
Air mata Aeryn semakin deras.
Ia memukul dada Kael dengan tinjunya, satu kali, dua kali, tiga kali—pukulan itu penuh amarah tapi juga putus asa.
"Aku benci kau! Aku benci kau!" teriaknya, meski suaranya pecah di ujung.Tapi Kael tidak menghindar. Ia hanya berdiri, menerima pukulan itu, dan membiarkan air matanya sendiri jatuh.
Akhirnya, pukulan itu berubah menjadi genggaman.
Aeryn merosot ke dadanya, tangisnya pecah, memeluk lelaki yang pernah menghancurkannya.Kael memeluknya balik, erat, seolah takut jika melepaskannya, Aeryn akan hilang lagi.
"Aku minta maaf…" bisik Kael berulang-ulang, suaranya patah."Aku minta maaf, Aeryn… aku minta maaf…"
Kegelapan di sekitar mereka bergolak.
Kabut hitam keluar dari lantai, berputar di sekitar mereka, bimbang antara amarah dan kerinduan. Seolah bahkan kekuatan gelap yang menghidupkan Aeryn ikut merasakan dilema hatinya.
Aeryn menutup mata, suaranya hampir seperti bisikan:
"Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu, Kael… tapi aku juga tidak tahu apakah aku bisa benar-benar membencimu."