BAB 22 – Kebenaran yang Terungkap
Pintu toko ramuan menutup perlahan di belakang Kael.
Suara engsel kayu bergema di ruangan kecil itu, dan udara seketika terasa lebih berat. Lilin-lilin yang menyala di meja memantulkan bayangan panjang di dinding, dan di tengah ruangan, Aeryn berdiri.
Dia tidak lagi terlihat seperti tabib sederhana.Jubah hitamnya terbuka, memperlihatkan gaun gelap dengan bordiran merah samar, dan di tangannya, belati hitam dengan runa merah menyala perlahan.Matanya—mata perak itu—berkilau tajam menatap Kael.
Hening panjang.
Kael berdiri beberapa langkah dari pintu, tangannya refleks menggenggam gagang pedang. Tapi pedangnya tetap di sarung.
Matanya menatap Aeryn, bibirnya bergetar. Kata-kata yang ia tahan selama lima tahun akhirnya keluar, pelan tapi jelas.
"Aeryn…"
Senyum samar muncul di bibir Aeryn."Akhirnya," katanya pelan, suaranya seperti bisikan malam. "Akhirnya kau mengatakannya, Kael."
Ia melangkah maju, cahaya lilin menyorot wajahnya. Ilusi tipis yang menutupi identitasnya lenyap. Wajah yang dulu ia sembunyikan kini sepenuhnya terlihat—wajah yang sama lima tahun lalu, malam pengkhianatan.
Kael menahan napas.
Matanya melebar. Meski ia sudah curiga, melihatnya langsung seperti ini membuat dadanya terasa seperti ditusuk."Kau…" suaranya parau. "…kau benar-benar kembali."
Aeryn menatapnya dingin, senyum samar itu menghilang."Lima tahun, Kael. Lima tahun aku terjebak di kegelapan. Lima tahun aku mengingat malam ketika kau sendiri yang menjatuhkan obor ke bawahku."
Kael memejamkan mata.
Wajahnya penuh rasa bersalah. Ingatan malam itu menghantamnya lagi, lebih keras dari sebelumnya.
"Aku…" suaranya serak. "Aku melakukan apa yang harus kulakukan. Aku… aku tidak punya pilihan."
Aeryn tertawa kecil, suara itu dingin, tanpa keriangan.
"Tidak ada pilihan? Kau memilih, Kael. Kau memilih kerajaanmu. Kau memilih kehormatanmu. Dan kau mengorbankanku."
Tangan Aeryn mengangkat belati hitamnya.
Cahaya merah dari runa berkilau, memantul di mata Kael.
"Aku kembali untuk balas dendam. Gareth. Baron Eldric. Seraphine. Semua yang mengkhianatiku sudah aku ambil. Dan sekarang…"
Ia menatap lurus ke mata Kael, matanya dingin, suaranya menurun menjadi bisikan yang menusuk telinga.
"…giliranmu."
Kael tidak bergerak.
Ia menatap belati itu, lalu menatap mata Aeryn. Dadanya terasa sesak.
Jika ini adalah akhir—ia pantas menerimanya. Ia tahu itu. Tapi di hatinya, ada sesuatu yang lebih kuat daripada ketakutan atau rasa bersalah.
"Aeryn…" katanya pelan. "Jika kau ingin membunuhku, lakukan. Aku tidak akan melawan."
Aeryn menatapnya.
Belati itu hampir menembus jarak di antara mereka. Tapi tangannya terhenti.Matanya bergetar. Nafasnya tertahan.
Ada kilatan sesuatu di wajahnya—keraguan.
Suasana menegang.
Belati itu masih diangkat. Kael menatapnya, tidak takut, hanya menunggu.Aeryn menggenggam belatinya lebih erat, tapi suaranya bergetar ketika ia berkata:
"Kenapa… kenapa aku tidak bisa menusukmu, Kael?"
Kael maju satu langkah.
Ia meraih tangan Aeryn yang memegang belati. Sentuhan itu membuat Aeryn tersentak—sentuhan yang mengingatkannya pada masa lalu, pada saat Kael dulu menggenggam tangannya dengan cinta.
"Karena kau masih ingat kita," bisik Kael. "Sama seperti aku."
Air mata pertama jatuh.
Bukan di pipi Kael. Tapi di pipi Aeryn.
Senyum samar yang tadinya dingin kini berubah menjadi senyum pahit.
"Aku ingin membencimu… aku harus membencimu…"
Belati itu jatuh ke lantai, menimbulkan dentingan logam.