BAB 21 – Gemparnya Istana
Pagi itu, Elvaria tidak lagi sama.
Kabar hilangnya Lady Seraphine menyebar seperti api liar. Pelayan-pelayan istana menangis di lorong, bangsawan-bangsawan berbisik di aula, dan rakyat biasa mulai membicarakan satu hal:
"Sosok Gelap itu… sudah masuk ke istana."
Di ruang rapat kerajaan.
Meja kayu besar dipenuhi gulungan peta dan laporan, tapi suasananya lebih berat dari sebelumnya. Para petinggi ksatria, bangsawan, dan penasihat berkumpul.
"Ini tidak bisa dibiarkan!" teriak salah satu bangsawan tua. "Pertama Gareth, lalu Baron Eldric, dan kini Lady Seraphine! Kita sedang diserang oleh sesuatu yang… tidak manusia!"
Suara itu menggema di ruangan. Semua mata beralih ke satu orang: Kael.
Kael berdiri, wajahnya pucat tapi tatapannya tetap tajam.
"Kita akan menenangkan kota. Kita akan melindungi istana," katanya dengan suara tegas, meski ada getaran kecil yang hanya ia rasakan sendiri.
Namun di dalam dirinya, pikirannya berputar cepat.Lyra.Atau Aeryn.
Setiap kejadian, setiap kabut, setiap mata perak… semuanya menunjuk ke arah yang sama.
Seorang penasihat berbisik, suaranya nyaris panik."Komandan Kael, orang-orang mulai mengatakan ini adalah kutukan… bahwa jiwa yang dulu dibunuh kerajaan kembali untuk membalas dendam."
Kael menatap penasihat itu tajam. "Itu rumor. Kita tidak akan menambah kepanikan dengan kata-kata kosong."
Tapi setelah rapat selesai, Kael berdiri sendiri di balkon istana, tangannya menggenggam liontin biru di lehernya.
Itu bukan rumor. Aku tahu siapa dia.
Di toko ramuan, Aeryn mendengar semua itu.
Ia duduk di kursi kayunya, mendengarkan bisikan kabut yang membawa kabar dari seluruh kota.
"Seraphine… hilang. Kael… gelisah. Istana… panik."
Aeryn membuka buku lusuhnya. Nama Seraphine kini ia coret dengan tinta hitam tebal.
Di bawahnya, hanya tersisa satu nama yang belum tercoret.
Kael.
Jari Aeryn berhenti di atas nama itu. Untuk pertama kalinya, ia tidak langsung tersenyum. Matanya sedikit bergetar.
"Kael…" bisiknya. "Kau yang paling menyakitiku. Tapi… kenapa aku masih mengingat wajahmu saat kau tersenyum padaku dulu?"
Di markas ksatria, Kael mengambil keputusan.
Ia memanggil dua prajurit kepercayaannya."Beri tahu pasukan. Aku akan menemui tabib itu… Lyra," katanya, suaranya berat.
Prajurit itu menatapnya kaget. "Sendiri, Komandan?"
Kael mengangguk. "Ini bukan urusan pasukan. Ini urusanku."
Malam itu, langkah Kael membawa dirinya ke toko ramuan di sudut kota.
Jalanan sepi. Kabut tipis mulai merayap di batu jalan.
Di depan pintu toko, ia berhenti. Tangannya memegang gagang pedang, tapi di tangan satunya, ia menggenggam liontin biru Aeryn.
"Jika kau benar-benar Aeryn…" gumamnya, "…aku harus mendengar kebenaran langsung darimu."
Kael membuka pintu.
Di dalam, Aeryn sudah menunggu.
Ia berdiri di meja kayu, belati hitam dengan runa merah di tangannya. Mata peraknya bersinar dalam cahaya lilin, menatap Kael lurus.
Senyum tipis muncul di bibirnya.
"Akhirnya kau datang… Kael."