LightReader

Chapter 2 - Luka Anak Pertama

Bab 2: Surat yang Tak Pernah Dikirim

Pagi itu, matahari bersinar cerah. Tapi bagi Nayla, langit tetap kelabu.

Ia duduk di meja belajar dengan surat kosong di depannya. Tangannya memegang pulpen, namun tak satu kata pun tertulis.

Di luar kamarnya, terdengar suara ibunya memarahi adiknya karena tidak bangun pagi. Lalu suara piring pecah. Lalu teriakan, dan lagi-lagi… diam yang memekakkan.

Nayla menarik napas dalam-dalam. Ia mulai menulis:

"Untuk Ibu,

Aku tahu Ibu lelah. Aku tahu Ayah juga sibuk. Tapi bolehkah aku lelah juga, walau cuma sebentar?

Aku bukan ibu dari adik-adikku. Aku juga bukan robot yang tak boleh marah atau menangis.

Aku anak pertama, iya… Tapi aku juga anak Ibu.

Dan aku rindu dipeluk, bukan disuruh. Aku rindu ditanya, bukan hanya disuruh mengerti.

Aku rindu menjadi anak, bukan pengganti orang tua."

Tangisnya jatuh di atas kertas. Tinta pulpen meleleh, memburamkan tulisan yang baru ia torehkan.

Ia tak akan pernah mengirim surat itu. Ia tahu jawabannya hanya akan menjadi kemarahan, atau… lebih buruk: dianggap mengada-ada.

Lalu, dari bawah pintu, sebuah amplop masuk. Nayla mengambilnya pelan-pelan.

Dari sekolah. Surat pengumuman: Beasiswa ke Jepang.

Tangannya gemetar lagi.

"Apakah ini... tiketku pergi?" bisik Nayla dalam hati.

Tapi kemudian terdengar suara Ibu dari luar kamar, lantang:

"Nayla! Bantu cuci piring! Kamu nganggur aja di kamar!"

Hatinya mendidih. Tapi ia hanya menjawab pelan, "Iya, Bu..."

Ia menatap surat itu sekali lagi. Satu kalimat muncul di pikirannya:

"Mungkin kalau aku pergi... tak ada yang peduli."

Tapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu: jika ia tak pergi sekarang, ia akan selamanya tinggal sebagai bayangan. Bukan sebagai dirinya sendiri.

More Chapters