Bab 3: Teman yang Melihat Luka
Sekolah hari itu seperti biasa: ramai, berisik, penuh tekanan tak kasatmata. Tapi bagi Nayla, semua terasa seperti bayangan. Ia berjalan seperti biasa, senyum seperti biasa, dan menjawab semua "Hai Nay!" dari teman-temannya seperti biasa.
Tidak ada yang tahu bahwa malam sebelumnya, ia tak tidur. Tidak ada yang tahu, bahwa di dalam tasnya... ada dua surat: satu beasiswa, satu untuk ibunya—yang belum pernah ia beranikan untuk berikan.
Sampai kemudian, seseorang memanggilnya dari belakang.
"Nayla! Tunggu!"
Nayla menoleh. Dimas—teman sekelasnya yang jarang bicara, tapi selalu memperhatikan. Bukan dalam cara mengganggu, tapi... seperti seseorang yang benar-benar peduli.
"Kamu kelihatan capek," kata Dimas.
"Aku memang capek," jawab Nayla lirih, tanpa sengaja.
Dimas terdiam sejenak. Lalu duduk di sampingnya di taman belakang sekolah, tempat yang biasanya sepi dari keramaian.
"Boleh aku jujur?" tanya Dimas, suaranya tenang.
"Silakan."
"Aku perhatiin kamu. Kamu selalu kuat. Terlalu kuat, sampai kayak nggak ada ruang buat jatuh. Tapi... nggak ada orang kuat yang nggak pernah terluka."
Nayla menahan napas. Tak ada yang pernah mengatakan itu padanya. Tak ada yang pernah... melihatnya seperti ini.
"Aku dapat surat beasiswa," kata Nayla tiba-tiba, mengeluarkan surat dari tasnya.
"Itu kabar baik, kan?"
"Iya. Tapi... aku takut pergi. Aku takut... ninggalin semuanya. Takut dibilang egois. Takut dianggap nggak tahu balas budi."
Dimas menatapnya dalam.
"Kalau kamu nggak pergi karena rasa bersalah... kamu akan tinggal karena luka. Dan luka itu akan nambah. Lama-lama kamu bisa hilang, Nay."
"Tapi aku anak pertama, Dim."
"Dan kamu juga manusia."
Kalimat itu masuk seperti pelukan. Dan entah kenapa, air mata Nayla jatuh tanpa bisa ditahan.
"Terima kasih, Dimas..."