Bab 4: Simpati adalah Senjata Terhalus
Hari-hari berlalu. Isu tentang Vera makin liar, seperti api kecil yang disiram bensin. Tapi yang paling mencolok bukan gosipnya—melainkan sikap Alya.
Ia tidak membela. Tidak menyangkal. Tidak menuduh.Ia hanya… diam.
Dan justru itu yang membuat semua orang berpihak padanya.
Di kelas presentasi mata kuliah Etika Komunikasi, Vera datang terlambat. Wajahnya pucat, mata sembab. Saat masuk, beberapa mahasiswa mulai berbisik-bisik.
Dosen bertanya, "Vera, ada apa? Kamu kelihatan tidak siap."
Sebelum Vera menjawab, Alya berdiri dari bangkunya dan berkata,
"Maaf, Bu. Vera semalam sakit. Kalau Ibu berkenan, saya bisa bantu backup materi yang dia siapkan."
Kelas hening.Vera terdiam. Ia tahu Alya tidak bohong, tapi juga tidak sepenuhnya benar.Dan yang paling menyakitkan adalah… ia terlihat sangat peduli.
Setelah kelas, seorang teman mendekati Alya.
"Kamu luar biasa sih, Ly. Padahal banyak yang bilang Vera nyakitin kamu.""Tapi kamu tetep bela dia."
Alya hanya tersenyum lirih. Mengangkat bahu.
"Aku cuma gak pengen memperburuk keadaan. Mungkin dia punya alasan."
Kalimat itu sederhana. Tapi di telinga mereka, terdengar seperti kata-kata paling mulia.
Sementara itu, Vera makin tertekan.
Isu tentangnya sudah menyebar ke dosen pembina, bahkan panitia inti acara kampus mulai ragu menempatkannya di posisi penting.
"Mungkin lebih baik kamu ambil cuti kepanitiaan dulu, Vera…""Untuk jaga citra acara kita juga."
Malam harinya, Alya membuka pesan masuk dari akun palsu.
"Satu teman Vera baru DM kami. Katanya dia juga curiga selama ini Vera gak jujur.""Butuh konten lanjutan, kita tunggu lampu hijau."
Alya membalas:
"Tahan dulu. Biarkan Vera ambruk sendiri. Luka yang dibiarkan membusuk akan menghancurkan dirinya pelan-pelan."
"Aku hanya perlu tetap menjadi yang tampak tersakiti… tapi tak pernah menyalahkan."
Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai, Alya memandangi wajahnya sendiri di cermin.
Bukan untuk memastikan make-up-nya rapi.
Tapi untuk mengukur seberapa jauh ia sudah berubah.
"Sebenarnya, siapa yang paling melukai?""Dia yang mengkhianati? Atau aku… yang membalasnya dengan senyum?"