LightReader

Chapter 1 - 01

Draft Bab 1 – "Kabar dari Kantor"

[Scene: Kantor Aurora Living – Fashion Division]

Ruang rapat penuh dengan orang. Para karyawan duduk rapi, sementara di depan berdiri seorang direktur senior. Lampu sorot menyoroti podium.

> Direktur Senior:

"Hari ini, kita resmi menunjuk Aurora sebagai Direktur Kreatif Aurora Living. Keputusan ini bukan karena kebetulan, tapi karena kerja keras dan inovasi yang ia tunjukkan."

Tepuk tangan meriah menggema. Aurora terdiam sejenak, terharu, lalu berdiri memberi hormat.

> Aurora (lirih dalam hati):

"Ya Allah… nggak nyangka aku sampai di titik ini. Padahal aku cuma ingin kerja sebaik mungkin."

---

[Scene: Malam di Rumah Slamet]

Aurora pulang dengan wajah berseri-seri. Rani yang sudah lebih dulu di rumah langsung menyambut. Slamet? Masih selonjoran sambil main HP, pakai kaos oblong.

> Aurora:

"Aku naik jabatan, Ran! Aku resmi jadi Direktur Kreatif sekarang!"

Rani (peluk Aurora):

"Ya ampun, selamat! Aku bangga banget sama kamu. Wah, kita harus rayain nih!"

Slamet (cuma nengok sebentar, santai):

"Oalah, pantes pulangnya bawa senyum kayak abis disawer. Direkturnya sekarang bisa traktir bakso 5 mangkok dong?"

Aurora dan Rani ketawa. Mereka memutuskan makan malam di restoran sederhana langganan dekat rumah—bukan pesta mewah, hanya perayaan kecil tapi hangat.

---

[Scene: Restoran Sederhana]

Di meja bundar, ada sate, sop buntut, es teh manis. Aurora cerita panjang lebar tentang suasana kantor, tepuk tangan karyawan, sambutan direktur.

> Aurora (bersemangat):

"Kata Direktur, ini awal dari kepercayaan besar. Aku sampai gemeteran, Met. Kayak nggak percaya."

Slamet (senyum samar, sambil ngaduk es teh):

"Hmm, percaya aja. Kadang jabatan itu bukan datang tiba-tiba, tapi memang udah ada yang ngatur."

Rani (goda Slamet):

"Ngatur siapa? Kamu? Halah, kamu kan kerjaannya cuma main game sama ngopi di warung!"

Slamet (cengar-cengir, pura-pura bego):

"Ya siapa lagi kalau bukan Tuhan. Aku mah manut wae."

Aurora dan Rani tertawa. Mereka tidak pernah menyangka, bahwa suami yang tampak santai di depan mereka itu diam-diam adalah dalang di balik semua yang terjadi.

Bab 2 – "Makan Malam yang Terganggu"

[Scene: Restoran Sederhana]

Meja bundar penuh makanan. Aurora sibuk cerita tentang pengangkatannya. Rani sesekali ikut menimpali. Slamet duduk santai, kaos oblong, sandal jepit, masih nyender kayak habis tidur siang.

Di meja sebelah, ada seorang pria berdasi longgar, jas rapi, wajahnya penuh percaya diri. Ia melirik berkali-kali ke arah Aurora dan Rani, lalu akhirnya mendekat.

> Pria Asing (senyum sok keren):

"Permisi… maaf kalau saya lancang. Tapi rasanya wajah kalian nggak asing. Apalagi Mbak, kayak pernah saya lihat di majalah fashion minggu lalu, iya kan? Direktur baru Aurora Living?"

Aurora terdiam, agak kikuk. Rani refleks melirik Slamet. Tapi Slamet malah sibuk tiup es teh, nggak peduli.

> Aurora (tersenyum sopan):

"Oh… iya, betul. Saya Aurora. Tapi… maaf, saya lagi sama keluarga."

Pria Asing (lirih, sambil lirik Slamet):

"Oh… keluarga? Hmm…" (lalu tertawa kecil) "Maksud saya, saya kira ini… oh ya… bapak ini…" matanya ke Slamet "…tukang kebun restoran?"

Slamet berhenti meniup es teh. Matanya nggak marah, malah kalem. Rani langsung mendelik ke pria itu.

> Rani (tegas):

"Mas, ini suaminya Aurora. Hati-hati ngomong, jangan asal."

Pria Asing (kaget, tapi tetap nyengir):

"Suami? Oh… maaf, maaf, saya kira… yah, soalnya penampilan agak… santai sekali."

Aurora mulai risih. Tapi Slamet tetap nggak terpancing. Ia hanya mengangkat alis, senyum tipis, lalu balik fokus ke sate di piringnya.

> Slamet (datar):

"Santai itu pilihan, Mas. Yang penting perut kenyang, hati tenang. Betul nggak?"

Pria asing agak terdiam, tapi masih mencoba basa-basi.

> Pria Asing:

"Ya… ya… betul juga sih. Tapi kalau orang besar kan biasanya—"

Slamet (potong, kalem):

"Orang besar nggak butuh jas buat keliatan besar." sambil tusuk sate pelan, makan dengan lahap

Aurora dan Rani saling pandang, nyengir lega. Sementara pria asing itu terdiam, nggak bisa balas, lalu akhirnya mundur dengan wajah setengah malu.

Besok paginya, di ruang pantry kantor Lumin (perusahaan fashion tempat Aurora kerja), mulai terdengar bisik-bisik:

> "Eh, kamu tau nggak? Katanya Bu Aurora itu udah nikah sama tukang kebun…"

"Masa sih? Pantesan suaminya nggak pernah keliatan kalau ada acara kantor. Kemarin aja waktu perayaan dia pake baju sederhana banget, kayak OB yang kebetulan lewat."

"Iya, iya! Dan kabarnya, dia yang biayai suaminya itu. Jadi naik jabatannya tuh bukan karena kemampuan, tapi kasihan kali ya…."

Aurora awalnya cuek, tapi lama-lama kupingnya panas juga karena gosip makin liar. Bahkan ada karyawan junior yang nyeletuk polos:

> "Bu, kalau butuh pupuk buat tanaman di rumah, mungkin suami ibu bisa kasih diskon ya?" 🤭

Aurora shock, malu, campur kesel. Malemnya di rumah, dia cerita ke Slamet dan Rani sambil mukanya merah:

> Aurora: "Mas, di kantor aku digosipin macam-macam. Katanya aku nikah sama tukang kebun!"

Rani (sambil nahan tawa): "Hehe… ya emang tampang Mas Slamet kayak tukang kebun sih kalau pake kaos belel gitu."

Slamet (senyum kalem): "Lha wong tukang kebun juga kerja mulia, kok. Nggak usah baper. Gosip itu cuma angin, ora iso nyegah kembang mekar." 🌸

Aurora makin gemes karena Slamet santai banget. Tapi di balik itu, Slamet udah mikir dalam hati:

"Oalah, berarti Rico udah mulai main nih. Tenang, aku punya cara buat nutup mulut-mulut cerewet itu tanpa nunjukin siapa aku sebenarnya."

Pagi itu kantor Lumin agak berbeda. Dari ruang depan sampai koridor belakang, terdengar bisik-bisik kecil yang seolah mengikuti tiap langkah Aurora.

"Eh itu lho… katanya suaminya cuma tukang kebun."

"Pantes aja dia rajin kerja, biar bisa ngidupin rumah tangga."

"Ya ampun, masa iya sih bos perempuan kita jatuh ke level segitu…"

Aurora menarik napas panjang. Dalam hati, panas juga rasanya digunjing begitu. Tapi dia memilih senyum tipis, lalu melangkah ke ruang rapat.

Di dalam, semua mata menatapnya. Aurora langsung buka laptop, presentasi rancangan koleksi baru.

> Aurora: "Baik, ini konsep desain musim depan. Kita fokus ke tren sustainable fashion. Bahan ramah lingkungan, model simpel, dan tetap elegan. Saya yakin pasar kita bisa naik dua kali lipat."

Awalnya, beberapa staf masih berbisik. Tapi saat Aurora memaparkan strategi digital marketing yang detail, ruang rapat berubah hening. Semua mendengarkan. Bahkan direktur lama yang biasanya remehkan Aurora, kali ini mengangguk setuju.

Selesai rapat, bisik-bisik tadi berubah.

"Gila, idenya tajem banget."

"Bener juga ya… kalau konsep ini jalan, kita bisa nyalip kompetitor asing itu."

"Pantes dipilih naik jabatan, emang kapabel dia."

Aurora keluar ruangan dengan dada tegak. Gosip masih ada, tapi posisinya mulai berbalik: dari bahan ejekan jadi bahan kagum.

---

Sore harinya di rumah, Aurora cerita ke Slamet.

> Aurora: "Mas, kamu tahu nggak? Hari ini gosip soal aku sama kamu makin jadi-jadi. Katanya aku istri tukang kebun."

Slamet (sambil rebahan main game): "Hahaha, wong gosip yo kaya angin, Ra. Nek ora diopeni yo lewat dewe."

Aurora: "Tapi mereka meremehkan aku, Mas."

Slamet: (sambil senyum tipis) "Ya wes, tinggal buktiin wae. Wong sing bisa nutup omongan wong ya prestasi, dudu omongan balasan."

Aurora sempet manyun, tapi akhirnya diam-diam merasa dikuatkan. Biarpun suaminya absurd dan kelihatan cuek, kata-kata Slamet entah kenapa bikin semangatnya balik lagi.

---

Sementara di sudut kota, Rico—si penyebar gosip—mulai garuk kepala.

Dia pikir gosip itu bakal nurunin wibawa Aurora. Tapi faktanya, Aurora justru makin dipuji-puji.

> Rico (ngedumel): "Sial, kenapa gosipnya malah bikin dia makin bersinar? Harus ada cara lain buat ngejatuhin dia…"

More Chapters