Gedung megah di pusat kota malam itu penuh cahaya. Dari luar, kaca-kaca tinggi memantulkan kilauan lampu kota, sementara deretan mobil mewah berjejer rapi di pintu masuk.
Aurora dan Rani, mengenakan gaun elegan, masuk dengan undangan khusus. Para tamu langsung menoleh, ada yang kagum, ada juga yang iri. Mereka berbaur, menyapa direktur, investor, dan beberapa pemilik perusahaan cabang.
Di sisi lain, Slamet baru datang. Pakaian sederhananya kontras dengan jas hitam para tamu. Dia jalan santai, bahkan sempat melirik sate kambing di gerobak depan gedung.
Begitu sampai di pintu masuk, dua satpam menghadangnya.
> Satpam 1: "Maaf, undangan, Pak?"
Slamet: (ngorek-ngorek kantong, keluarin bungkus rokok kosong) "Eh, undangan apa ya? Aku nyusul istriku kok, tadi udah masuk."
Satpam 2: (melirik dari ujung sepatu sampai rambut Slamet) "Pak, ini acara terbatas. Kalau nggak ada undangan resmi, nggak bisa masuk."
Slamet cuma senyum tipis. "Lha aku suaminya Aurora, Mas. Wong aku yo diundang sekeluarga."
Satpam 1 menahan tawa.
> Satpam 1: "Suami Bu Aurora? Hehe… Bapak serius? Maaf, jangan bikin lelucon ya. Masa suami direktur besar datang kayak mau mancing."
Beberapa tamu yang baru datang sempat berhenti, ikut menatap Slamet. Ada yang bisik-bisik:
"Eh itu toh… katanya suaminya Aurora tukang kebun?"
"Walah, pantes ditolak di pintu."
Slamet berdiri tenang, seolah nggak keganggu. Tapi di dalam gedung, Aurora sudah mendengar kabar suaminya ditahan di pintu masuk.
> Aurora: (berbisik ke Rani, wajahnya tegang) "Mas Slamet nggak boleh masuk… Gimana bisa gini?"
Rani: "Tenang dulu, Ra. Kalau kita langsung ribut, malah makin jadi tontonan. Kita harus mikir langkah…"
Aurora menggenggam gaunnya erat. Hatinya berkecamuk. Antara marah, malu, sekaligus kasihan.
---
Di luar, satpam makin kaku.
> Satpam 2: "Pak, kalau bapak nggak punya kartu undangan, sebaiknya minggir. Jangan bikin ribut."
Slamet: (nyengir sambil tepuk bahu satpam) "Yo wes, Mas. Wong aku ora kepengin ribut. Wong pesta ini cuma pesta cah lampu. Aku mendingan nunggu di luar wae."
Slamet mundur pelan, lalu duduk di kursi plastik warung kopi depan gedung. Dia pesan teh panas, matanya melirik ke dalam dari kejauhan.
Tanpa disadari banyak orang, justru dari sudut itu Slamet bisa melihat lebih jelas: siapa yang mendekat ke istrinya, siapa yang tersenyum tulus, dan siapa yang diam-diam punya niat lain.