LightReader

Chapter 11 - Chapter 11

Di rumah kayu sederhana, seorang pria gempal duduk termenung di kursi reyotnya. Tatapannya kosong menembus jendela, seolah pikirannya melayang jauh.

"Ayah…" suara lembut memecah lamunannya. Putri kecilnya, berambut hitam sebahu, menatap dengan mata polos. "Kenapa akhir-akhir ini ayah sering termenung? Seperti sedang memikirkan sesuatu…"

Pedagang itu tersenyum canggung, mengusap kepala anaknya. "Ah, tidak… hanya saja aku teringat kenangan lama. Saat masih bersama Tuan Etgar."

"Etgar?" gadis kecil itu memiringkan kepalanya.

"Ya. Waktu itu… ada seorang bocah ajaib. Anak itu… mampu menjadi seorang pahlawan sejak se usia mu.." Suaranya melembut, seolah masih kagum meski tahun-tahun telah lewat.

"Hutan timur… sudah menelan banyak nyawa petualang. Tapi ketika Tuan Etgar datang bersama lima orang lain, termasuk bocah itu… keajaiban terjadi. Hutan timur itu runtuh begitu saja, seakan ajalnya sudah ditentukan."

Mata pedagang berkaca-kaca, lalu ia tersenyum samar. "Aku masih ingat percakapan hari itu. Aku memberanikan diri mendekati Tuan Etgar, tak kuasa menahan rasa penasaran. 'Apakah dia anakmu, Tuan?' tanyaku sambil menunjuk bocah itu. Etgar malah tertawa keras, menggeleng sambil menepuk dadanya. 'Tidak, tidak. Dia putra sahabatku. Anak yang sangat kusayangi. Hahaha!'

Aku makin bingung. 'Lalu… bagaimana aku harus memanggilnya?' Tuan Etgar menepuk dagunya sebentar lalu berkata, 'Kau bisa memanggilnya… G-Six, si anak pemimpin.' Saat itu seorang wanita di antara para pahlawan menegurnya cepat. 'Hei, jangan panggil dia begitu! Itu kan hanya gelar.' Tuan Etgar kemudian terkekeh, menggaruk kepalanya, lalu menatapku lagi. 'Hehe, baiklah, baiklah. Kau bisa memanggilnya Genshiki.'

Aku mengulang pelan, seolah nama itu harus kuhafal. 'Oh, Genshiki, ya…' Lalu aku mengambil sepotong roti dari gerobakku, menawarkannya pada bocah itu. 'Nak, kau mau roti ini?' Bocah itu tampak malu-malu, tapi akhirnya melangkah mendekat dan mengambilnya dengan hati-hati. Suaranya lirih, nyaris tak terdengar, tapi begitu tulus. '…Terima kasih.'

Aku langsung terkagum. 'Waah, betapa tulus ucap terima kasihmu!' Etgar tertawa lagi, keras dan hangat. 'Hahaha! Sudah, ayo Nak, kita berangkat ke timur.' Genshiki kecil hanya mengangguk, masih memeluk roti yang kuberikan erat-erat, seolah itu harta paling berharga di dunia. Bahkan ketika bayangan mereka perlahan hilang di ujung jalan, aku masih bisa melihat bocah itu menoleh sekali, menatap roti di tangannya dengan senyum kecil yang polos."

Pedagang itu berhenti bercerita sejenak, tangannya tanpa sadar menggenggam lututnya erat, seolah berusaha menahan sesuatu yang tak pernah benar-benar bisa ia lepaskan. Putrinya menatap penuh rasa ingin tahu. "Ayah… apa bocah itu benar-benar sehebat yang Ayah bilang?"

Pria itu menghela napas panjang, matanya menerawang. "Lebih hebat dari apa pun yang bisa kau bayangkan. Tapi… juga lebih misterius dari apa pun."

"Lalu, apa yang terjadi setelah itu, Yah?" tanya sang putri dengan suara bergetar kecil.

"Aku dulu hanya melihatnya sebagai anak kecil… anak kecil yang mungkin akan mengubah masa depan. Tapi semua tidak berjalan sesuai dugaanku." Pedagang itu menunduk, teringat jelas suatu hari ketika ia kembali bertemu Tuan Etgar. Biasanya beliau selalu tampak berwibawa, tegas dan tetap hangat. Namun kali itu raut wajahnya berbeda.

Aku memberanikan diri bertanya, "Tuan… di mana anak yang selalu bersamamu itu?" Etgar terdiam lama, lalu menjawab pendek. "Ah, maaf. Aku sedang sibuk sekarang." Aku pun mulai menghitung jumlah mereka. Biasanya ada lima pahlawan. Kali ini hanya tiga. Wanita yang sering didepan tuan etgar itu pun tidak ada. Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi Tuan Etgar berjalan cepat, seolah menghindar. Senyum yang biasanya mengiringi langkah mereka kini lenyap.

Keesokan harinya, kabar buruk beredar. Satu pahlawan gugur. Wanita itu. Wanita yang selalu bersama tuan etgar dan genshiki. Orang-orang ramai membicarakannya. Aku tidak tahu pasti bagaimana ia gugur, hanya mendengar ia telah dimakamkan di sebuah kota. Sejak itu, aku bertanya-tanya tentang bocah kecil itu. Banyak yang bilang ia menghilang. Pikiranku bercampur aduk—antara menuduh, curiga, atau menolak percaya.

Tak lama kemudian, kabar lain menyusul. Kedua orang tuanya juga mati dibunuh iblis.tewas dan sudah terbukti karna Ada banyak mayat iblis ditemukan, juga para pemburu iblis yang ikut tewas. Hatiku semakin bingung. Kalau begitu… bocah itu ke mana? Jika ia benar pahlawan dibalik semua itu, seharusnya ia telah menerima penghargaan. karena sudah membantai para iblis.

seharusnya sekarang ia berdiri di hadapan orang banyak, bangga. Tapi tidak ada kabar, tidak ada sosoknya. Apa mungkin… ia dicuri iblis pikirku. ?

Tapi setelah itu datang berita besar lagi dimana dugeon tempat buat para petualang tak tersisa. Dungeon-dungeon runtuh. Semua dugeon di penjuru negara hilang. Mau pun dugeon yang isinya Ratusan lantai lenyap, seolah disapu tangan dewa. para Warga bersorak gembira karena monster dan iblis tak lagi bisa keluar mengancam mereka. Nama seorang pahlawan mulai dibicarakan, dan itu adalah G-Six. Namun di balik suka cita itu, para petualang justru kehilangan pekerjaan. Banyak yang berhenti, sebab dungeon—sumber nafkah mereka—tak ada lagi.

Aku, dengan rasa penasaran yang tinggi, pergi sendiri ke salah satu dungeon di wilayah ini. Dan benar saja, dungeon itu hancur total. Tak ada satu pun monster. Tapi di sana aku melihat satu butir telur. Telur monster. Aku tidak berani menyentuhnya. Mungkin… itu sengaja dibiarkan. Mungkinkah G-Six meninggalkan satu harapan untuk para petualang di masa depan? pikirku saat itu.

Waktu berjalan. Lima tahun berlalu. Aku mendengar kabar petualang mulai bekerja lagi. Warga melaporkan kemunculan monster, dan petualang kembali menghunus senjata mereka. Saat itulah aku tersenyum lega. 'Mungkin… inilah sifatnya. Berani berbuat, dan berani bertanggung jawab. Dialah sang pahlawan… G-Six.'"

Putri kecilnya memeluk lututnya, menatap ayahnya tanpa berkedip. "Yah… kalau begitu, aku juga ingin bertemu dengannya suatu hari nanti."

Pedagang itu tertegun, lalu tersenyum hangat, meski sorot matanya menyimpan ribuan pertanyaan yang belum terjawab. "Mungkin, saja kau akan bertemu denganya nak. "

Putrinya menggenggam tangan ayahnya erat, lalu tersenyum ceria. "Kalau begitu, sekarang kita ke pasar, Yah! Aku ingin beli manisan."

Pria gempal itu terkekeh, menepuk kepala anaknya. "Dasar gadis kecil. Baiklah, ayo kita pergi."

Mereka pun keluar dari rumah kayu sederhana itu. Jalan desa masih ramai dengan aktivitas sore. Anak-anak berlarian sambil membawa layang-layang lusuh, sementara para ibu sibuk menjemur kain di halaman. Angin sore membawa aroma tanah basah dan kayu bakar.

"Ayah, lihat! Itu kucingnya , lagi tidur di atap," seru putrinya sambil menunjuk. Pedagang itu mengangguk, tersenyum kecil. "Kucing itu selalu malas, mirip seseorang yang kukenal." Ia sengaja melirik anaknya, membuat gadis kecil itu cemberut. "Hmph! Aku tidak malas!"

Mereka tiba di pasar desa, yang sudah dipenuhi orang. Lapak-lapak berjejer rapat, para pedagang berteriak menawarkan dagangan. Ada yang menjual kain warna-warni, ada pula yang memamerkan perhiasan tembaga murah. Aroma daging panggang bercampur dengan wangi rempah membuat perut sang pedagang berderak pelan.

"Yah, lihat! Manisan gula merah!" Putrinya menunjuk pedagang kecil dengan mata berbinar. Pedagang itu menawar sebentar, lalu membeli beberapa potong. "Satu saja untukmu sekarang, sisanya nanti di rumah," katanya sambil menyerahkan. Si kecil langsung menggigit setengahnya dengan ekspresi puas. "Hmm~ enak sekali!"

Di lapak sebelah, sang pedagang membeli sayur-sayuran segar dan sedikit beras. "Ayah, kenapa kita beli banyak? Bukannya masih ada di rumah?" tanyanya polos. "Kalau dagangan laku, kita bisa makan lebih enak. Kalau tidak… setidaknya kita punya cadangan," jawab pria itu, suaranya tenang tapi sedikit berat.

Saat berjalan kembali, beberapa tetangga menyapa. "Oh , lama tidak ke pasar!" seru seorang kakek tua. Pedagang itu hanya tertawa kecil. "Ah, kebetulan anak saya ingin manisan." Si kecil melambaikan tangan dengan senyum malu-malu.

Senja perlahan turun. Langit dipenuhi cahaya oranye keemasan, membuat bayangan mereka berdua memanjang di tanah. Sang putri berjalan sambil menggoyang-goyangkan manisan di tangannya, sementara ayahnya memikul keranjang belanjaan.

"Yah…" suara lembut itu kembali terdengar. "Kalau suatu hari aku bertemu dengan Genshiki… aku ingin memberikan manisan ini padanya. Biar dia juga tersenyum seperti Ayah."

Pria itu terdiam, menoleh menatap wajah anaknya yang polos. Hatinya bergetar, tapi ia hanya tersenyum. "Itu ide bagus, Nak. Siapa tahu suatu hari, dia benar-benar datang."

Mereka pun melangkah pulang melewati jalan desa yang mulai sepi. Di kejauhan, suara lonceng kuil berdentang, seakan menutup hari itu dengan doa yang samar.

More Chapters