LightReader

Chapter 12 - chapter12

Markas petualang pagi itu penuh dengan bisik-bisik aneh. Para petualang yang biasanya ribut karena taruhan atau sup panas, kini punya topik baru: benda merah misterius yang semalam dibawa Genshiki.

"Eh, katanya itu batu sihir kelas atas?" bisik seorang petualang.

"Bukan, aku dengar itu inti naga!" sahut yang lain.

"Apa jangan-jangan… bom?"

Bisik-bisik itu berubah jadi gosip heboh.

Di pojokan, Soiya dan Lydia sedang berdebat sambil melirik ke arah meja panjang di mana Genshiki duduk, tenang seperti biasa.

"Aku bilang ini pasti sihir terkutuk," ujar soiya dengan wajah serius.

Lydia mengibaskan tangan. "Ah, mana ada sihir terkutuk. Menurutku ini cuma batu merah biasa. Paling-paling kalau direbus jadi sup, rasanya pedas!"

"Dasar! Kau pikir ini cabai?!" Soiya hampir melempar sendok ke wajah Lydia.

Di sisi lain, ketua asosiasi masuk dengan langkah tenang. Pipa kayunya tergantung di mulut, asap tipis mengepul. Ia membawa inti merah itu , lalu berjalan menuju Genshiki.

"Jadi… ada apa ini? Masih ribut soal batu merah yang sedang ku bawa ini? " tanyanya dengan nada datar, dan mulai meletakan batu merah itu di meja dan semua orang di ruangan itu otomatis diam.

Genshiki, dengan wajah cuek dan nada dingin, menjawab singkat:

"…Tidak, yang aku tahu cuma Fisika"

Suasana hening seketika.

Lydia mengangkat alis. "Fisi… apa? Fisikaan? Itu semacam sihir barbel ya? Latihan otot?"

Soiya mengernyit. "Tidak, tidak. Aku pernah dengar kata itu. Tapi… di buku mana ya? Ahh, pusing!"

Ketua asosiasi hanya menyipitkan mata, menunggu Genshiki melanjutkan.

Genshiki menaruh jarinya di atas inti merah itu, lalu berkata perlahan, seolah menjelaskan sesuatu yang sepele:

"Kalau aku lepaskan energi potensial yang terkompresi di dalamnya… markas ini akan hancur"

Seketika wajah semua petualang tercengang. Gelas jatuh, koin berhenti bergulir. Lydia menutup mulut dengan tangan, Soiya langsung berdiri kaku, dan ketua asosiasi untuk pertama kalinya tampak kehilangan senyum tipisnya.

Soiya menelan ludah, lalu memberanikan diri bertanya, "Tu-tunggu dulu… fisika itu… ilmu sihir kuno, ya?"

"Bukan sihir," jawab Genshiki datar. "Fisika adalah… hukum dunia. Semua yang bergerak, semua yang hancur, semua yang ada… tunduk padanya."

Sontak Para petualang saling pandang. Beberapa mengangguk pura-pura paham, padahal wajahnya jelas-jelas kosong.

Lydia, yang dari tadi menggaruk kepala, akhirnya bersuara. "Kalau begitu… maksudmu ini semacam… aturan minum bir? Kayak kalau minum kebanyakan, pasti jatuh?"

"Idi—!!!" Soiya langsung menyikut perut Soiya. "Itu mabuk, dasar kamu! Mana ada hubungannya dengan batu merah ini!"

Ketua asosiasi menghela napas tipis sambil memandangi Genshiki. "Hukum dunia, katamu? Jelaskan lebih rinci. Aku ingin tahu apa maksudmu."

Genshiki menatap inti merah itu. Jemarinya menyentuh permukaannya pelan, lalu ia bicara seperti guru yang malas.

"Energi… adalah kemampuan untuk melakukan kerja. Benda ini—" ia menunjuk inti merah, "—menyimpan energi dalam jumlah besar. Kalau energi dilepaskan dengan tiba-tiba, hasilnya… kehancuran."

"Energi… kerja?" salah satu petualang di belakang mengangkat tangan ragu. "Maksudmu… kalau aku kerja angkat karung gandum, itu energi juga?"

Genshiki menoleh sejenak, menatapnya dingin. "…Ya. Tapi ototmu lemah."

Suasana seketika pecah oleh tawa para petualang, bahkan ketua asosiasi tersenyum tipis menahan diri.

Soiya menutup wajah dengan tangan. "Kenapa penjelasan serius jadi bahan ejekan sih…"

Lydia, masih bingung, menunjuk inti merah itu. "Kalau itu dilepas, kau bilang markas ini bisa hancur? Jadi… sama kayak kalau aku melempar kan minyak ke api? "

"…"

Semua orang menoleh menatapnya, binggung sekaligus heran, tentang pertanyaan lydia.

"…Kurang lebih," jawab Genshiki santai.

Ketua asosiasi, di tengah hiruk-pikuk itu, justru makin dalam memperhatikan Genshiki. Di dalam matanya ada sinar tajam—antara kagum dan khawatir.

Suasana markas yang tadi heboh dengan bisikan akhirnya mereda perlahan. Beberapa petualang masih bingung sambil menatap inti merah di meja, seolah benda itu bisa meledak kapan saja.

Namun Genshiki tidak peduli. ia mulai menggeser kan kursi dan berdiri, meraih jubahnya yang dikaitkan di kursi, lalu melangkah menuju papan misi. Suara sepatunya menjejak lantai kayu, membuat keributan kecil tadi ikut teredam.

"Eh? Kak… mau pergi lagi?" Lydia spontan bersuara, matanya membesar.

"Belum juga lewat tengah hari," tambah Soiya, separuh kagum, separuh khawatir.

Genshiki tidak menjawab. Matanya menyapu deretan kertas misi yang tertempel. Jemarinya berhenti pada sebuah kertas lusuh bertanda tinta merah—peringatan tingkat bahaya menengah. Ia mencabutnya begitu saja.

"kak!! jangan asal comot!" Lydia melompat maju, mencoba melihat. "Ini misi… ke hutan barat? Untuk mebasmi Thryn...,Thrynn itu Manusia dengan lengan ganda (empat tangan), dan semua jari-jarinya panjang seperti pisau tulang !"

"Eh, apa dia ingin mengambil misi itu? "Soiya menambahkan dengan wajah cemas.

Soiya spontan maju setengah langkah, hendak menahan, tapi saat itu juga langkahnya terhenti—

"Bukankah kemarin kau baru menyelesaikan misi?.....Kenapa tidak beristirahat dulu?" suara Ketua Asosiasi terdengar dalam dan tenang.

Genshiki menoleh sekilas, tatapannya dingin. Ia tidak menjawab, hanya menggenggam kertas misi itu lebih erat.

Ketua Asosiasi menghela napas. "…Kau tetap keras kepala rupanya." Bibirnya melengkung samar, entah kecewa atau kagum. "Nak, ikut aku sebentar."

Tanpa menolak, Genshiki mengikuti pria tua itu menaiki tangga menuju lantai atas. Mereka masuk ke ruang kerja Ketua Asosiasi—sunyi, dipenuhi lembar-lembar catatan dan lemari lemari buku tua.

Pria itu berjalan ke rak, menarik sebuah buku tebal yang lusuh. "Nak, lihat ini. Buku catatan para petualang yang sudah gugur. Tanggung jawabku ada di dalam setiap halaman."

Ia membuka halaman pertama. Nama besar tertera jelas di sana: G-Six.

Mata Genshiki sedikit melebar. Sekejap itu saja, namun cukup ditangkap oleh pria tua yang berpengalaman.

"Apa kau tertarik dengan ini nak?" tanya Ketua Asosiasi, suaranya pelan. Ia mengusap halaman itu dengan jemari kasar. "Itu… adalah nama yang ditulis pamanku. orang pertama yang menjaga markas ini. Pamanku. Dulu ia Sangat membenci pahlawan G-Six. Baginya, pahlawan itu telah menghancurkan dunia para petualang. Semua dungeon lenyap, markas tidak tau harus apa, banyak yang kehilangan arah."

Ketua asoasi menutup mata sebentar, lalu tersenyum tipis. "Tapi kemudian… ketika ia tahu monster mulai kembali, ia sadar. G-Six tidak hanya menghancurkan, tapi juga memperbaiki. Yang musnah hanyalah raja-raja kegelapan. Yang tersisa hanyalah pecahan-pecahan kecil dan Dunia menjadi lebih terkendali."

Pria tua itu menepuk sampul buku. "Sejak saat itu, ia menulis setiap nama yang gugur… dan aku melanjutkan tugasnya sampai sekarang. Nama itu—G-Six—menjadi awal dari segalanya."

Genshiki menatap buku itu lama. "…Begitukah. Baik."

Ketua Asosiasi menatapnya lekat, lalu melangkah maju perlahan. "Nak… kau tahu, bahkan baja paling kuat pun akan retak jika terus ditempa tanpa henti. Istirahat bukanlah kelemahan."

Hanya Diam. Tatapan Genshiki tetap dingin, seperti dinding es.

Pria tua itu tersenyum samar. "Atau jangan-jangan… kau sebenarnya sedang lari dari sesuatu? Banyak yang mengira terus melangkah berarti kuat. Padahal sering kali, itu hanya cara untuk menutup telinga dari suara hati sendiri."

Genshiki mulai mengalihkan pandangan sejenak, tapi tetap bungkam.

"Setiap misi bukan hanya soal upah, nak," lanjut Ketua Asosiasi. "Kau harus bertanya pada dirimu: untuk apa aku mengangkat pedang ini? Untuk siapa kakiku melangkah sejauh ini?"

Seketika ruangan itu sunyi. Hanya detak jam di sudut dinding yang terdengar.

Lalu Genshiki menatap lurus. Suaranya rendah, datar, nyaris seperti bisikan.

"Tujuan hanya milik orang yang masih punya tempat untuk pulang. Aku tidak."

Ketua Asosiasi terdiam.

Tanpa banyak bicara lagi, Genshiki menunduk sebentar, lalu melangkah keluar.

Tak lama kemudian, langkah kakinya terdengar menuruni tangga. Begitu ia muncul di lantai bawah, keramaian markas kembali bergetar.

"Dia keluar lagi…" bisik seorang petualang muda.

"Apa yang dibicarakan dengan Ketua?" sahut yang lain, wajahnya penuh rasa ingin tahu.

"Tapi lihat, bahkan Ketua tidak bisa menahannya…" suara seorang veteran lirih, seakan heran sekaligus takut.

"Orang itu… benar-benar bukan manusia biasa," desis yang lain lagi.

Di tengah bisik-bisik itu, suara parau yang tenang terdengar.

"Kalau kalian hanya berani berbisik di belakang, itu artinya kalian belum siap jadi petualang sejati."

Semua menoleh. Di sudut meja, Liduard duduk dengan tangan terlipat di dada, tatapannya penuh rasa paling hebat. Rambutnya yang setengah memutih jatuh berantakan, bekas luka di pipi membuatnya terlihat garang.

"Baru lihat bocah aneh dikit saja kalian sudah gemetar. Kalau begini, jangan ngaku petualang!" Ia menyeringai sinis, menghantam meja dengan kepalan tangannya. "Aku sudah menghadapi naga, berkelahi dengan raksasa di tepi jurang, dan kalian bilang anak itu lebih menakutkan? Hah, dasar pengecut."

Beberapa petualang saling pandang, ada yang tersinggung, ada yang hanya terdiam.

Liduard meneguk minumannya, lalu mendengus.

"Percaya lah, bocah itu gak akan bertahan lama di dunia luar. Orang macam dia… cepat atau lambat dia akan menyerah pada kenyataan"

Para petualang terdiam, bisik-bisik langsung mereda. Namun tatapan mereka pada Genshiki justru makin dalam—antara kagum, takut, dan penasaran.

Namun Genshiki tetap melangkah lurus, seakan tak mendengar satu pun dari semua itu.

Setelah Ketua Asosiasi turun dari atas, matanya langsung menangkap wajah putri pertamanya yang terlihat khawatir.

Kemudian Ia menarik napas panjang.

"Huhhh… sudah kuduga ini akan terjadi."

Ia lalu duduk di kursi panjang, bersandar dengan lelah.

"Soiya, bisa kau ambilkan minuman untukku?"

Wajah Soiya yang semula muram langsung berubah panik.

"E-ehh, tentu saja, Ayah! Aku akan ambilkan!"

Ia bergegas ke dapur, meninggalkan ayahnya.

Begitu Soiya menghilang, Ketua Asosiasi melirik putri keduanya yang masih duduk santai sambil memainkan rambutnya.

"Lydiaaa, sini sebentar."

"Hm? Untuk apa, Ayah? Apa Ayah tiba-tiba rindu pada putri termanis dan tercantikmu ini?" jawab Lydia dengan nada mengejek.

"Sudah ke sini! Jangan banyak bicara, putriku yang bodoh." Ketua Asosiasi menekan pelipisnya, kesal.

"Iyaa, iyaaa…" Lydia mendekat dengan wajah malas. "Ada apa sih ayah?"

"Kau lihat kakakmu tadi?"

"Kan tadi Ayah suruh dia ambil minum…"

"Bukan itu!" suara Ketua Asosiasi meninggi. "Maksudku, kau lihat wajahnya? Seperti orang yang sedang khawatir."

Lydia menatap kosong, lalu mengedikkan bahu.

"Emm… ya sedikit. Paling juga dia khawatir Kak Gensh nggak bisa bertarung."

"Huhhh… bukan masalah itu." Ketua Asosiasi menghela napas dalam. "Dia khawatir karena Genshiki sendirian. Dari semua petualang di sini, hanya dia yang tidak punya tim."

Lydia bengong sejenak, seolah ucapan ayahnya terlalu berat untuk dipikirkan.

"Jadi… kau harus menghiburnya. Selama Genshiki belum pulang, temani kakakmu."

"Hmmm…" Lydia menggaruk kepala, bingung.

Tak lama kemudian Soiya kembali sambil membawa nampan.

"Ayah, ini minumannya."

"Ohh, terima kasih." Ketua Asosiasi langsung meneguk habis isinya, lalu meletakkan gelas di meja dengan bunyi tak. Ia berdiri, menatap ke arah pintu.

"Lydia, kau mengerti kan?"

Lydia sontak mengangguk dengan ekspresi serius, "Iya, baiklah."

Soiya menoleh, bingung.

"Eh? Apa yang kalian bicarakan?"

"Tidak ada, tidak ada." Ketua Asosiasi tersenyum lebar, menepuk pundaknya. "Ayah hanya mau keluar sebentar mencari udara segar. Jadi markas ini kuserahkan kepada kalian berdua, oke?"

Lydia mengangkat alis. "Ayah… jangan sok manis gitu, jijik."

"Hahaha, ya yaaa, sudah. Jaga markas baik-baik." Ketua Asosiasi melambaikan tangan dan keluar dari pintu.

Tinggallah dua bersaudara itu.

Soiya menatap adiknya penuh curiga.

"Lydia, barusan kalian bicara apa?"

Lydia mengibaskan tangan santai.

"Ah, nggak ada kok. Cuma… gimana caranya bikin Kakak sama Kak Genshi jadi pacaran."

Wajah Soiya langsung memerah seketika.

"Ehhhhh!? Apa-apaan kamu … jangan bicara aneh-aneh!"

"Gak,gakk deh." Lydia menyengir. "Oh iya, Kak, ajarin aku bikin sup terenak kayak buatanmu itu."

Soiya mendesah panjang, masih bingung sekaligus kesal.

"Lydia…"

"Ayoookk Kakkk!" Lydia menepuk tangannya semangat.

"I-iya… baiklah," jawab Soiya akhirnya, pasrah.

Begitu langkah Ketua Asosiasi melewati pintu besar markas, udara luar langsung menyambutnya. Angin pagi masih sejuk, namun di dadanya tetap terasa berat. Ia berjalan perlahan menyusuri jalan batu, sorot matanya menatap jauh, seolah mencari jawaban yang tak pernah dituliskan di buku para petualang.

Beberapa orang di jalan mengenali sosoknya—pria tua dengan pipa kayu kosong di genggaman, wajah berwibawa, rambut putih di pelipis—dan memberi salam hormat. Ia hanya membalas dengan anggukan kecil, tanpa benar-benar berhenti.

Ia menghela napas panjang, seakan ingin meluruhkan kegelisahan yang menekan dada.

Anak itu… kenapa sulit sekali disentuh hatinya.

Langkahnya terhenti di sebuah persimpangan kota. Di sana, berdiri seorang pria dengan jubah lusuh tapi auranya gagah, tubuh tegap dengan senyum lebar yang khas.

"Hahaha! Wajahmu kenapa suram begitu? Kau tampak seperti orang tua yang ditinggal anaknya merantau," sindir pria itu.

Ketua Asosiasi mengangkat alis, lalu tersenyum tipis.

"Losius…"

Pria itu tertawa kecil, menepuk bahu sahabat lamanya.

"Jadi, apa yang bisa membuatmu keluar dari markas seawal ini? Jangan bilang kau sudah bosan dengan para petualangmu."

Ketua Asosiasi kembali menghela napas, kali ini lebih berat.

"Bukan, Losius. Aku… hanya ingin tahu. Bagaimana caranya… berurusan dengan seorang anak laki-laki yang bahkan sulit di mengerti"

Losius langsung tertawa lepas.

"Hahaha! Sejak kapan kau punya anak laki-laki? Setahuku, kau cuma punya dua gadis yang selalu bikin kepalamu pening."

Ketua Asosiasi melirik sekilas, nadanya datar.

"Mulutmu masih sama tajamnya. Aku hanya… bingung menghadapi anak itu." Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan nada rendah. "Dia bukan darah dagingku. Tapi… dia tinggal di markasku. Keras kepala, dingin, dan tidak pernah menunduk meski aku yang bicara."

Senyum Losius melebar, matanya menyipit nakal. Sambil mengelus janggutnya, ia pura-pura tampak bijak.

"Hmmm… kau ingin dia nurut padamu ya? Gampang."

Ketua Asosiasi menyipitkan mata.

"Gampang, katamu? Kau bahkan belum tahu siapa dia."

Losius menepuk bahunya.

"Anak laki-laki di usia itu sama saja! Mereka cuma butuh satu hal… perempuan."

Ketua Asosiasi hampir terbatuk, pipanya nyaris terlepas dari genggaman.

"…Apa?"

"Hahahaha!" Losius terkekeh puas. "Percaya padaku. Kau kasih dia perempuan yang selalu ada di sisinya, cepat atau lambat hatinya bakal luluh. Anak laki-laki itu… sebenarnya kesepian. Mereka cuma butuh pendamping."

Ketua Asosiasi terdiam lama, menatap langit yang cerah seolah mencari jawaban.

"Kesepian, huh… Jadi maksudmu…"

Losius mengangkat alis, senyum nakal tak hilang dari wajahnya.

"Ya. Biar salah satu gadismu menemaninya. Kalau kau pilih dengan tepat… anak itu takkan lagi melawanmu."

Ketua Asosiasi terdiam lama, menimbang kata-kata sahabatnya itu. Pipanya ia genggam lebih erat, seolah hendak menahan sesuatu yang tak terucap.

Losius yang melihat itu, hanya terkekeh kecil.

"Hahaha, sudahlah! Kau ini serius terus. Nanti makin cepat tua, kerutanmu tambah banyak."

Ketua Asosiasi hanya melirik sekilas, tapi tidak menjawab.

Ia menepuk bahu ketua Asosiasi sekali lagi, lalu menegakkan tubuhnya.

"Aku pamit dulu. Masih ada urusan lain yang menungguku."

Sebelum berbalik, Losius menambahkan dengan nada ringan tapi penuh arti:

"Jangan lupa, Roderich… kesepian itu lebih berbahaya daripada pedang mana pun."

Dengan tawa lepas, ia pun melangkah santai meninggalkan persimpangan, jubah lusuhnya bergoyang ditiup angin.

Ketua Asosiasi menghela napas berat, matanya kembali menatap langit. Dalam hati, ia hanya bergumam pelan:

Kesepian, ya…

More Chapters