"Aku hanya ingin bahagia... hanya itu.....
Apakah terlalu berlebihan untuk seorang sepertiku? ...Aku masih ingat hangatnya tangan itu... suara yang memanggilku pulang.
Tapi semua hilang—tertelan api, darah, dan kehampaan. Jika dunia ini benar, mengapa kebahagiaan selalu menjauh dariku...."
Dengan rambut panjang yang berantakan, baju kusut, dan jubah penuh sobekan di belakang, Genshiki melangkah keluar dari hutan. Tanah di sekitarnya seketika mengering, rumput layu bagai tersapu musim kemarau.
Ia menahan kekuatan itu, menyimpannya rapat-rapat—karena ada hal yang jauh lebih besar sedang menunggu.
Di langit, sebuah meteor...sebesar sepuluh lapangan sepak bola meluncur, siap menghantam kota. Orang-orang berlarian panik meninggalkan rumah, namun Genshiki berjalan ke arah sebaliknya. Tujuannya: menara jam tinggi yang menjulang di tengah kota.
"Lucu juga… kenapa orang-orang bisa tahu sesuatu yang besar akan jatuh ke disini…" gumamnya sambil menatap orang-orang yang berlari.
Setelah Menaiki menara anak tangga, tatapan nya kosong, bibirnya sedikit mengurucut seolah seperti ada ingatan yang hendak menerobos masuk. . "Ah, iya. Di sini ada para penyihir yang bisa meramal. Sama saja seperti di Bumi—bedanya di sana ada NASA, di sini ada penyihir."
sambil memainkan kerikil kecil melemparkannya pelan ke udara dan menangkapnya kembali seolah tak peduli pada kehancuran yang kian mendekat.
dan itu. Satu kaki disilangkan,
Setibanya Di puncak menara, Jam raksasa berdetak berat di belakangnya, Genshiki memilih berbaring di depan mesin waktu itu, Ia meluruskan tubuh, lalu berbaring santai, satu kaki disilangkan, dan menatap langit.
"Masih lama ya… ahhh," ia mendesah panjang.
Selang beberapa menit.
Titik hitam muncul di angkasa. Makin lama makin besar, hingga jelaslah wujud meteor yang hendak meluluhlantakkan kota. Genshiki mengangkat lengan kananya ke atas. Sebuah kerikil berada di ujung jarinya, siap dijentikkan.
"Oh, lumayan besar ya. Hmm… apakah ini cukup?" gumamnya pelan. Genshiki mengangkat tangan kanan, kerikil mungil berada di ujung jarinya. Dengan gerakan sepele, ia menjentikkan kerikil itu ke arah meteor.
Kerikil itu melesat… pelan. Begitu pelan,
di sisi lain, Terompet peringatan meraung dari setiap sudut jalan, memanggil semua warga untuk mengungsi.
para penyihir dan prajurit sibuk mempersiapkan pertahanan. Mereka berusaha mengevakuasi warga, tapi ada satu keluarga yang menolak pergi. Sang kepala keluarga—pemilik markas petualang—berdiri di teras rumahnya dengan tatapan tegas dan penuh wibawa.
"Cepatlah, Tuan! Meteor itu bisa menghantam kapan saja!" desak salah seorang prajurit.
Namun sang pemilik rumah—seorang pria gagah dengan rambut perak di pelipis, berdiri tegap di teras—justru tersenyum tipis.
Mata tajamnya menatap langit "Apa kalian pikir aku akan mati semudah itu?"
"Tuan, kami serius! Anda harus segera mengungsi!"
Tapi lelaki itu menggeleng. "Aku tidak akan pergi… sebelum kalian menemukan anak muda yang menuju ke tengah kota. Apa kalian melihatnya?"
"Anak muda?.....Tidak… kami tidak melihat anak muda yang Tuan maksud," jawab salah satu prajurit kebingungan. Mereka saling pandang,
"Cari dia." Suara sang pemilik markas berat dan tegas. "Jika ia sudah berada di jantung kota… maka kota ini belum tentu binasa."
Beberapa prajurit yang berada disana Kebingungan, tapi akhirnya mereka mengangguk. Tanpa berani membantah, mereka buru-buru berlari, menyisir kerumunan warga yang berhamburan. Namun tak seorang pun berhasil menemukan sosok yang dimaksud.
Sementara itu, di lapangan kota, para penyihir agung sudah berkumpul. Lingkaran sihir raksasa bercahaya biru membentang di tanah, mulai memancarkan cahaya yang menggetarkan udara di sekitarnya. Ratusan mantra dikumandangkan serentak, namun wajah mereka terlihat sedikit berbeda, keringat mulai bercucuran.
Seorang penyihir tua jatuh berlutut, napasnya tersengal. "Tidak… ini mustahil…"
"Besarnya… terlalu gila! Mantra penghancur tingkat tertinggi pun… tidak akan cukup!"
Penyihir di sampingnya berusaha tegak menatap ke atas, suaranya bergetar.
"Tidak, Pak Tua… kita pasti bisa. Kita gunakan sihir gabungan!"
Penyihir tua itu menggeleng lemah, tatapannya redup seolah api terakhir dalam dirinya padam. "Bahkan dengan sihir gabungan sekalipun… kita tidak akan sanggup menghancurkan benda sebesar itu."
Penyihir muda yang mendengarkan obrolan mereka mendongak ke langit. "apakah...kita akan berakhir di sini...."
Tak lama Seorang komandan tentara sihir mengepalkan tangan. "Kalau begitu… kita akan hidup sebagai pahlawan." ucapnya sambil tersenyum dan melihat yang lainya.
Prajurit-prajurit di sekitar terdiam sejenak, lalu satu per satu mengangguk. Ada yang menahan air mata, ada yang memaksakan senyum. Mereka tahu, jika ini akhir, maka mereka akan mati dengan kehormatan.
Kota yang tadinya riuh oleh teriakan orang melarikan diri, kini dipenuhi aura keputusasaan. Bahkan para prajurit yang gagah berani mulai goyah.
Dan pada detik itu, langit mendadak bergetar—
Kerikil itu melesat pelan, seakan tak punya daya—
Seluruh dunia seolah terdiam, Bahkan detak jam raksasa di belakang Genshiki seperti berhenti sejenak. menunggu apa yang akan terjadi dan...
BOOM!
Langit berguncang dashyat. Meteor raksasa yang hendak menghancurkan kota retak dari dalam, lalu meledak menjadi ribuan pecahan cahaya. Kilatan putih menyelimuti langit, seakan bintang-bintang jatuh sekaligus.
Kota bergetar, jendela-jendela pecah, menara-menara hampir roboh. Namun kehancuran itu tidak pernah sampai menyentuh tanah.
Orang-orang yang semula lari panik berhenti.
Napas mereka terengah, seakan baru sadar dunia masih ada. Ada yang terjatuh terduduk, Ada pula yang menengadah dengan air mata bercucuran, mulutnya bergetar seolah ingin berdoa tapi kata-kata tak sanggup terucap.
Penyihir dan prajurit yang sudah putus asa hanya bisa terpaku, tangan yang tadi menggenggam kini terkulai lemas. Di mata mereka, yang tadi hanya dihuni ketakutan dan bayang-bayang kematian, kini perlahan muncul harapan. Mereka tak percaya dengan apa yang baru saja mereka saksikan. (Sesuatu yang mustahil)
Di luar kota, para warga dan anak- anak yang sudah berlarian menyelamatkan diri pun berhenti. Dentuman itu terdengar jelas, dan kini yang terlihat hanyalah langit yang penuh dengan cahaya indah, seakan dipenuhi bintang jatuh.
Sorak-sorai pecah di jalan-jalan.
"Apakah ini… mimpi?" bisik seseorang dengan mata berkaca-kaca.
"Kita… selamat.....!!"
"Ini pasti berkat kerja keras para penyihir!" seru yang lain dengan suara penuh haru.
"Ya… kita harus bangga pada mereka."
Tepat di dalam kota di suatu teras rumah, pemilik markas petualang tersenyum tipis.
Ia menyalakan pipa kayu yang bahkan tak berisi apa-apa, hanya kebiasaan lama.
"… Anak muda itu. Jadi benar dugaanku."
Beralih keatas puncak menara jam, Genshiki masih berbaring santai, lengan kirinya terlipat di bawah kepala. Ia mendengus kecil.
"huh… terlalu mudah.. kupikir bakal bikin sedikit berkeringat."
Pecahan meteor yang masih tersisa jatuh seperti hujan bintang, tapi tak ada satupun yang mencapai tanah. Semuanya terbakar habis sebelum menimbulkan bahaya.
Dia mulai berdiri menatap kota dari atas, Angin mulai berhembus membuat jubah sobeknya berkibar pelan. Dengan tatapan kosong, yang kembali tenang, bibirnya bergerak irih: Beginikah rasanya… punya kekuatan yang bisa menghancurkan dunia?"
Nada suaranya seperti sebuah ejekan dan senyum tipis muncul—dingin, tanpa belas kasih.
Namun di sisi lain, di barisan penyihir.
wajah-wajah pucat dan penuh kebingungan saling berpandangan.
"Apa kalian… mengeluarkan sihir itu?" tanya salah seorang dengan suara bergetar.
"Tidak, aku bahkan belum sempat membaca mantra lengkapnya," jawab yang lain panik.
"Aku juga tidak… mana mungkin kita bisa menghancurkan meteor sebesar itu…"
"Kalau begitu… siapa… siapa yang melakukannya?"
Hening. Tidak ada jawaban. Hanya tatapan bingung yang sama-sama mengarah ke langit.
Namun salah satu penyihir muda menatap menara jam dari kejauhan. Matanya menyipit, ragu dengan apa yang baru saja dilihat.
"Tadi… aku seperti melihat siluet seseorang di puncak menara," gumamnya pelan.
"Jangan mengada-ada. Mustahil ada orang di sana, apalagi dengan meteor sebesar itu," sahut rekannya, berusaha menepis rasa curiga.
Meski begitu, bayangan sosok berjubah yang sempat terlihat di atas menara oleh pemuda itu terus mengganggu pikirannya.
Pada saat yang sama.....Genshiki terpaku tiba-tiba, kenangan tentang kedua orang tuanya muncul di benaknya. Suaranya bergetar, hampir tersedak oleh kepedihan:
"Cih… apanya yang harus kulindungi setelah ini..."
hari mulai petang genshiki turun dari menara jam. berjalan dengan terhuyung Langkahnya berat, wajahnya pucat. tujuanya adalah ketempat peninggalan rumah kedua orangtuanya dulu.
"Sudah… berapa lama aku tidak kesana…" gumamnya lemah, perutnya berbunyi lirih.
Ia melewati jalan yang sama, menembus kerumunan warga yang kini kembali masuk kota.setelah yakin bahaya sudah lewat. Mereka sibuk membawa barang-barang, bersorak bahagia karena selamat. Mereka memeluk keluarga, menyalakan obor, bahkan ada yang sudah bernyanyi. Namun, tak seorang pun menoleh padanya. Seakan keberadaannya tak dilihat siapa pun.
Di tengah keramaian itu, tubuh Genshiki akhirnya tak sanggup lagi. Ia tersungkur, jatuh berlutut lalu ambruk di tanah yang berdebu. Pandangannya kabur. Samar-samar, ia melihat sosok seorang wanita berlari menghampiri.
"Eh? Kau… kau baik-baik saja!?" suara wanita itu terdengar cemas.
Dalam pandangannya yang berkunang, wajah wanita itu seolah berganti—bayangan ibunya muncul sekilas, membuat hatinya bergetar. Namun kemudian semuanya kembali kabur.
Wanita itu berjongkok, panik. "Ayah! Ayah, cepat! Ada seorang pemuda yang pingsan di sini!"
Tak lama, seorang pria paruh baya keluar dari sebuah bangunan besar di sisi jalan. Rambutnya sudah memutih sebagian, jubahnya tampak tua dengan tambalan di sana-sini, tapi sorot matanya tajam penuh wibawa. Di tangannya menggantung sebuah pipa kayu yang tak pernah benar-benar dinyalakan.
Dialah pemilik Markas Petualang.
Orang yang disegani semua prajurit, bahkan para penyihir menghormatinya.
"Hm?" Ia menatap Genshiki sebentar, lalu terkekeh tipis. "Pemuda ini… wajahnya pucat sekali. Sepertinya lebih lapar daripada terluka."
"Ayah, jangan bercanda!" protes wanita itu. "Dia bisa mati kalau kita biarkan di sini!"
Sang pria mengangguk pelan, nada suaranya tetap santai. "Baik, baik. Bawa dia ke ketempat kita. Markas peteluang tidak hanya melatih para petarung, tapi juga orang yang tergeletak di jalan, bukan?"
Wanita itu mendengus kesal, tapi segera memapah tubuh Genshiki dengan hati-hati. Pria tua itu berjalan di depan, pipa kayu masih tergantung di tangannya, wajahnya datar namun mata tajamnya tak pernah lepas dari pemuda asing itu.
Begitulah, Genshiki akhirnya dibawa masuk ke markas pahlawan—tanpa tahu bahwa langkah kecil ini akan membuka awal dari pertemuan penting yang bisa mengubah hidupnya.