LightReader

Chapter 8 - Chapter 8

Genshiki turun perlahan dari tangga, rambut barunya yang pendek masih membuat beberapa orang melirik sekilas. Namun kali ini, dia tidak peduli. Pandangannya lurus—ke arah papan misi yang berdiri kokoh di sisi ruangan.

Beberapa petualang lain sudah berkumpul di dekat papan, saling rebut misi ringan. "Hei, aku duluan!" teriak seorang pria berotot.

"Hah, kau tiba tiba datang dan langsung ngaku" balas yang lain.

"Emangnya kenapa?! Ngajak adu lagi" Sambung pria berotot.

"Berisiiikkkkk, kalian! Ini bukan arena tinju! " Ucap ketua asosiasi sambil menenangkan mereka.

Begitu langkah Genshiki mendekat, riuh itu perlahan mereda. Aura dinginnya membuat mereka mundur setengah langkah tanpa sadar.

Ia berdiri di depan papan. Matanya menyapu setiap kertas misi. Tangan kanannya terangkat, berhenti di satu kertas—pembersihan sarang monster Alami di hutan timur. Bukan misi ini lumayan sulit untuk pemula, tapi cukup untuk jadi langkah awal.

Dengan tenang, Genshiki merobek gulungan itu dari papan. Suara robekannya terdengar jelas di ruangan.

"Eh…" suara lembut terdengar di belakang. Soiya, dengan celemek masih terikat di pinggangnya, berdiri terpaku sambil memegang kain lap. Matanya membesar, menatap Genshiki yang dengan mudah mengambil misi itu.

"Ka-kau… mau pergi misi?" suaranya nyaris bergetar.

Genshiki menoleh sebentar, menatapnya dengan ekspresi datar. "Ya."

Soiya menggenggam kain di tangannya erat-erat, seolah mencari pegangan. Pipinya memerah, bukan karena malu, melainkan karena khawatir. "Tapi, apakah kau punya tim… sendirian? Kau baru saja…." Kata-katanya tercekat, tidak sanggup ia teruskan.

Di sisi lain, Lydia baru keluar dari dapur sambil menguap. Ia melihat pemandangan itu, lalu sekadar mengangkat alis. "Oh, jadi beneran hari ini kau turun tangan, ya?" ucapnya santai, lalu lanjut duduk di kursi tanpa ekspresi terkejut.

Para petualang lain saling pandang, wajah mereka penuh heran. Bisik-bisik mulai terdengar di sudut ruangan.

"Oi, Oi, Dia serius?"

"Anak itu… mau mengambil misi tingkat berat?"

"Stt, jangan keras-keras kita tidak tahu apa yang akan terjadi,padanya"

Genshiki menggulung kertas misi itu dengan tenang, lalu menaruhnya di dalam saku bajunya. Tatapannya tidak berubah—dingin, fokus, tapi ada sedikit api yang menyala di balik mata hitamnya.

Ketua asosiasi, yang sejak tadi hanya berdiri sambil menyeruput tehnya, akhirnya meletakkan cangkir. Langkahnya pelan tapi saat ia maju ke depan, membuat suasana ruangan ikut menegang.

Semua mata otomatis tertuju padanya.

Ia berhenti tepat di hadapan Genshiki, menatap tanpa berkedip. Suaranya berat, tenang, namun hangat.

"...Kau paham betul apa artinya mengambil gulungan itu, nak?"

Genshiki menatap lurus ke arah pria tua itu. "Aku tahu. Dan aku tidak butuh alasan selain… aku sendiri yang ingin melakukannya."

Hening.

Beberapa detik kemudian, sebuah senyum samar terbentuk di wajah sang ketua asosiasi. Tidak lebar, tidak mencolok, tapi penuh makna. "Bagus. Itu jawaban yang hanya bisa keluar dari orang yang akhirnya… menemukan jalannya sendiri."

Soiya masih menatap Genshiki, wajahnya campuran antara kaget, bingung, dan khawatir. Sementara Lydia hanya menyandarkan kepalanya ke kursi, seakan berkata, Yah, aku tau ini bakal terjadi.

Para petualang mulai bersuara lagi, tapi kali ini bukan dengan cemooh—melainkan dengan nada kagum dan penasaran.

Di tengah semua itu, Genshiki melangkah tenang menuju pintu keluar, kertas misi di genggamannya.

Pintu kayu markas berderit pelan ketika tertutup, meninggalkan bayangan Genshiki yang perlahan menghilang. Suara langkahnya yang berat dan pasti memudar, menyisakan keheningan singkat di ruang tengah.

Soiya masih berdiri kaku, kain lap di tangannya kini mulai digengam dengan erat. Matanya menatap pintu yang baru saja ditutup itu, seolah berharap sosok itu akan kembali muncul. "Ayah… apa dia benar-benar akan baik-baik saja?" bisiknya, suaranya gemetar.

Lydia yang sedang duduk di kursi kayu hanya menoleh sekilas. Ia bersandar malas sambil memainkan rambutnya. "Kau terlalu khawatir, Kak. Bukankah kemarin kita sudah lihat sendiri? Dia bukan orang sembarangan."

"Tetapi… dia sendirian," sahut Soiya cepat, nada suaranya terdengar lebih tinggi. "Petualang lain saja selalu berangkat berkelompok. Bagaimana kalau—"

"Dia akan baik-baik saja." Suara berat sang ketua asosiasi memotong. Ia maju beberapa langkah, lalu menaruh tangan kokohnya di bahu Soiya. "Jangan biarkan rasa takutmu merusak langkahnya putriku... Jika dia memilih jalan itu, berarti dia sudah siap menanggung akibatnya."

Soiya menunduk, bibirnya bergetar. "Aku hanya… aku hanya tidak ingin terjadi apa-apa padanya ayah..."

Ucapan itu membuat ketua asosiasi sedikit terdiam, dia tau putrinya sangat khawatir. Dan Para petualang lain yang ikut mendengar mulai mencuri pandang, tapi tidak berani bersuara.

Ketua asosiasi menghela napas panjang. "putriku, aku tahu ketakutan itu. Tapi justru karena itulah kita harus percaya. Genshiki berbeda. Dia tidak bergerak karena paksaan, tapi karena tekadnya sendiri. Itu yang membuatnya… lebih bisa dipercaya daripada banyak orang di sini."

Lydia ikut menyahut, kali ini dengan nada lebih serius. "Lagipula, Kak, dia itu gak selemah yang kakak kira. Kalau kakak terus terlihat takut, justru akan membebani dia. Lebih baik kakak percaya padanya."

Soiya menggigit bibirnya, lalu mengangguk pelan.

Ketua asosiasi menepuk bahunya sekali lagi, kali ini lebih lembut. "Itu sudah cukup. Percaya saja. Jika waktunya tiba, kau akan mengerti kenapa aku tidak melarangnya."

(Dia benar benar mirip dengan ibunya) batin sang ketua asosiasi.

Mata Soiya membesar, tapi ia tidak sempat bertanya. Sang ayah sudah berbalik, berjalan kembali ke kursinya. Sementara Lydia hanya mendesah kecil, lalu berkomentar lirih, "Entah kenapa aku merasa kita semua sedang menonton, awal dari sesuatu yang besar…"

Ruangan kembali normal, namun di dalam hati masing-masing—terutama Soiya—ada rasa bergetar yang sulit dijelaskan.

Beberapa petualang yang duduk di meja sudut mulai berbisik sedang.

"Oi kau dengar apa yang ketua katakan? Gila, itu bukan misi sembarangan."

Seorang pria tua dengan janggut tipis mencondongkan tubuhnya. "Kau lihat tatapan mata anak muda itu tadi sebelum berangkat? Itu bukan tatapan orang yang sekadar ingin makan dari hasil misi. Itu… tatapan orang yang udah kehilangan sesuatu."

Gelas bir diletakkan dengan bunyi tak kecil.

"Justru itu yang membuatku merindingi" sahut petualang lain. "Orang yang udah kehilangan segalanya… biasanya gak peduli lagi sama hidupnya sendiri. Dia bisa balik dengan kepala… atau gak balik sama sekali."

Beberapa mengangguk, ada yang cuma diam, matanya masih menatap papan misi seolah bayangan Genshiki masih berdiri di depannya.

Lalu suara lain, lebih lirih, nyaris seperti bisikan doa:

"Kalau dia berhasil, mungkin dia lebih pantas disebut pahlawan ketimbang petualang."

Seketika petualang yang disampingnya berpikir. Kata "pahlawan" punya bobot berat di markas itu—sebutan yang gak bisa asal dipakai.

Di sisi lain meja, Lydia menyandarkan dagunya di atas lengan, matanya malas.

"Kenapa kalian semua heboh? Bukannya udah jelas dari awal dia beda? Kalau aku sih gak kaget. Dia ambil misi sendirian? Ya udah. dia bukan tipe orang yang bisa disuruh atau menurut siapa pun."

Nada suaranya santai, tapi bibirnya tersenyum tipis, seolah menikmati kegelisahan yang melingkupi ruangan.

Sementara itu, Soiya yang sejak tadi berdiri di dekat dapur, tangannya masih meremas kain lap sampai berkerut. Matanya terus menatap pintu yang kini kosong.

"…Kenapa harus sendirian," bisiknya pelan, hampir gak terdengar.

Ketua asosiasi yang duduk di kursi besar sambil mengunyah roti akhirnya mengangkat kepalanya. Tatapannya sekilas menyapu ruangan—para petualang, Lydia, lalu berhenti lama pada papan misi.

Senyum samar terbit di bibirnya, bukan senyum bahagia, melainkan senyum lega bercampur bersyukur.

"Akhirnya kau mulai jalan dengan kakimu sendiri, nak," batinnya.

Dia gak berkata sepatah kata pun, tapi di balik matanya yang tajam, ada rasa bangga yang dalam.

More Chapters