LightReader

Chapter 10 - Chapter 10

Kabut masih menggantung di antara pepohonan tinggi, menutupi tanah berembun. Suara ranting patah terdengar samar ketika Genshiki melangkah lebih jauh ke dalam hutan timur, matanya tetap lurus, hitam seperti lubang tanpa dasar. Setiap gerakan terasa ringan, tapi penuh kewaspadaan—angin dingin meniup melalui celah-celah daun, membawa Harum samar bunga liar yang tertimpa embun dan sesuatu yang buas.

Tiba-tiba, dari balik bayangan pohon, terdengar dentuman keras. Tanah di sekitar bergetar, daun-daun berjatuhan. Matanya yang dingin langsung menangkap sosok besar yang muncul, itu seperti serigala hitam raksasa, tubuhnya lebih besar dari kuda dewasa, bulu legamnya berkilat seperti obsidian basah. Mata kuningnya menatap tajam, pupilnya menyempit saat mendeteksi kehadiran Genshiki. Rahangnya yang terbuka memperlihatkan gigi panjang setajam pisau, nafasnya keluar seperti asap pekat.

Genshiki mulai berhenti, berdiri tegak. Aura dinginnya menyebar, seolah menantang makhluk itu. Namun serigala itu tidak tidak tau apa yang dia hadapi sekarang.

Serigala itu menggeram rendah, suara gemuruh yang membuat pohon-pohon di sekitarnya bergetar. Tubuhnya mengambil posisi, siap melompat.

Setiap ototnya menegang, cakar besarnya menghancurkan tanah, meninggalkan jejak dalam.

Genshiki mengeluarkan napas pelan, matanya tetap fokus. "…huh....apa kau ingin bermain denganku?"

Serigala itu melompat dengan cepat mencakar udara, kekuatan itu bisa memecah sebuah batu. Namun genshiki menggeser tubuhnya begitu cepat hingga langkahnya nyaris tak terdengar. Tebasan cakar serigala itu meninggalkan goresan panjang di pohon yang berdiri di dekatnya—seperti sebuah peringatan.

Ketika serigala itu mulai menyerang lagi, Genshiki mengayunkan pedangnya hanya satu kali—tidak terlalu keras, tapi tepat sasaran. Sebuah goresan tipis muncul di pundak serigala, cukup untuk menimbulkan suara menggeram kesakitan. Kemudian Mata serigala itu membesar seketika, seakan tidak percaya, ia mulai meggumam seperti panggilan yang mengguncang udara.

Dari bayangan kegelapan semak muncul dua serigala hitam raksasa lainnya, mata mereka menyala seperti bara, tubuh mereka bergerak lincah tapi menakutkan. Kini, Genshiki dikelilingi serigala-serigala itu, tapi reakasinya tetap tenang.

Setiap gerakan dipikirkan dengan presisi; setiap napasnya dikontrol dengan dingin.

Dengan senyum menghina dia berkata "Benar benar merepotkan..... apa gak bisa satu lawan satu? "

Serigala pertama pun menyerang, kali ini lebih cepat, menghantam dengan kombinasi cakar dan taring. Genshiki menunduk, menggeser tubuhnya dengan satu gerakan kecil, pedang di pinggangnya nyaris tidak terlihat. Dalam sekejap, satu tebasan horizontal memotong udara—cakar serigala meleset dan meninggalkan luka dangkal di kakinya. Hewan itu kemudian menjerit, tetapi tetap berdiri dan semakin kelihatan marah.

Dua serigala lain mencoba menyerang bersamaan, satu dari kiri, satu dari kanan. Genshiki memutar tubuhnya dengan presisi, santai, seakan menunggu serigala itu menabraknya. Satu aynunan pedang bergerak tanpa terlihat, hanya angin yang memotong daun-daun dan ranting-ranting di sekitarnya. Satu serigala terhuyung, kepalanya terjatuh, taringnya melengkung ke samping. Serigala Yang ketiga terkejut, ragu sekejap, tapi puncak kemarahan mereka justru makin meledak.

Genshiki melangkah maju, langkahnya ringan setiap gerakannya membawa ancaman mematikan. Dengan satu ayunan halus, pedangnya menebas ke udara dekat serigala ketiga—satu garis cahaya sekejap, cukup untuk membuat membuat lehernya terbakar oleh cahaya panas yang tak terlihat. Serigala itu terhempas dengan kepala jatuh seperti bola. Mendengar jeritan itu Beberapa serigala baru muncul. mereka melihat rekan mereka terpotong dan mulai menahan napas sejenak. Naluri mereka mengatakan: ini tidak bisa di anggap remeh. Bahkan yang paling berani pun ragu.

Genshiki menatap sekeliling, langkahnya pelan kedepan maju untuk menghampiri dan mulai menyerang serigala itu Setiap gerakan, setiap ayunan pedang, menghasilkan tekanan yang tak terlihat dan mematikan—cakar, taring, dan tubuh raksasa mereka tidak bisa menyentuhnya.

Dengan itu, pedang yang menyapu udara, membuat garis cahaya tipis berkilat di kabut. Serigala itu terhuyung, luka dalam di dada, cakar dan taringnya patah sebagian dan Satu gerakan lagi yang efisien serta cepat, namun mematikan—membuat serigala itu jatuh terbelah, tak lagi ada tanda-tanda pergerakan.

Sunyi sejenak. Angin berhembus di antara pohon,. Para serigala yang tersisa menatap Genshiki dengan kebingungan dan kemarahan—mereka belum pernah menghadapi manusia yang bergerak seperti ini, tenang tapi mematikan.

Genshiki menatap tajam, langkahnya tidak terburu-buru. "Ayo! apa kalian takut? Jika tidak! aku sendiri yang akan mengakhiri semua ini..." Suaranya berat, penuh kekuasaan yang membuat makhluk buas itu merasa dirinya dihina.

Sisa yang masih berdiri, menatap Genshiki dengan Amarah luar biasa. Tanpa menunggu, Satu demi satu, serigala itu dalam beberapa gerakan kepalanya berhasil terjatuh ketanah. "Pedang ini lumayan juga ya, aku tidak perlu repot-repot mengeluarkan pedang raja iblis " Pujinya.

Kemudian Ia berdiri sejenak mulai menatap mayat-mayat serigala yang berserakan. "Tch. Kalau pulang tangan kosong, mereka bakal pikir aku cuma bersenang-senang" gumamnya datar.

Dengan langkah ringan, ia berjongkok di sisi serigala terbesar. Jemarinya terlatih menyelip di balik bulu tebal, lalu dengan sekali tebas dingin—crack—telinga panjang itu terpotong. Ia memasukkannya ke dalam kantong kulit kecil.

Tidak berhenti di situ, ia menarik cakar depan yang masih menancap keras ke tanah. Sendi serigala itu retak, lalu—cakar terlepas, tajam berkilat. Ia menatapnya sekilas, seperti menimbang kualitas, kemudian ikut disimpan.

Terakhiri: dari perut serigala yang tubuhnya paling hitam, ia menyelipkan pisau kecil dan dengan gerakan hati-hati, membuka jalur menuju inti. Cahaya samar kebiruan berdenyut dari dalam, seperti jantung kaca yang baru saja berhenti berdetak. Dengan satu potongan kecil, inti itu terlepas dari jaringan daging, mengeluarkan percikan cahaya terakhir sebelum redup.

Ia menghela napas pelan, berdiri, lalu menatap kantong kulit yang kini lebih berisi dari sebelumnua. "Huhh..… seharian pun rasanya kebanyakan. Ternyata bisa selesai dalam beberapa menit"

Tanpa ekspresi lebih, ia mulai melangkah lebih dalam ke arah hutan yang lebih gelap, membiarkan kabut menelan sosoknya, sementara bukti-bukti itu terguncang pelan di dalam kantong, menandai setiap langkah dinginnya.

Setiap langkahnya meninggalkan aura misterius yang membuat kabut dan bayangan tampak hidup. Di kejauhan, sunyi hutan terasa seperti di ruangan kosong.

Kabut semakin tebal tapi Genshiki tidak ragu dan tetap maju perlahan.

Ia berhenti di sebuah lembah kecil, di tengah pohon-pohon yang lebih rapat. Suara gemeretak ranting dan daun kering di bawah kakinya mengisi keheningan, tapi sesuatu yang lebih besar menanti di sana.

Di sebelah kiri tedapat gua besar, mulutnya selebar beberapa meter, dikelilingi tulang-tulang raksasa yang tergeletak seperti monumen mati. Dari dalamnya terdengar desah berat, hembusan napas yang mengguncang udara, dan aroma busuk yang menusuk hidung—monster di dalamnya jelas bukan makhluk biasa.

Genshiki melangkah pelan, pedangnya masih di pinggang. Matanya menatap ke dalam kegelapan gua yang seperti pintu gerbang menuju tempat lain.

ia mulai membaca setiap bayangan, setiap gerakan.

Tak lama ia mendengar suara langkah kaki Seperti pohon terhempas yang makin mendekat. Seekor makhluk muncul perlahan dari balik kegelapan: bentuknya tegap dengan bahu lebar dan tangan besar, seakan terbuat dari bongkahan batu dan lahar, tingginya jauh lebih besar dari serigala yang tadi. tubuhnya tersusun dari pecahan batu yang tajam, dan tak beraturan, warna makhluk itu hitam kecoklatan. Bagian dadanya tampak ada inti bercahaya, seperti jantung energi, dan mata yang merah menyala.

Monster itu mengaum panjang, suaranya menggema ke seluruh lembah. Ia mulai merasa ada sesuatu kehadiran yang janggal . Kemudian ia mulai menatap sekeliling seperti mencari siapa yang perlu dia lawan lagi. dan kemudian pandangnya berhenti tepat ke arah genshiki. dengan raungan berat seperti ingin menghanucrkan.

Genshiki mulai memegang pedangnya yang di pinggang, tetap tanpa ekspresi.

Dan saat itu Pertempuran dimulai:

Monster itu mulai menyerang dengan cepat, menebas pohon di sekitar, tanah bergetar setiap kali kakinya menghantam bumi. Namun Genshiki bergerak seperti bayangan, menghindar, Dan satu gerakan Dari tebasan monster itu membuat tanah berlubang dan debu dimana mana.

Monster itu kemudian mengaum, mencoba mencabut pohon. Dan melemparkan ke arah genshiki. Genshiki tetap tenang, ia mulai melompat kebalakang dan dengan dorongan santai dari pedangnya, pohon pohon itu terbelah.

Dengan tatapan bosan:

"Oi,... Sampai kapan kau akan melempar kan itu? "

Monster itu seakan tidak peduli dengan perkataan genshiki dia tetap saja melemparkannya.

Namun Setelah beberapa menit pertarungan sengit, monster itu seperti kelelahan. Genshiki tidak buru-buru menghabisinya—ia justru mulai bertanya seolah monster itu paham. "Oi monster batu.....Apakah sudah berakhir?!" Selang beberapa menit ia menatap monster itu genshiki mulai menginggat sesuatu, dengan senyuman seolah menikmati permainan ia mulai bertanya lagi dengan nada menekan. " apakah kau sanggup melawan Golem ku ini?"

Kemudian Genshiki menarik napas panjang, membiarkan keheningan meresap sejenak. Perlahan ia mengangkat tangannya, lurus ke depan, seolah gerakan itu telah ditakdirkan sejak awal.

Jemarinya perlahan mengepal, sebelum menyisakan satu telunjuk yang menunjuk lurus, Bukan sekadar menunjuk—itu adalah perintah tanpa kata, Dari ujung jarinya, setetes keringat dingin jatuh.

Tetes.

Sekejap kemudian tanah bergetar—

Retakan menjalar seperti akar pohon yang dicabut dari bumi, mengguncang tanah di sekitar tetesan itu. Dan tangan raksasa muncul perlahan, diikuti tubuhnya yang menjulang tinggi, besarnya dua kali lipat dari monster yang sedang iia hadapi.

Tiba-tiba golem genshiki itu mengaum, suara bergema sampai ke mulut gua, getaran menghantam dinding batu.

Dengan penuh senyum tipis seakan-akan lawannya hanyalah gangguan kecil di tengah waktu luangnya.

"Volyrix.....Ada lawanmu lo, ini.." Ucapnya ringan.(seolah ia memperkenalkan teman lamanya)

Dan seakan menaati Genshiki, Golem itu langsung menatap ke tempat monster gua berada, matanya bersinar redup seperti bara yang baru ditiup angin.

Monster gua itu langsung melompat menyerang dengan agresif, menubruk, menebas, mengangkat batu besar dan melemparkannya ke arah Genshiki. Namun Golem-nya bergerak dengan koordinasi luar biasa—menangkis, menyerang balik dengan pukulan yang membuat batu terbelah. Tanah di bawah mereka retak, debu beterbangan, batu-batu kecil terlempar ke udara. Setiap pukulan Volyrix, gua itu bergemuruh seperti ada gempa kecil.

Genshiki tetap tenang dibelakang, tangannya ia masukan didalam saku celana. matanya mengikuti setiap gerakan lawan. Ia Melihat ritme serangan Golemnnya, Menilai sekuat apa pukulan Yang ia daratkan dan seperti apa ia menyerang titik lemah monster gua.

Setiap pukulan bergema keras, menggetarkan gua dan tanpa membuang banyak waktu membuat monster itu jatuh.

Monster gua mencoba mundur, melemparkan bongkahan batu besar, tapi Genshiki tidak panik. Ia tersenyum lebar, Golem-nya melompat, memukul bongkahan itu dan menghancurkannya. bebatuan runtuh, dan debu menutupi pandangannya.

Genshiki tidak tinggal ia memanfaatkan momen itu. Ia menekan pedangnya ke tanah, seketika debu hilang dan sebuah energi samar mengalir ke monster yang ingin kabur, mengunci setiap lemparan , Setiap gerakan dan setiap langkah.

Namun Golem lawan tidak tinggal diam ia berusaha menyerang lagi, tapi kini setiap lemparan yang ingin ia lakukan mendadak berhenti, tubuhnya tak bisa bergerak sama sekali seperti ada tekanan.

Waktu itu juga Genshiki menatap monster itu, suara yang rendah namun tegas keluar dari mulutnya:

"Sampai sini saja ya, main-mainnya..."

Golem Genshiki pun menghantam monster gua dengan pukulan telak, inti bercahaya di dada monster retak, sinarnya memudar perlahan. Tubuhnya goyah, batu-batu jatuh dari lengan dan punggungnya, dan akhirnya roboh ke tanah dengan suara gemuruh. Debu dan serpihan beterbangan ke udara.

Genshiki mecabut pedangnya perlahan, napasnya tenang seperti sebelum pertempuran. Golem-nya berdiri tegak di depan sana, menunggu perintah selanjutnya. Namun Genshiki menatap tubuh monster yang tergeletak itu. matanya menyala dengan ketenangan seorang prajurit yang memahami tanggung jawab dan kekuatan.

Suasana hening sejenak, hanya suara gemerisik tanah dan angin yang terdengar. Genshiki menarik napas panjang, kemudian ia berjalan perlahan sambil menatap langit gua yang sedikit terlihat karna besarnya.

Setelah sampai, ia menoleh jasad raksasa itu sejenak. Tubuhnya besar, tapi dengan sihir tertentu, monster itu bisa disatukan kembali atau dihidupkan kembali—tidak perlu dengan inti tengahnya, . Ia menarik napas dingin.

mulai berjalan di atas tubuh monster yang tergeletak itu.

Inti merah besar yang menancap kuat di dada, dan kulit tajam yang menutupi seluruh tubuhnya —semua bisa menjadi bukti bagi para petualang di markas. Namun Genshiki hanya mengambil inti tengahnya saja.

Setelah mengambil inti monster gua dan menyimpannya.

Dengan beberapa gerakan—muncul lingkaran sihir sebesar tubuh monster itu. Genshiki menanamkan sistem sederhana, agar makhluk itu kelak bisa menjadi teman bagi Golemnya.

"Akan ku beri nama… Veloria. Anggap saja, Volyrix kini punya teman hidup."

Sekejap kemudian, tubuh monster itu tenggelam ke dalam lingkaran sihir. Pandangannya beralih pada Volyrix, golem batu yang menjulang dengan aura garang di sisinya.

Tapi wakut itu juga Samar, senyum tipis terukir di bibirnya.

"Kau begitu kuat… begitu berbeda dari dulu…"

Ia menutup mata sejenak.

"Ya… aku masih ingat. Saat pertama kali bertemu denganmu…"

Dan ingatan itu pun menyeretnya kembali—ke masa ketika dirinya masih seorang bocah yang penuh rasa ingin tahu.

"Genshiki, kau mau ke mana, nak?" suara Pak Etgar menyapaku lembut dari belakang.

"Aku mau lihat dibalik bukit itu, Pak...Katanya pemandangannya indah," jawabku sambil menunjuk.

"Ohh, baiklah… jangan lama-lama ya. Tempat itu memang lapang, dari atas bisa melihat laut. Dulu para prajurit sering berlatih di sana" ucap Pak Etgar, suaranya penuh kenangan.

Seorang wanita penyembuh yang berdiri di dekat pak etgar menyikut lengannya. Aku masih ingat wajah wanita itu yang khawatir. "Eh, tuan kau yakin membiarkannya? Bagaimana kalau terjadi sesuatu?"

Pak Etgar hanya tersenyum menenangkan. "Tenang saja. Tempat itu aman, tak pernah ada tanda-tanda makhluk berbahaya di sana. Lagi pula… anak itu harus melihat keindahan dunia, bukan hanya luka dan pertempuran."

Wanita itu tidak bisa berkutik dan akhirnya menghampiriku. "jangan lama-lama, ya. Sebelum matahari terbenam harus sudah kembali. Aku akan menunggumu disini."

Aku mengangguk, mencoba tersenyum agar dia tidak terlalu cemas. "Baiklah, aku tidak akan lama." Ucapku.

Dengan langkah ringan aku menaiki bukit itu. Angin sore menyapu wajahku, dan ketika aku sampai di puncak, mataku terbelalak.

"Wahhh… indah sekali, Apa aku bisa mengajak ayah dan ibu kesini ya. " gumamku. Laut luas terbentang, cahaya matahari jatuh ke permukaan air, berkilau seperti emas cair.

Aku pun mulai menuruni dan terus berjalan kedepan untuk melihat laut dari dekat, Tapi ada sesuatu yang aneh. ketika baru setengah jalan Tanah di depanku bergetar halus. Kemudian Aku jongkok, menyentuh permukaannya dengan hati-hati.

Retakan kecil muncul, lalu perlahan tanah terbelah. Dari celah itu, sesuatu bangkit: sosok besar, tubuhnya dari bongkahan batu gelap, matanya merah menyala… tapi entah kenapa, tidak terlihat mengancam.

"Hei… apakah kau tinggal di sini?" tanyaku polos.

Golem itu hanya menunduk seperti orang yang baru bangun, matanya menatapku dengan rasa ingin tahu. Ia terlihat bingung dengan keberadaannya sendiri. Lalu, dengan hati-hati, ia memetik bunga kecil di sampingnya dan menyodorkannya padaku dengan dua jari yang besarnya seperti seluruh tubuhku.

"Ohhh… ini hadiah untukku, ya?" Aku pun tersenyum lebar.

Seakan mengangguk, ia lalu menunjuk ke arah tebing dengan telunjuknya, mengajakku kesana untuk melihat lebih dekat. Aku mengerti maksudnya. Ia pun mulai memberikan ujung jarinya kepadaku. Dengan berani aku menggenggam ujung jarinya. Golem itu terlihat canggung, menggaruk kepala dengan tangan satunya, seperti malu karena bergandengan dengan seorang anak kecil.

Kami berjalan bersama ke tepi bukit, duduk bersebelahan. Dari sana, kami menyaksikan matahari perlahan tenggelam di cakrawala laut.

"Indah sekali, ya…" bisikku. Golem itu seperti tersenyum mengeluarkan suara rendah, lalu mengangguk pelan.

Saat aku pamit ingin pulang, wajah golem itu terlihat muram. Aku bisa merasakan ia tak ingin berpisah.

"Ohh, kau kesepian, ya?"

Aku mulai menaruh tanganku ke tanah. Tanah bergetar, dan muncul dua golem kecil—seperti anak-anaknya.

"Nah, sekarang kau tidak sendiri lagi." ucapku.

Golem itu tampak lega, matanya meredup tenang. Aku tersenyum lebar, melambaikan tangan.

"Sampai jumpa lagi, yaaa!" teriakku sambil berlari kecil menuruni bukit.

Tanpa sengaja setetes keringatku jatuh ke tanah. Aku tak menyadarinya, tapi golem itu melihat. Setelah aku lumayan jauh Ia menyentuh tanah tempat keringatku jatuh, dan di matanya seolah ada kesadaran baru dan Aku bisa merasakan kehadiran dia ditubuku. setiap tetesan itu adalah panggilan dan mungkin Sebuah ikatan.

Aku menoleh sebentar, melihat mereka—tiga sosok batu di bawah cahaya jingga matahari. Hati kecilku hangat.

Namun aku segera berlari lagi. Aku tahu wanita penyembuh itu pasti sedang khawatir menungguku.

Dari jauh, saat markas sudah terlihat, aku berteriak,

"Halo! Aku di sini!"

Wanita penyembuh itu benaran menungguku dan Wajahnya terlihat lega, sementara Pak Etgar mengintip dari balik pintu besar sambil tersenyum.

Dan sejak hari itu… aku tahu aku punya sesuatu yang tidak semua orang miliki.

Bayangan masa kecil itu perlahan memudar bersama cahaya matahari yang yang hampir terbenam. Aku masih bisa merasakan hangatnya jari batu raksasa itu di genggamanku, meski kini yang berdiri di depanku adalah dia golem yang menjulang gagah, jauh lebih kuat dari dulu.

Genshiki melangkah keluar, meninggalkan gua, menatap sekilas Volyrix yang kini berdiri diam di antara retakan tanah. Mata golem itu berpendar redup, seperti menunggu perintah baru.

"Sudah cukup untuk hari ini," gumam Genshiki singkat.

Volyrix menunduk, lalu perlahan tenggelam kembali ke tanah, menyisakan bekas retakan yang samar berkilau sebelum hilang.

Langkah Genshiki kembali menyusuri hutan timur. Kabut semakin menipis, cahaya matahari sore menembus di sela-sela daun, membuat bayangan panjang di tanah. Setiap langkah kakinya beradu dengan ranting patah, sesekali suara burung liar terdengar, seolah hutan baru berani bernyanyi lagi setelah badai pertempuran reda.

Di pergelangan tangannya, noda darah monster sudah mengering, menempel bersama debu. Namun ekspresinya tetap datar, seakan-akan semua pertarungan tadi hanyalah bagian dari rutinitas harian.

Beberapa kali ia berhenti untuk meneguk air dari kantong khusus, pandangannya terus awas. Sekali, seekor kelinci hutan melompat dari semak—reaksi Genshiki hanya sekilas lirikan dingin, lalu melangkah lagi tanpa peduli.

Selang hampir satu jam berjalan, pepohonan mulai renggang. Jalur tanah setapak perlahan terlihat, tanda ia sudah mendekati jalan utama yang menghubungkan hutan dengan desa kecil di tepi perbatasan. Suara samar obrolan orang-orang dan derap kaki kuda terdengar dari kejauhan.

Genshiki menghela napas tipis. "Hanya satu hari… mereka pasti tidak akan percaya."

Ia menepuk kantong kulitnya—bunyi cakar dan inti beradu pelan dari dalam, bukti nyata bahwa misinya selesai.

Tanpa menoleh ke belakang, ia terus berjalan menuju desa.

mata hitamnya tetap lurus, tanpa terganggu oleh perubahan suasana. Di sepanjang jalan, rerumputan tinggi bergoyang diterpa angin.

Udara di desa kecil itu terasa berbeda—lebih hangat, penuh dengan bau asap dapur, jerami kering, dan para pekerja yang baru selesai dari ladang. Langkah Genshiki yang tenang membuat beberapa warga yang lewat spontan menoleh. Tatapan mereka campur aduk: sebagian heran, sebagian waspada. Baju hitamnya panjang berdebu, pedangnya berlumur noda samar, dan kantong kulit yang tergantung di punggung belakang bersuara seperti tulang dan batu beradu.

Ketika Genshiki melewati pagar kayu pembatas desa, sekumpulan anak berhenti bermain bola rotan.

Mereka hanya melirik sebentar—mata polos yang penuh rasa ingin tahu namun tak menjelang lama sebelum kembali tertawa dan berlari lagi. Bagi mereka, lelaki dengan pedang di pinggang hanyalah pemandangan biasa: seorang petualang yang kebetulan lewat.

Namun ada satu anak kecil yang tetap menatap kantong kulit di pinggang Genshiki yang sesekali memantulkan cahaya samar. Dia hendak mendekat, tapi segera ditarik ibunya sambil berbisik tegang, "Jangan dekat-dekat. Itu barang dari hutan timur."

Perjalanannya berlanjut. Jalan setapak berubah menjadi jalan berbatu lebar, tanda ia sudah menyusuri jalur utama menuju kota. Lalu lintas kuda dan gerobak mulai lewat, pedagang dengan pakaian lusuh maupun bangsawan dengan pengawal melintas bergantian. Genshiki tidak memperhatikan mereka; matanya hanya lurus ke depan.

Akhirnya, menjelang senja, dinding kota mulai terlihat menjulang. Gerbang besar dari besi hitam berdiri tegak, dijaga beberapa prajurit dengan tombak dan pelat baja. Di baliknya, atap-atap bangunan dan menara guild tampak mencuat, menandai pusat aktivitas para petualang.

Genshiki menghela napas tipis. "Akhirnya sampai…"

Markas petualang berdiri tak jauh dari gerbang utama, bangunannya tak sebesar benteng, tapi cukup ramai. Begitu Genshiki mendorong pintu kayu dan mulai berderit, percakapan para petualang di dalam seketika mereda. Suara tawa, dentingan gelas, bahkan bunyi dadu yang tergulir di meja berhenti mendadak, seakan ruangan kehilangan nadinya.

Semua mata menoleh.

Lydia yang sedang bersandar di kursi hampir tersedak minumannya. "Ha–haaaah?! Kak gensh udah balik?!" serunya dengan nada setengah teriak, membuat beberapa kepala makin menoleh.

Soiya hanya melipat tangan di dada, alisnya terangkat tinggi. Tatapannya penuh tanda tanya, seakan ingin memastikan Genshiki benar-benar masih utuh. Namun di balik itu, ada secuil rasa lega yang tak bisa ia sembunyikan.

Para petualang lain bereaksi macam-macam:

Ada yang mendengus sinis,

"Mustahil… bisa secepat itu?."

"Apa dia cuma bermain-main disana"

"Hei, jangan brisik... Kita lihat saja"

Ada pula yang menelan ludah keras-keras, wajahnya pucat.

Sebagian malah menatap dengan rasa iri yang terbuka.

Ketua asosiasi yang duduk di meja tinggi dekat jendela, dengan sorot mata tajam, hanya mengangkat kepalanya pelan. Ekspresinya tenang tapi berat, seakan sedang mengukur bobot langkah Genshiki. Jari-jarinya mengetuk meja sekali, lalu berhenti.

Dalam sekejap, suasana yang bising itu berubah jadi panggung sunyi—dan pusatnya adalah Genshiki, berdiri tegak dengan kantong kulit yang tergantung di pinggangnya, perlahan ia mengambil dan mulai membuka meletakkan isinya satu per satu di atas meja yang sudah dipenuhi catatan misi.

Sepasang telinga serigala.

Cakar yang tajam, masih berlumur darah kering.

Kristal energi kecil yang berkilau samar.

Ketua Asosiasi tak tahan ia pun mengeser kursinya dan berjalan mendekat dengan langkah berat, matanya tajam menilai. Ia jarang turun tangan langsung, apalagi hanya untuk memeriksa bukti misi. Tapi ia sangat penasaran apa yang berada di kantong kulit itu saat melihat isi yang terakhir, wajahnya langsung menegang.

Soiya yang dari tadi berdiam di meja penerimaan refleks bertanya. "Eh....itu apa? " setengah tak percaya.

Genshiki mengangkat inti itu dengan kedua tangan, Sebuah inti berwarna merah tua, berdenyut samar, seolah ada jantung yang masih berusaha berdetak di dalamnya.

Cahaya siang yang masuk dari jendela Sorot merahnya memantul di mata sang ketua.

bisik-bisik kembali terdengar.

"itu apa batu merah menyala itu?!"

"aku belum pernah melihatnya, hey apa kau tahu? "

"tidak aku sama sekali belum melihat seblumnya!—"

Ketua asosiasi membanting tangannya ke meja dengan keras, menghentikan bisik-bisik itu.

"Diam!" Suaranya bergetar, bukan karena marah, melainkan karena terkejut. Ia kembali menatap inti merah itu, lalu menutup matanya sejenak.

"…Aku belum pernah melihat ini seumur hidupku" Suaranya pelan, nyaris seperti gumaman.

Ia menarik napas dalam-dalam, kemudian menatap Genshiki dengan pandangan sulit diartikan antara takut dan tidak percaya.

"Dari mana kau… mendapatkan inti ini nak?"

"Di gua timur," jawab Genshiki datar.

Lydia yang penasaran mendekat " Ayah, itu seperti inti monster yang di legenda-legenda"

Sekejap ruangan hening.

Soiya menatapnya dengan mulut terbuka. Tangannya gemetar ketika menyentuh inti itu, lalu ia langsung menoleh ke ketua asoasi.

"Ayah, apa benar ini yang dikatakan soiya? "

Ketua asosiasi menarik napas panjang, tatapannya tajam menembus inti bercahaya itu. Rahangnya mengeras, suaranya berat namun cukup keras terdengar semua orang.

"Jika dugaanku benar… maka legenda itu bukan sekadar cerita."

kemudian Sorot mata semua orang beralih pada Genshiki.

Ia berdiri tegak di depan meja, tanpa sedikit pun perubahan raut wajah. Cahaya inti itu memantul di mata hitamnya, tapi tak meninggalkan kesan apa-apa.

Ketua asosiasi akhirnya menatapnya langsung.

"Nak… aku tidak tahu makhluk apa yang baru saja kau lawan. Tapi apa pun itu… kau baru saja membuka penemuan yang bisa mengubah banyak hal."

Genshiki terdiam sebentar, lalu mengangkat bahunya ringan.

"Aku juga tidak tahu," jawabnya datar, tanpa intonasi. Ia memutar tubuhnya, berjalan ke arah pintu.

Sebelum keluar, ia berhenti sejenak, menoleh separuh dengan mata setengah tertutup.

"…Aku ingin mandi."

Ia kemudian melangkah ke tempat pemandian, sementara tatapan semua orang masih tertahan padanya, seolah tak percaya apa yang baru saja terjadi.

Malam itu Di markas petualang obor di dinding tinggal menyisakan cahaya redup yang bergetar ditiup angin. Namun di ruang kerja yang dipenuhi rak buku tua, ketua asosiasi belum juga beranjak dari kursinya.

Di atas meja, inti merah itu berkilau samar, seolah memantulkan sesuatu yang jauh lebih tua dari sekadar cahaya api. Jemarinya menegang pelan saat menyentuh permukaannya.

"Tidak salah lagi…" gumamnya. Mata tuanya menyipit, menatap gambar di salah satu buku tebal yang terbuka. Lukisan kabur, berdebu, menggambarkan sebuah kristal berwarna sama.

"…ini inti Grim."

Ruangan itu seolah makin dingin. Nafasnya terasa berat, seakan setiap kata yang baru saja keluar dari bibirnya memanggil sesuatu dari kedalaman legenda.

"Kalau benar ini milik Grim…" gumamnya, "…maka apa yang dikatakan pendahulu kami itu benar"

[Selesai]

More Chapters