LightReader

Chapter 9 - Chapter 9

Jalan setapak menuju hutan timur masih basah oleh embun. Burung-burung kecil sesekali terbang, menambah suasana pagi yang tenang.

Genshiki berjalan tanpa suara, langkahnya terarah. Pandangannya lurus, tak ada satu pun godaan di sekitar yang bisa mengalihkan fokusnya.

"EHHHH! Jangan lari, kambingkuuuu!"

Suara teriak panik memecah kesunyian. Dari balik belokan jalan, muncul seorang pria pendek gempal dengan wajah bulat merah karena kelelahan. Ia berlari terbirit-birit sambil memegang topi jerami yang hampir terlepas. Seekor kambing kecil berlari ke arah Genshiki, langsung bersembunyi di belakang kakinya.

"Oi! Kambing nakal, berhenti kabur!" Ia terengah-engah, baru sadar ada sosok tinggi berambut pendek berdiri di depannya. Ia melongo sebentar, lalu tersenyum canggung. "Ah… halo, nak muda! Maaf ya, hewan ini kadang keras kepala…"

Genshiki menatapnya datar, lalu melihat sebentar ke arah kambing itu. Binatang kecil itu meringkuk, seakan merasa lebih aman dekat dengannya.

"Huhh"

Tarikan napas dingin dari genshiki, tapi pedagang malah tertawa canggung sambil menggaruk kepalanya.

"Hahaha, iya, iya. Namanya Kuko. Dia suka sekali kabur kalau lihat rumput segar. Eh, kau petualang kan? Wah, cocok sekali! Kalau begitu, mungkin kau mau beli bekal? Aku jual roti kering, buah, bahkan punya obat luka juga!"

Pria itu merupakan seorang pedagang di daerah itu.

Tanpa banyak bicara, Genshiki hanya melangkah lagi. Pedagang itu refleks mengambil gerobak kecilnya yang penuh barang dibelakang dan mulai mengikuti genshiki.

"Eh, jangan cuek dong! Kau kelihatan butuh sesuatu, ya kan? Kalau beli padaku, dijamin murah, bahkan murah sekali! Aku pedagang paling jujur di jalan ini! Hehehe…"

Namun sebelum ia sempat melanjutkan celotehnya, terdengar suara siulan panjang dari semak-semak. Daun-daun bergetar, lalu muncul beberapa sosok bersenjata dengan wajah kotor.

"Tch. Ternyata benar," salah satu bandit menjilat bibirnya. "Ada kambing gemuk lewat sini. Dan bukan cuma kambing—pedagang tolol juga."

Pedagang langsung pucat, memeluk gerobaknya erat-erat. " Kenapa, kenapa setiap kali aku lewat sini, pasti ada kejadian?! Aku cuma cari makan halal, tolong jangan—"

"Diam!!, berisik..." Bandit berambut kusut menendang tanah, maju dengan senyum kejam. "Serahkan barang-barangmu, atau biar darahmu yang jatuh lebih dulu."

Suasana berubah tegang. Pedagang gemetar, mundur sedikit hingga hampir menabrak Genshiki.

"Ehh… nak, maafkan aku ya, ayo kita kabur dari sini... "

Genshiki berdiri diam. Matanya dingin, menatap bandit yang semakin mendekat.

" Kenapa harus kabur?"

Pertanyaan itu cukup membuat bandit yang tadinya nyengir refleks berhenti sebentar. Namun, mereka segera menertawakannya lagi.

"Hah? Bocah ini kira, bisa menakuti kami dengan wajah datarnya?"

"Heh—aku malah agak… nggak takut." salah satu membalas dengan nada mengejek.

Kemudian Pemimpin mereka menatap dengan mata menyala: "Cih, kau jangan ikut campur, atau kau juga ikut Terlibat!"

Pedagang makin panik, hampir menangis. Tapi Genshiki perlahan mengangkat tangannya Dan mulai menggenggam gagang pedang di pinggangnya.

Mata hitamnya berkilat dingin.

"Berisik!,"Kemudian dengan suara berat dan senyumanya nyaris seperti menghina. "Baiklah… hibur aku. Tunjukkan kalau kalian memang bisa menahan hembusan angin dari pedang ini."

Bandit pertama tertawa keras, lalu berlari sambil mengayunkan pedang karatan. "Dasar bocah sombong!"

Clang!

Dalam sekejap, pedangnya terpental ke udara. Genshiki bahkan tidak terlihat mengayunkan pedangnya— ditambah satu gerakan cepat, dingin, dan presisi. Bandit itu terdiam, baru sadar pergelangan tangannya tergores tipis. Darah menetes.

Seorang bandit yang melihat lalu berkata:

"Ap—apa barusan…?" gumamnya gemetar.

Ayunan itu seharusnya memecah tulang — jika mengenai. Tapi Bocah itu hanya memiringkan badan sepersekian detik, sejauh satu napas.

Beberapa detik kemudian, gerakan balasan datang: cepat, singkat, tanpa gaya. Genggaman pada gagang pedang terasa lebih sebagai titik fokus daripada tenaga.

Bandit kedua maju dengan tombak panjang, mencoba menusuk. Genshiki bergeser setengah langkah, tubuhnya hampir tidak bergerak. Satu tebasan datar memutuskan ujung tombak itu, jatuh ke tanah seperti ranting kering.

Sunyi. Hanya langkah napas berat para bandit dan suara Pedagang yang gemetar.

Seorang bandit muda menjerit, lalu mencoba meluncur ke samping.

Namun, Genshiki hanya mengangkat satu tangan—gerakan kecil, nyaris seperti isyarat santai.

"Ap—apa ini?!" batin si bandit terkejut, tubuhnya mendadak terasa didorong oleh sesuatu yang tak terlihat. Nafasnya tercekat, seolah udara sendiri yang menghajarnya.

Kaki bandit muda itu kehilangan keseimbangan, dan ia terjungkal keras ke tanah. Dug! Kepalanya menghantam tanah, bunyinya seperti palu besi dijatuhkan. Dentuman itu cukup keras hingga membuat beberapa burung di pepohonan beterbangan.

Genshiki bergerak lagi. Kali ini bukan tebasan penuh, melainkan serangkaian gerakan pendek dan tajam: satu titik potong pada lengan kanan, satu lagi mengenai bahu, sehingga senjata-senjata yang dulu berbahaya kini tergelincir dari tangan mereka. Tidak ada teriakan heroik, tidak ada pose megah. Hanya gerak yang efisien — seperti melepas simpul tali satu per satu sampai benang terakhir terlepas.

Bandit paling besar, yang tadi mengolok-olok, mengangkat pedangnya lagi dengan teriakan. "kurang ajar kau bocah! "

Ia mulai maju, tetapi mata hitam Genshiki menatapnya tanpa emosi, dan bandit itu seakan melihat sesuatu yang membuat darahnya beku. Ia mencoba menolak, mencoba menyerang dengan amarah, tapi setiap upaya dibalas dengan presisi dingin: pergelangan yang terpotong arah serangannya, lutut yang ditendang halus hingga ia terjungkal, dan pedangnya tersungkur jauh.

Ketika semua senjata berikutnya sudah jatuh, para bandit hanya tertinggal dengan nafas tersengal dan tatapan seolah tak percaya. Beberapa merangkak menjauh, ada yang memamerkan tangan kosongnya sambil merapal permohonan. Tidak ada panglima tertinggal untuk memimpin lagi — rencana mereka hancur sepi oleh beberapa gerakan tenang.

Pedagang gempal itu, berdiri terpaku, tangan masih menempel di gerobak. Matanya berkaca-kaca, setengah antara takut dan takjub. "A… anak muda… kau… kau hebat…!" suaranya tercekat. Ia melihat dari tempat itu, suaranya cemas lalu berubah panik saat melihat darah di tangan beberapa bandit.

Hanya suara napas gugup yang tersisa.

Genshiki menatap mereka tanpa emosi. "Oi,Kalau masih ingin hidup, tinggalkan barang-barang lalu enyah lah."

Aura dinginnya membuat bulu kuduk meremang. Para bandit saling pandang, wajah mereka mulai kehilangan warna. Salah satu yang paling muda langsung melempar pisaunya ke tanah, lalu lari terbirit-birit. menyusul para bandit yang udah lari, bahkan tanpa sempat mengambil senjata mereka.

Pedagang masih terpaku, Ia menelan ludah keras-keras. "A… anak muda… kau itu… mungkinkah?—" Suara pedagang itu terhenti tidak sangup melanjutkan bertanya.

Genshiki mulai menyelipkan kembali pedangnya di pinggang, tanpa mengeluarkan sedikit pun dari sarung dan tidak menjawab sedikit pun. Ia hanya melangkah lagi, meninggalkan pedagang yang masih memandanginya.

Pedagang berlari kecil mengejarnya sambil mendorong gerobak. "Heiii tunggu! Setidaknya izinkan aku berterima kasih! Aku bisa kasih kau roti gratis! Atau buah! Atau… apa pun! Jangan diam-diam gitu dong, aku bisa mati kaget tadi!"

Namun Genshiki tetap berjalan lurus, seolah suara pedagang itu hanya angin lewat.

Dan pedagang itu tidak menyerah ia menyeret keluar sepotong roti, dua buah apel sambil berlari kecil, dan sebotol kecil obat ramuan. "Ambil! Ambil! Ini rasa terimakasihku! Ambil saja! Aku harus balas jasamu, Nak tolong ini sebagai—"

Genshiki berhenti sebentar kemudian menoleh setengah badan. Matanya menatap lekat, tetapi ekspresinya tak berubah. Ia mengangguk seperlunya—bukan terima kasih, bukan juga penolakan tegas. Satu gerakan kecil, seolah menerima rasa terimakasih pedagang itu.

"Jaga baik-baik kambingmu," bisiknya singkat pada pedagang, lalu....

Pedagang itu mengangguk seperti orang yang menerima wahyu. "Ah! Iya! Iya! Kuko, jangan nakal lagi ya! Kita udah diselamatin, kau dengar? Kita udah diselamatin!"

Genshiki menoleh sekali lagi ke jalan yang berdebu, lalu melangkah membiarkan kabut pagi menelan punggungnya. Kambing kecil menoleh seakan memberi isyarat selamat tinggal, lalu melompat ke gerobak. Pedagang itu. melambaikan topi jeraminya dengan tangan penuh terimakasih sampai sosok Genshiki menghilang di antara pohon-pohon.

Dari balik semak, seorang bandit yang selamat menatap punggung Genshiki yang kian menjauh ke arah timur. Matanya melebar, tubuhnya gemetar saat merangkak mundur tanpa berani menoleh. Kini rasa takut melekat pada setiap tarikan napasnya. Anak muda itu bukan lagi sekadar sosok misterius—di jalanan kecil itu, namanya akan berbisik sebagai badai yang diam-diam mematikan.

Bersambung>

More Chapters