Keesokan harinya…
Langkah pelan terdengar di tangga markas Petualang. Genshiki turun dengan tatapan kosong, wajahnya tanpa ekspresi. Setiap anak tangga yang diinjak seolah menekan suasana ruangan.
Para petualang yang sedang bercengkerama langsung menoleh. tawa dan obrolan padam begitu saja.Suara riuh para petualang mendadak mereda. Beberapa menoleh, lalu mulai berbisik.
"Itu dia… anak muda yang dibawa ketua."
"Ya… katanya dia ditemukan pingsan di jalan."
"Benarkah itu dia?"
Bisik-bisik mulai terdengar. Tatapan penuh rasa ingin tahu, sebagian meremehkan, sebagian waspada.
Genshiki tak peduli. Ia hanya melangkah melewati kerumunan, matanya kosong seperti melihat tembok. Namun ketika hampir mencapai pintu keluar, sebuah tangan besar menahan bahunya.
Semua orang menahan napas.
"Nak, mau ke mana kau?" suara lembut tapi berat terdengar dari belakang. Ketua asosiasi—pemilik markas, sosok yang dihormati semua orang—menatapnya dengan mata teduh.
"Lepaskan." Suara Genshiki datar, dingin, tanpa emosi. "Itu bukan urusanmu."
Ruangan mendadak hening. Bahkan derit kursi pun terdengar jelas.
Ketua asosiasi menghela napas, masih tersenyum tipis.
"Kalau begitu, izinkan aku bertanya. Apa kau punya rumah sekarang? Atau tujuan hidup?"
Genshiki menunduk sebentar. Dalam hati, ia berbisik:
"…Tidak. Yang kumiliki hanya masa lalu yang sudah hancur."
Pria tua itu seolah bisa membaca isi hatinya.
"Orang yang terlalu banyak diam biasanya bukan tanpa alasan," katanya pelan. "Mereka hanya menyembunyikan sesuatu di hatinya."
Kata-kata itu seperti menyentak Genshiki. Ia menoleh sebentar, matanya bergetar, tapi hanya sesaat. Ekspresinya kembali kosong.
Tiba-tiba, seorang wanita muncul dari tangga. Putri ketua asosiasi menghampiri ayahnya dengan wajah cemas.
"Ayah, jangan paksa dia tinggal. Jika dia memang ingin… dia akan kembali dengan sendirinya."
"Hahaha… baiklah." Ketua asosiasi menepuk bahu putrinya. "Jika putriku berkata begitu, aku tak bisa menolak."
Ia menatap lekat wajah putrinya, lalu tersenyum nakal. "Tapi, kenapa kau meneteskan air mata?"
"Ehh?! Aku tidak menangis! Ini… cuma debu!" Putrinya buru-buru mengusap pipinya. Namun semua orang tahu, air mata itu nyata.
Suasana hening itu pecah ketika pintu markas terbuka keras. Tiga sosok masuk bersamaan, membawa aura yang membuat ruangan menegang.
"Miharu, Kazaki, dan Hayami…" bisik seseorang.
"Mereka… tim terkuat di sini. Selalu pulang tanpa luka."
"Mereka monster…"
Ketiganya berjalan penuh percaya diri. Kazaki, pria berotot dengan rambut pendek, langsung melirik tajam ke arah Genshiki.
"Oii, anak muda. Apa yang kau lakukan pada putri ketua? Sampai-sampai ayahnya sendiri turun tangan?"
"Cih. Berisik." Genshiki menatapnya sekilas, lalu hendak melangkah pergi.
"Apa?!" Miharu, si pemimpin, mendengus marah.
Hayami, wanita berambut panjang, terkekeh sinis. "Bocah ini sok hebat. Apa dia punya prestasi?"
Genshiki tetap tak menjawab, namun Kazaki menghadangnya.
"Kau mau kabur? Kalau kau lelaki, duel saja! Biar semua orang tahu siapa yang lebih kuat!"
"Sudahlah," ketua asosiasi angkat suara. "Jangan buat keributan—"
Namun tiba-tiba, Genshiki menoleh. Suaranya berat, dingin, menusuk.
"Baiklah. Aku turuti. Ayo kita lihat siapa yang benar-benar kuat."
Hening. Semua petualang menatap, antara kaget dan tak percaya.
Ketua asosiasi menghela napas panjang. "huhhhh... Aku mengizinkan duel. Kalian bertiga… lawan Genshiki."
"APA?!"
"Tiga lawan satu?!"
"Itu gila!"
Tapi sang ketua hanya mengangguk tegas.
Tak ada lagi bantahan, hanya jantung-jantung yang berdetak lebih cepat.
Tanpa banyak kata, langkah-langkah dipandu keluar, menuju tempat yang telah dipersiapkan untuk menelan nyali siapa pun yang masuk ke dalamnya.
Arena belakang markas—lapangan luas dengan pagar kayu tebal—menjadi tempat duel. Para petualang berbondong-bondong datang, duduk di bangku penonton.
Miharu dan Hayami masing-masing mengambil pedang kayu dan perisai. Namun Hanya Kazaki yang memilih bertarung dengan tangan kosong. Dalam rumor yang beredar mau dikota ataupun di markas Petualang, Mereka sudah terbukti ahli, aura mereka tajam, penuh percaya diri.
Sementara itu, Genshiki berdiri di tengah arena tanpa memegang apa pun. Tangan di saku, tatapan bosan.
seolah menunggu pertunjukan usai.
"Oii," suaranya pelan tapi jelas. "Apa sudah selesai main-main?"
Kazaki menggertakkan gigi. "Bajingan! Kau pikir kau lebih kuat dariku?!"
Hayami tertawa. "Cepat habisi dia. Aku benci wajah sok cueknya itu."
Mereka bertiga berlari bersamaan, tanah bergetar oleh pijakan mereka.
"Cih…" Genshiki menoleh ke arah ketua asosiasi. "Oi, Paman. Pinjam sebentar tusuk gigimu."
Semua orang melongo. Ketua asosiasi bahkan tertegun beberapa detik sebelum tertawa kecil. "…Apa kau serius? Hanya dengan ini?"
Dengan santai,ketua asosiasi melempar tusuk gigi dari mulutnya. Genshiki menangkapnya dengan dua jari.
"Cukup dengan ini," katanya datar. Ia memutar tusuk gigi itu, lalu mengarahkannya ke depan.
"Akan ku ajari… lewat rasa sakit."
Genshiki memegang tusuk gigi itu bukan sebagai benda, melainkan sebagai variabel kecil dalam persamaan besar. Dalam benaknya, semua ruas dihitung: ketinggian memberi potensi — bukan sekadar m · g · h — melainkan titik tumpu yang menyimpan kemungkinan. Kecepatan awal tusuk gigi nyaris nol, tapi bukan itu yang penting.
Yang penting adalah fase. Jika getaran kecil itu bertepatan — frekuensi sekecil apa pun sejalan dengan denyut langit — maka amplitudo yang semula tak berarti berubah menjadi koheren. Itu bukan penjumlahan biasa; itu penguatan gelombang, efek resonansi yang menautkan ruang, udara, debu, dan tanah menjadi satu.
Dalam istilah kasar yang mungkin dipelajari para penyihir sebagai "matematika medan": sedikit energi yang diberi fase tepat bisa mengalirkan E_total jauh melebihi jumlahnya.
Genshiki menutup mata sekejap, menganggap semua itu seperti hitungan sederhana di kepala.
Lalu—
JENTIK!
Dalam sekejap, tusuk gigi itu melesat dari jarinya dengan cepat—
Seketika, pusaran angin dahsyat meledak. Debu beterbangan, tanah terangkat, suara gemuruh mengguncang arena.
BRAAAANG!
Ketiganya terpental seperti boneka. Miharu menghantam pagar kayu hingga retak, tubuhnya tergeletak sambil batuk darah.
Kazaki dan Hayami bahkan tak sempat berteriak—mereka langsung pingsan di tempat.
Kerumunan penonton ternganga.
"H-hanya dengan… tusuk gigi?"
" Dasar Monster..."
Ketua asosiasi terdiam, lalu menghela napas panjang sambil geleng kepala. Putrinya yang tadi cemas kini menutup mulut dengan tangan, matanya berbinar. Senyum samar muncul di wajahnya.
Di tengah kepanikan dan keterkejutan itu, Genshiki melempar tusuk gigi ke tanah. Ia mulai melangkah perlahan keluar arena.
"Boleh aku pergi sekarang?" tanyanya datar, menatap lurus ke ketua asosiasi.
Tak ada yang berani menjawab. Semua hanya menatap dan terdiam. Arena yang semula riuh kini hening. Para petualang masih ternganga, sebagian bahkan belum sadar mulutnya terbuka lebar. Pagar kayu yang retak, debu yang belum reda, dan tiga "orang yang terkenal" terkapar—semuanya jadi bukti betapa absurdnya kekuatan Genshiki.
Ketua asosiasi hanya menatap punggungnya Senyum tipis terukir, namun matanya serius—tajam, penuh perhitungan.
Anak muda itu… jelas bukan orang biasa. "ucapnya"
Potongan ingatan malam meteor kemarin terlintas jelas.
Para penyihir panik.
Mereka sudah mengumpulkan semua sihir penghancur, tapi tetap tak sanggup memecahkan meteor itu.
Lalu—
Seketika meteor meledak, seperti dihancurkan dari dalam.
Ketua asosiasi yakin matanya tidak salah. Sesaat sebelum meteor pecah, ia sempat melihat siluet samar di puncak menara jam.
"Dan sekarang…" gumamnya pelan, lirih hanya untuk dirinya. "Anak muda itu muncul di depanku, dengan kekuatan yang bahkan tak bisa dijelaskan akal."
Putrinya mendekat, wajahnya masih diliputi penasaran bercampur kagum.
"Ayah… siapa sebenarnya dia?"
Ketua asosiasi menoleh, menatap mata putrinya. Senyumnya ramah, tapi nadanya berat.
"Untuk saat ini… anggap saja dia hanyalah seorang pengembara yang tersesat."
"Tapi—"
"Cukup." Sang ayah menepuk lembut bahu putrinya. "Kau tak perlu tahu sekarang. Hanya saja, hati-hati. Anak muda itu bukan orang yang bisa ditebak."
Putrinya terdiam, memandang ke arah pintu tempat Genshiki melangkah pergi, jubah sobeknya berkibar ringan.
Langkah Genshiki terdengar pelan di jalan berbatu, menuju pintu keluar markas. Semua tatapan para petualang masih mengikutinya, sebagian kagum, sebagian takut. Ia tidak menoleh, wajahnya tetap datar, seolah duel tadi hanya hiburan kecil.
"Oi, anak muda!" suara dalam dan tegas memanggil dari belakang. Ketua asosiasi berjalan menghampirinya, membawa sesuatu di tangannya.
Genshiki berhenti, menoleh malas. "Apa lagi?"
Ketua asosiasi mengangkat benda itu—sebuah pedang tua dengan sarung kayu yang sudah retak.
"Aku melihatmu menenteng pedang kemarin. Ukiran di gagangnya… sama persis dengan pedang ini. Kau mengenalnya?"
Mata Genshiki sedikit menyipit. Itu bukan tatapan biasa, ada bayangan kenangan samar yang muncul. "Itu… buatan ayahku."
Ketua asosiasi tersenyum tipis, penuh rasa hormat. "Benar. Ayahmu… seorang penempa pedang hebat. Pedang ini… menyelamatkan nyawaku di masa lalu. Aku masih mengingat wajahnya. Tegas, namun penuh wibawa."
Genshiki terdiam. Hatinya bergetar, meski wajahnya tetap dingin. "Jangan bicara seakan-akan kau mengenalnya lebih baik dariku."
"Hahaha… mungkin kau benar." Ketua asosiasi menepuk pedang tua itu pelan. "Tapi aku ingin kau tahu, ayahmu meninggalkan jejak besar di dunia ini. Dan melihatmu, aku merasa… jejak itu belum benar-benar hilang."
Suasana menjadi hening. Angin sore berhembus membawa aroma hangat kenangan masa lalu.
Akhirnya, Genshiki berbalik, menatap lurus dengan sorot tajam. "Apa maksudmu?"
Ketua asosiasi menatap balik dengan senyum penuh arti. "Maksudku… tempat ini bisa jadi rumah untukmu. Bukan karena belas kasihan, tapi karena di sini… ada sisa-sisa warisan ayahmu. Jika kau mau, tetaplah. Aku tidak akan memaksamu."
Genshiki diam cukup lama.Ia mengalihkan pandangan, menatap markas itu sekali lagi.
terlihat beberapa petualang yang penasaran ingin tahu apa yang sedang terjadi. Mereka saling berbisik, namun tetap menjaga jarak.
Semua orang tahu, percakapan singkat itu bisa menentukan apakah bocah asing itu akan benar-benar pergi… atau justru menjadi bagian dari markas mereka.
Tak lama.
Suara langkah ringan terdengar dari arah markas. Putrinya muncul, membawa nampan berisi minuman hangat. Tatapannya terkejut melihat ayahnya dan Genshiki berdiri berhadapan.
"Eh? Kalian… bicara di sini?" tanyanya pelan.
Ia menoleh pada Genshiki, dan tanpa sadar berucap,
"Kau… kelihatan sangat letih. Kau tak perlu memaksakan diri pergi malam ini."
Tatapan Genshiki bertemu dengan matanya. Dalam sekejap, sosok wanita itu bertumpang tindih dengan bayangan wajah ibunya. Senyum lembut, suara penuh perhatian—semuanya menusuk ke dalam kenangan yang sudah lama ingin ia kubur.
Ketua asosiasi menoleh, senyum hangat masih terpasang. "Ya, hanya sedikit percakapan." Ia menatap putrinya beberapa detik, lalu kembali ke arah Genshiki dengan sorot mata tajam.
"Ngomong-ngomong, waktu kau pingsan dulu… putriku bilang kau sempat menatapnya dengan aneh. Seperti melihat seseorang yang kau kenal. Apa benar begitu?"
Tatapan Genshiki berubah tipis, sedikit lebih tajam. Ia kembali berpaling sekilas dari gadis itu—senyap, hanya sekejap. Wajahnya datar, tapi ada kilasan samar di matanya.
"…Bukan urusanmu."
Putrinya terdiam, bingung dengan jawabannya. "Tapi… aku merasa… entah kenapa, saat melihatmu, aku—"
"Jangan lanjutkan." Genshiki memotong cepat, dingin, nadanya menekan. "Itu cuma ilusi. Jangan terlalu memikirkannya."
Hening. Angin malam lewat di antara mereka bertiga.
Ketua asosiasi menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba membaca sesuatu yang tersembunyi. Tapi akhirnya ia hanya tertawa kecil. "Hah… anak muda, kau benar-benar sulit ditebak. Baiklah. Aku tak akan memaksa jawabanmu." Dengan langkah santai, ia berbalik menuju pintu markas. Sebelum masuk, ia melambaikan tangan ke belakang tanpa menoleh. "Hoi, jangan lama kalau mau berduaan di luar ya, Udara malam lumayan dingin lho"
Beberapa petualang yang ngintip dari teras langsung menahan tawa mendengar godaan ketua asosiasi Ada yang sampai menunduk menutup mulut, ada juga yang saling sikut pelan sambil berbisik, wajah mereka penuh rasa usil.
Genshiki hanya mendengus pelan, lalu berbalik, melangkah masuk kembali ke markas. Sedangkan Putri ketua asosiasi pipinya merona merah dan tanpa sadar menggenggam minuman itu dengan erat, jantungnya berdetak keras meski ia sendiri tak tahu kenapa.
Senyum samar muncul di wajah sang ketua asosiasi. "Jadi begitu… rupanya luka lama masih menahannya."
Malam itu markas petualang kembali tenang, tapi benih cerita baru sudah mulai tumbuh tanpa ada yang benar-benar menyadarinya.
[Selesai]