LightReader

Chapter 4 - Chapter 4

Semua dunia yang ku kenal hancur. Dan semuanya bermula pada hari itu...

Sejak usiaku baru enam tahun, aku sudah berjalan di jalan yang seharusnya hanya ditempuh oleh orang dewasa yaitu jalan seorang pahlawan.Mereka semua mengenakan jubah berat, membawa senjata besar, dan menatap dunia dengan pandangan yang sarat beban.

Di antara wajah-wajah penuh kerutan dan suara berat para bapak-bapak yang menemaniku, hanya ada satu orang yang benar-benar menancap di hatiku: Pak Etgar.

Ia tidak hanya seorang rekan seperjuangan. tapi seperti ayah kedua bagiku.Tubuhnya kekar, janggutnya tebal, suaranya lantang, tapi hatinya begitu hangat, menepuk bahuku saat aku ragu, dan menasihatiku dengan kata-kata yang sederhana tapi membekas.

Menjadi pahlawan itu tugas paling berat, Nak..

"ucapnya" sambil membersihkan pedang. "Lebih berat daripada pemburu iblis dan pemburu monster." Kemudian dia menatapku. "Pahlawan bukan cuma bertarung. Kita menyatukan orang, memberi harapan, memimpin, bahkan mengorbankan diri sendiri kalau perlu."

Aku tidak sepenuhnya mengerti waktu itu, tapi aku bisa merasakan betapa seriusnya dia.

Setiap kali aku terluka di medan tugas, dialah yang pertama ke arahku dengan senyum tulus di wajah. Kadang ia hanya mengikat lukaku dengan kain seadanya, sambil bergumam,

> "Kau harus hati-hati. Ingat, tugas seorang pahlawan bukan hanya bertarung… tapi juga hidup cukup lama untuk melindungi orang lain."

Begitu katanya sambil tertawa keras. Setelah itu, ia mengusap kepalaku, lalu menambahkan,

"Kau boleh kecil, tapi jangan remehkan dirimu. Kadang, yang kecil justru yang paling menentukan."

Aku selalu mengingat kata-katanya.

Dan Pak Etgar pernah menjelaskan, menjadi pahlawan berbeda dengan para petualang dan pemburu iblis.

"Petualang itu pekerja. Mereka dibayar untuk misi.

Pemburu iblis itu pejuang, hidup mereka dipertaruhkan setiap hari di garis depan.

Tapi pahlawan… pahlawan itu simbol. Harapan. Orang-orang akan menaruh mimpi mereka padamu, Nak. Itu beban yang paling berat."

Aku masih kecil waktu itu, dan aku benar paham nada seriusnya. Kata-katanya seperti beban yang ditaruh langsung di pundakku. Berat, tapi hangat. Seakan beliau percaya aku mampu menanggungnya.

Di luar tugasku, aku masih punya rumah.

Ayahku adalah seorang penempa pedang terkenal. Tangannya selalu hitam legam oleh bara, tapi di balik kekerasannya, ia adalah ayah yang penuh tawa. Kadang ia menggoda ibuku saat makan malam, dan aku tertawa melihat mereka saling ejek dengan mesra.

Ibuku… hanyalah ibu rumah tangga biasa. Tapi dialah yang paling khawatir setiap kali aku berangkat tugas.

> "Dia masih anak-anak, Sayang! Masih terlalu kecil untuk ini!"

Aku sering mendengar ibuku bertengkar dengan ayah karenaku.

Tapi ayah selalu menenangkannya.

"Percayalah, anak kita berbeda. Dia bisa mengubah dunia."

Orang tuaku jugalah yang pertama kali menyadari aku bukan anak biasa. Ayah pernah bercerita, ketika aku baru belajar berjalan, aku tanpa sadar mengangkat tumpukan pedang buatannya, beratnya ratusan kilo. Ekspresinya waktu itu katanya campur aduk: antara panik, kaget, sekaligus bangga. dan Ayah selalu menceritakan kejadian itu dengan pak etgar.

awalnya pak etgar tidak percaya tapi setelah melihat sendiri Ia menatapku dengan terkejut dan berkata, > "Anak ini… bukan anak biasa." >

Itu sebabnya aku diangkat menjadi pahlawan sejak dini.

Mereka berdua sering berkata, aku sendirilah yang memilih namaku, sejak bayi aku sering mengoceh.

"Ge… shi…Gen-ki… gensh… kiii…" yang akhirnya mereka tetapkan menjadi nama panggilanku. Nama yang lahir dari suara kecilku sendiri.

Aku masih ingat jelas, saat usiaku enam tahun, ibuku sempat menangis karena berat rasanya melepas anak sekecil aku ke medan tugas. "Dia masih anak-anak," katanya sambil memelukku erat. Tapi ayah meyakinkan, "Anak kita bisa mengubah dunia." Dan entah bagaimana, kalimat itu akhirnya menenangkan hati ibuku.

Hari-hari itu terasa panjang, tapi penuh warna.

Aku, bocah enam tahun, berjalan di antara barisan orang dewasa. Pedangku terlihat kecil dibanding senjata mereka, tapi entah kenapa semua orang menatapku dengan kagum.

Tim kami terdiri dari lima orang.

Pak Etgar, perisai yang tak tergantikan, selalu berdiri paling depan.

Seorang penyembuh wanita dewasa, lembut, penuh kasih, suaranya menenangkan seperti ibu.

Dua orang lain, pejuang tangguh, tidak terlalu dekat denganku, tapi tetap memperlakukanku dengan hormat.

Dan aku… bocah kecil yang entah kenapa disebut "pahlawan."

Disisi lain selain pak etgar ada juga seorang Penyembuh yang sering menemaniku. Saat kami beristirahat setelah bertempur, ia suka bercerita."Jika kamu memilih warna putih, semua orang akan melihatmu dengan jelas. Tapi jika kau memilih hitam, kau bisa berjalan tanpa ada yang menyadari. Kau ingin jadi yang mana, Genshiki?"

Aku tidak tahu maksudnya waktu itu, tapi senyumnya selalu menenangkan.

Bagiku, ia adalah sosok yang lembut dan penuh perhatian karena saat sedang tidak ada kesibukan dia selalu meluangkan waktu untuk mengantarku pulang. Kadang, saat ia ikut makan di rumah bersama ayah dan ibu, suasana menjadi aneh tapi hangat. Namun Ayah sering terlihat canggung, tak berani menatap wajah cantiknya, karena takut ibu akan salah paham. Aku sering tertawa kecil melihat itu.

Hari-hari itu… meskipun sulit, aku merasa punya keluarga kedua.

Ada yang melindungi, ada yang menasehati, ada yang merawatku.

Namun, aku mulai sadar sesuatu…

Setiap kali aku pulang dari misi, mata ibu selalu sembab.

Ia selalu menunggu di depan rumah bersama ayah, menatapku seolah memastikan aku masih utuh. Ayah menepuk bahuku dengan bangga, tapi aku tahu… ia juga menyimpan kekhawatiran yang sama.

Sejak itu, setiap aku pulang menjelang senja, mereka selalu menunggu di depan rumah. Ayah akan berkata, "Ibumu khawatir lagi," sambil tersenyum nakal, lalu menambahkan, "tapi aku bisa meyakinkannya."

Aku tahu mereka sama-sama bangga, sekaligus takut kehilangan.

Semuanya terasa aman… hingga hari itu tiba.

Hari di mana aku pulang dari tugas bersama tim.

Langkah kakiku ringan waktu melewati jalan desa. Udara sore terasa hangat, anak-anak berlarian sambil tertawa, dan bau roti panggang dari rumah-rumah membuatku lapar. Aku sudah tak sabar ingin pulang… ingin melihat ibu, ingin mendengar suara ayah, ingin makan bersama lagi.

Bapak Etgar yang berada di sebelah menepuk pundakku sambil tersenyum lebar.

"Nak, hati-hati ya. Kali ini aku tidak bisa mengantarmu. Istriku mau lahiran," katanya dengan tawa yang renyah, meski matanya lelah.

Aku hanya mengangguk. "Baik, Pak Etgar."

Wanita penyembuh yang selalu mendampingi kami ikut menoleh, senyumnya lembut seperti biasa."Kalau begitu, biar aku saja yang mengantar Genshiki pulang. Anggap saja sekalian mampir," katanya ringan. dan bapak etgar setuju. tapi Aku tak pernah mengira… kalimat itu akan menjadi kata terakhirnya untukku hari itu.

Kami berjalan beriringan, dan aku berlari lebih dulu dengan hati ringan.

Tapi begitu sampai di halaman rumah… dunia seketika runtuh.

Ayah.

Tubuhnya tergeletak di depan rumah, bersimbah darah.

Tanganku gemetar saat aku berlutut, mencoba memeluknya, berharap ada sisa napas, berharap ini hanya mimpi. Tapi dinginnya tubuh itu lebih jujur daripada harapanku.

"Ayah…" suaraku pecah, aku tak sanggup menerima kenyataan dengan usiaku yang masih polos itu.

Tangan ku masih gemetar, aku teringat ibu, ibu tidak ada disini.

Aku menjerit, mencari ibuku. "Ibu! Ibu, di mana!?"

Aku menerobos masuk, melihat pintu kamar, dapur namun tak ada ibu disana, hingga akhirnya Aku ke halaman belakang. Dan di sanalah aku melihat Kejadian yang tak pernah aku lihat sebelumnya, tepat di depan mataku sendiri.

Ibu, di tusuk oleh iblis tepat di dadanya.

Matanya masih berusaha menatapku, penuh kasih walau nyawanya menipis.

Dengan sisa napasnya ia berkata meski suaranya sangat lemah, "Maaf Nak… Ibu tak bisa menemanimu lebih lama… tapi ingat… kau adalah cahaya kami… teruslah jadi penerang…"

Lalu kelopak mata ibu mulai tertutup perlahan.

"Ibu…" suaraku tersendat. Dada terasa kosong, lalu berganti jadi jeritan marah.

Iblis itu menoleh padaku, mata merahnya berkilat, dan dalam sekejap mengayunkan cakar ke arahku.

Tapi sebuah tubuh mendorongku ke samping. Seorang pemburu iblis menahan serangan itu—hanya untuk menerima tusukan maut di dadanya sendiri. Darah muncrat dari mulutnya, tapi ia masih sempat berbisik lirih,

"Lari… kau harus lari…"

Dan seketika kepalanya terpenggal oleh tebasan iblis.

Aku membeku. Dunia terasa runtuh berkali-kali.

Lalu, dari sudut pandangku yang buram oleh air mata, aku melihat wanita penyembuh itu—dia berlari dari arah jalan desa, wajahnya panik begitu melihat rumahku diserang.

"GENSHIKI!!!" teriaknya.

Ia segera melemparkan mantra pelindung ke arahku, cahaya putih sempat menahan satu serangan iblis. Namun, tubuhnya sendiri yang jadi sasaran iblis lain yang ada di sana. Cakar hitam menembus perutnya. Darah mengalir membasahi gaunnya.

Dengan napas tersengal, ia sempat tersenyum padaku, senyum yang sama lembutnya seperti setiap kali ia mengobatiku. seakan ingin mengatakan sesuatu. bibirnya bergetar, tapi tak ada suara yang sempat terdengar.

Lalu perlahan tubuhnya jatuh ke tanah, cahaya perlindungannya ikut lenyap.

Aku menjerit lagi, lebih keras dari sebelumnya.

Segala rasa bercampur: duka, marah, ingatan samar dari kehidupanku di Bumi—semuanya menumpuk jadi satu.

"BERHENTI!!!" aku meraung, suara kecilku dipenuhi getaran emosi yang bahkan aku sendiri tak mengenalnya.

Sesuatu pecah di dalam diriku.

Dengan tangan kosong, aku mulai membantai mereka. Satu, dua, lima, sepuluh… lebih dari lima puluh iblis jatuh di hadapanku. Aku tak lagi merasakan sakit, hanya amarah yang menelan segalanya.

Setiap pukulan, setiap sobekan, seolah seluruh semesta sedang menolak kebahagiaanku.

Saat yang terakhir roboh, aku merebut pedang dari tubuh pemburu iblis yang telah menyelamatkanku.

Dengan pedang itu, aku menusuk iblis terakhir, menatap matanya hingga hampa.

Dan entah bagaimana—aku melihat sesuatu. Seperti kilatan pengetahuan asing yang menusuk pikiranku.

Aku tahu… dari mana mereka berasal.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tapi di saat itu juga, aku merasa… dunia ini bukan satu-satunya. Dan ternyata aku benar."

Saat pedang menembus iblis terakhir, sesuatu di dalam diriku pecah.

Retakan gelap muncul di udara, seolah dunia sendiri tidak sanggup menahan keberadaanku. Dalam sekejap, cahaya dan kegelapan bercampur…

Darah masih menetes dari tanganku ketika aku melangkah ke arah gerbang yang terbuka di udara. Retakan gelap itu menyedotku masuk, dan di sanalah aku menyaksikan—

Dua penjaga raksasa, tinggi mereka lima belas meter, tombak bersilang menghadangku.

Aku tak bicara. Aku hanya mengangkat tangan, dan sihir meledak dari atas. Kedua penjaga runtuh bagai boneka kayu, dan pandangan mataku jatuh ke depan.

Di balik mereka, terbentang barisan tentara iblis—ratusan ribu di tengah, puluhan ribu di kiri dan kanan. Tinggi rata-rata dua meter, wajah mereka mengerikan, taring panjang, mata liar. Mereka seolah memberi kode kepada teman mereka kalau ada seorang penyusup.

Aku menggenggam pedang erat-erat. Tatapanku kosong. Hatiku hanya menyisakan satu hal: membantai.

Aku melangkah ke tengah lautan pasukan iblis. Wujud mereka tidak berarti apa-apa di mataku. Satu ayunan pedang—dan puluhan kepala melayang. Darah hitam memercik ke wajahku, tapi aku tidak peduli.

Namun, jumlah mereka bagaikan ombak tanpa akhir. Pedang di tanganku retak, lalu patah.

Aku terdiam sejenak, lalu membuka mulut.

Mantra keluar begitu saja, tak pernah kupelajari, tapi seolah mengalir dari dalam jiwaku. Cahaya sihir menyelubungi tubuhku—dan dalam sekejap, ratusan iblis lenyap tanpa suara, terhapus dari eksistensi.

Aku mulai melangkah kedepan dan terus maju. Gerbang besar menjulang di depanku, setinggi tiga puluh lima meter, terbuat dari batu hitam berlumur ukiran merah menyala. Aku mendorongnya terbuka, dan aroma busuk menyambutku.

Di dalam, aula istana yang megah namun kelam terbentang. Para petinggi iblis berdiri tegap, pelayan mereka meringkuk di lantai, seolah takut bernapas. Dan di singgasana paling ujung, duduk sosok yang tidak mungkin salah kutebak: Raja Iblis.

Tingginya dua puluh meter, tubuhnya seperti bangunan yang hidup. Aura kegelapan mengalir deras dari tubuhnya, menekan dadaku. Ia menatapku, lalu suara beratnya bergema di seluruh ruangan.

"Kenapa ada manusia di sini…?"

Aku tidak menjawab. Aku hanya tertawa sekeras kerasnya. Tawa yang asing bahkan di telingaku sendiri. Para petinggi-petinggi iblis terkejut dan gemetar, dan untuk pertama kalinya, sang Raja Iblis berdiri dari kursinya. Langkahnya membuat istana berguncang. Para pelayan pingsan karena ketakutan.

Aku mengangkat tangan.

Sihir ciptaanku sendiri muncul—energi asing, padat, lebih tajam dari pedang manapun. Rasanya seperti menginjak semut di jalanan.

Dan di hadapan kekuatan itu, tubuh sang Raja Iblis—yang dikagumi, ditakuti, disembah—runtuh menjadi debu.

Keheningan menyelimuti istana.

Lalu, dari abu Raja Iblis itu, muncul cahaya hitam pekat. Cahaya itu menggumpal, membentuk sebuah pedang. Perlahan, ukuran pedang itu mengecil, menyesuaikan tubuhku. Tanganku terulur, menggenggamnya. Aura gelap melilit di sekitarnya, dingin, tapi terasa… benar.

Pedang itu kutaruh dalam Void Sheath, sarung hampa yang hanya bisa kubuka sendiri. Dan aku tahu, itu kekuatan yang aku dapatkan di dimensi ini.

Aku terus maju.

kini… .jika aku menginginkannya, aku hanya perlu menggerakkan tangan kananku. Retakan sihir akan terbuka di udara, gagang pedang itu muncul, dan Sekali tarikan—senjata itu sudah tergenggam.

Aku mulai pergi antar dimensi untuk mengalahkan raja iblis sampai dimensi luar sekalipun, luas satu dimensi itu setara sepuluh multiverse namun setiap meter langkah setara satu juta tahun cahaya di dunia pertamaku.

Aku menyeberangi dimensi demi dimensi.

Satu demi satu Raja Iblis tumbang di tanganku.

Dari puluhan raja iblis, aku hanya mendapatkan tujuh pedang, masing-masing dengan aura yang berbeda dan membawa bisikan gelap yang harus kusenyapkan.

Pedang-pedang itu… tujuh bilah yang kusembunyikan dalam Void Sheath, bersemayam tenang dalam kehampaan. Hanya aku yang bisa memanggilnya, hanya aku yang tahu betapa berat beban yang mereka bawa.

Kadang, ketika jemariku hampir menyentuh gagang mereka, aku merasakan bisikan. Suara asing yang mencoba merayap ke dalam pikiranku, membisikkan kemarahan, kekuasaan, atau godaan untuk menghancurkan segalanya. Tapi aku selalu menutup telinga batinku. Aku tahu, jika aku menyerah, aku akan jadi sama seperti iblis yang kubantai.

Aku berjalan melewati waktu-waktu tapi satu hal yang tidak pernah berubah: luka di hatiku.

baik sebelum aku berada disini maupun dibumi.

Semuanya membekas dan tidak akan pernah pudar, bahkan lebih jelas dari cahaya matahari.

Dan setiap kali aku mengingat itu, aku sadar: aku tidak bisa kembali jadi genshiki yang seperti orang kenal di sekolah dulu waktu di bumi maupun anak kecil yang polos disini.

dunia menuntutku jadi harapan, sekalipun hatiku hancur berkeping-keping.

Aku sering bertanya pada diriku sendiri, apakah ini takdir? Atau hanya kebetulan kejam semesta?

Tapi kemudian, suara mereka yang pernah menasehati terngiang lagi di kepalaku.

Mungkin, memang aku tidak punya pilihan lain. Aku harus terus maju.

Bukan karena aku ingin… tapi karena jika aku berhenti, semua yang sudah mati untukku akan sia-sia.

Maka, aku berdiri di sini, dengan tangan yang pernah berlumuran darah, dengan mata yang pernah menatap langsung kegelapan terdalam, dan dengan hati yang masih belajar untuk tidak tenggelam.

Aku terdiam.

Kedua tanganku menggenggam kusen jendela, mataku hampa menatap langit berbintang. Semua kenangan itu—darah, teriakan, wajah mereka semua, senyum mereka semua. masih berputar di kepalaku, jelas seolah baru terjadi kemarin.

Angin malam mulai masuk melalui jendela yang terbuka. Udara dingin menyentuh wajahku, membawaku kembali ke diriku yang sekarang.

Dadaku terasa sesak.

Bukan karena aku masih menangis… tapi karena aku sudah tak mampu lagi menangis.

Tangisku terkubur bersama mereka.

Yang tersisa hanyalah kekosongan.

Kekosongan yang selalu menempel di hatiku, tak peduli berapa lama waktu berlalu.

Aku menghela napas panjang.

Tanganku perlahan terangkat ke samping.

Retakan sihir tipis terbuka, samar bercahaya. Dari sana, gagang pedang hitam muncul—senjata yang selalu mengingatkanku siapa aku sekarang.

Pedang itu bergetar pelan, seolah merespons emosiku. Aura gelapnya samar menyelimuti kamar.

Aku menatapnya sebentar, lalu mengembalikannya ke Void Sheath.

Menutup retakan.

Seolah semua itu hanya bayangan.

setiap kali aku menutup mata, bayangan lama itu kembali. Luka yang bahkan waktu pun enggan menyembuhkannya.

[Selesai]

More Chapters