Bangunan markas petualang menjulang megah di tengah hiruk-pikuk kota. Dindingnya tebal dari batu abu-abu, dipenuhi bendera lusuh dengan lambang pedang dan sayap. Dari luar, tempat itu lebih mirip benteng kecil ketimbang markas petualang. Namun begitu pintu kayu raksasa berderit terbuka, suasana di dalam langsung kontras—riuh, penuh tawa, suara gelas beradu, dan dentingan koin yang mengalir di meja judi.
Di lantai bawah, puluhan petualang bercampur jadi satu. Ada yang mabuk sambil menyanyikan lagu perang, ada yang pamer bekas luka pada teman-temannya, ada pula yang menawar misi di papan pengumuman dengan suara gaduh. Aroma sup panas, bir pahit, dan keringat bercampur jadi satu—campuran khas tempat berkumpulnya para petarung.
Namun di lantai dua, suasana berbeda total. Lebih sunyi, hanya ada lorong panjang dengan deretan kamar sederhana. Di salah satunya, tubuh Genshiki terbaring. Jendela setengah terbuka, membiarkan cahaya sore masuk dan menimpa wajahnya.
Wanita yang membawanya tadi—rambut hitam sebahu, sorot mata teduh—duduk di samping ranjang. Ia merendam kain di baskom air, memerasnya perlahan, lalu meletakkannya di kening Genshiki. Nafas pemuda itu berat, tapi teratur.
"Ayah, apakah dia akan baik-baik saja?" tanya wanita itu cemas.
Pria paruh baya berambut putih, yang berdiri bersandar di ambang pintu, mengangguk tenang. Sorot matanya tajam, tapi bibirnya tersenyum tipis. "Anak muda ini hanya kelelahan. Dia butuh waktu, bukan belas kasihan. "
Sang wanita menunduk, wajahnya sedikit memerah. "Baiklah, Ayah…"
Ia kembali menatap wajah Genshiki.
"Entah kenapa… aku merasa pernah melihat wajah seperti ini. Tapi… di mana ya?" bisiknya sambil membasuh keningnya. Lalu, buru-buru menggeleng. "Mungkin hanya khayalanku."
Ia merawat Genshiki dengan penuh perhatian. Sesekali menatap wajahnya lekat-lekat.
Dari kejauhan, sang ayah mengamati keduanya. Tatapannya dalam, seolah membaca rahasia dari bayangan. "…Jadi ini anak muda yang kulihat hari itu," gumamnya. "Berjalan sendirian ke tengah kota, saat semua orang berlari menjauh. Tapi… untuk apa?"
---
Tiga hari berlalu.
Suasana markas tak pernah sepi—tawa, jeritan, bahkan pertengkaran kecil sesekali terdengar dari bawah. Namun di kamar lantai dua itu, hanya ada keheningan, diiringi bunyi jarum jam tua di dinding.
Di ranjang, Genshiki perlahan membuka mata. Cahaya redup menembus jendela, membuat pandangannya buram. Lidahnya kering, tenggorokannya perih.
"Di… mana ini…?" suaranya parau, hampir tak terdengar. Ia menatap langit-langit asing dengan bingung. "Apa… aku sudah di rumah…?"
Pintu berderit terbuka. Wanita itu masuk sambil membawa kain basah baru. Begitu melihat Genshiki terjaga, ia terdiam sejenak—lalu matanya membesar.
"Eh? Kau… kau sudah sadar!" ucapnya, suara bergetar antara lega dan panik. Air matanya jatuh tanpa ia sadari. "Syukurlah…"
Ia mengusap wajahnya sendiri dengan tergesa, bingung kenapa menangis. "Eh… kenapa aku…?" gumamnya, tapi tak bisa menjawab pertanyaan itu sendiri.
Genshiki hanya menatapnya. Sorot matanya kosong, dingin, seperti mata seseorang yang sudah terlalu lama menatap kehampaan. Ia mencoba bangun, tapi tubuhnya berat. Detik berikutnya, perutnya mulai berbunyi.
Wanita itu tersenyum tipis. "Kau lapar, kan? Tunggu sebentar, aku bawakan makanan."
Ia bangkit dengan cepat, menyembunyikan wajahnya yang masih berair mata, lalu keluar kamar.
---
Wanita itu turun ke dapur.
Di dapur lantai bawah, adik perempuannya sedang menyiapkan makanan untuk para petualang. Gadis itu lebih muda, rambut dikuncir tinggi, wajah ceria penuh rasa ingin tahu. Begitu melihat kakaknya masuk terburu-buru, ia melirik curiga.
"Kak, bukannya tadi kamu sudah makan?" tanyanya sambil mengaduk sup.
"Eh? I-ya, tapi… aku lapar lagi," jawab sang kakak gugup.
Adiknya menyipitkan mata, lalu tersenyum nakal. "Ehh? Jangan-jangan ini demi pria tampan yang kau rawat itu?"
"B-bukan!" wajah kakaknya langsung merah padam. "Ini… punyaku sendiri!"
"Hmhm… baiklah. Ambil saja. Tapi habis itu bantu aku, ya. Malam ini pasti ramai petualang yang datang."
"Ya, ya, aku bantu," sahutnya buru-buru, menyambar semangkuk makanan panas.
---
Ia kembali ke kamar, membuka pintu pelan. Genshiki masih berbaring, menatap langit-langit kosong.
"A-anu… ini," ucapnya sambil menyodorkan mangkuk. "Makanlah kalau kau lapar."
Tatapan Genshiki beralih padanya. Senyap sejenak. Lalu ia meraih mangkuk itu perlahan, tanpa sepatah kata pun, dan mulai makan. Gerakannya tenang, tapi dingin—seolah rasa syukur sudah lama hilang dari dirinya.
Wanita itu menunggu sejenak, berharap ia akan bicara. Tapi tak ada suara keluar selain bunyi sendok menyentuh mangkuk.
"Kalau kau butuh sesuatu… panggil saja, ya," katanya lembut, berusaha menembus dinding diam itu.
Namun Genshiki tetap diam. Hanya tatapan kosong, dingin, seolah kata-kata itu tak mampu menembus dinding di dalam dirinya.
wanita itu lalu pergi buru-buru menuju ke tempat adiknya.
Di ambang pintu, bayangan sang ayah kembali muncul. Tatapannya dalam, seolah mencatat setiap gerak pemuda itu. Ada sesuatu pada Genshiki yang membuatnya waspada… dan penasaran.
Bersambung>