LightReader

Chapter 5 - BAB 4: PECAHNYA BINTANG PERTAMA

Tiga tahun telah berlalu sejak Rian pertama kali menginjakkan kakinya di halaman penuh pedang karatan milik Soran. Kini, di usianya yang menginjak tiga belas tahun, transformasi fisik yang dialami remaja itu benar-benar mencolok. Sosok bocah liar yang merangkak dan menggeram seperti serigala telah sirna seutuhnya. Rian kini berdiri tegak dengan postur tubuh yang ramping namun padat; otot-ototnya tidak besar dan menonjol seperti kuli angkut, melainkan serat-serat otot yang keras dan elastis bagaikan kawat baja yang dipilin. Rambut hitamnya yang dulu berantakan kini diikat rapi ke belakang dengan seutas tali kulit, memperlihatkan garis wajah yang semakin tegas dengan rahang yang kuat. Namun, yang paling menonjol tetaplah matanya—permata biru jernih yang kini lebih sering terlihat tenang seperti permukaan danau, meskipun di kedalamannya tersimpan ketajaman yang sanggup menguliti jiwa siapa pun yang menatapnya.

Rian berdiri mematung di tengah aliran air terjun kecil yang membelah tebing batu di belakang gubuk. Suara gemuruh air yang jatuh menghantam bebatuan menciptakan musik alam yang memekakkan telinga, sementara uap air dingin menyelimuti tubuhnya yang bersimbah keringat. Di tangannya, ia menggenggam pedang kayu hitam pemberian Soran. Selama tiga tahun terakhir, pedang itu telah menjadi bagian dari tubuhnya. Ia membawanya saat makan, saat berlatih, bahkan saat tidur. Pedang itu kini tidak lagi bersih; permukaannya penuh dengan bekas goresan dan benturan, namun beratnya yang tidak masuk akal tetap menjadi pengingat harian akan kelemahan Rian.

"Fokus, Rian! Jika kau hanya menggunakan matamu untuk melihat aliran air itu, kau hanya akan melihat kehancuran. Rasakan keberadaannya, jangan hanya menghakiminya!" suara Soran terdengar malas, namun bergema di tengah gemuruh air terjun.

Pria pemabuk itu duduk di atas dahan pohon Cedar raksasa yang menjorok ke arah sungai. Ia masih tampak sama—kemeja lusuh, botol arak di tangan, dan sikap acuh tak acuh yang menyebalkan. Namun, matanya yang setengah terpejam sebenarnya sedang memperhatikan setiap mikron pergerakan mana di dalam tubuh muridnya.

Rian menarik napas panjang. Sirkulasi The Great Breath of Aethel bekerja di dalam paru-parunya dengan ritme yang sudah mendarah daging. Selama tiga tahun ini, ia telah melakukan segalanya. Ia telah memindahkan ribuan batu, mengayunkan pedang hingga tangannya mati rasa, dan bermeditasi di bawah salju. Namun, ia tetap tertahan di ambang pintu. Ia adalah seorang praktisi bintang ke-0. Benih mana di Dantiannya sudah sangat besar dan padat, namun ia menolak untuk mengeras menjadi sebuah kristal bintang yang stabil.

Frustrasi adalah kata yang paling tepat menggambarkan perasaan Rian saat ini. Ia tahu dari cerita-cerita Soran yang sering mengejeknya bahwa di Kerajaan Aethelgard, anak-anak bangsawan seumurannya biasanya sudah mencapai 2 Star Core. Mereka adalah para "jenius" yang memulai latihan sejak umur tujuh tahun dengan jalur mana yang masih lembut dan bersih. Sementara Rian? Ia memulai di umur sepuluh tahun dengan jalur mana yang sudah "membeku" dan tersumbat oleh penggunaan teknik Septem yang liar selama satu dekade. Ia merasa seperti pelari yang harus berlari dengan kaki yang dirantai, mencoba mengejar mereka yang terbang dengan sayap.

"Aku... sudah mencoba, Soran," jawab Rian, suaranya kini dalam dan stabil, tanpa nada gemetar sedikit pun. "Tapi setiap kali aku mencoba memadatkan mana ini, rasanya seperti mencoba menekan air ke dalam pipa besi yang sudah mampet oleh karat. Jalur manaku sakit, Guru. Rasanya seperti terbakar dari dalam."

Soran melompat turun dari dahan pohon, mendarat di atas permukaan air sungai seolah-olah air itu adalah lantai padat. Ia berjalan mendekati Rian tanpa membuat riak sedikit pun. "Tentu saja sakit, bodoh. Kau mencoba membersihkan pipa besi yang sudah berkarat selama sepuluh tahun hanya dengan aliran air kecil. Kau tidak butuh aliran air, kau butuh ledakan. Kau butuh tekanan yang begitu besar sehingga entah pipa itu akan bersih seutuhnya, atau kau akan meledak bersamanya."

Soran memungut sebuah ranting pohon yang mengapung di air. "Ayo. Berhenti mengeluh tentang rasa sakit. Di dunia ini, rasa sakit adalah satu-satunya guru yang tidak pernah berbohong. Jika kau tidak bisa merasakan tekanan kematian di lehermu, kau tidak akan pernah bisa memecahkan dinding itu. Serang aku sekarang. Gunakan segala yang kau pelajari selama tiga tahun ini. Dan ingat satu hal... jika aku melihat sedikit saja kilatan biru teknik Septem di matamu, aku akan mematahkan kedua tanganmu dan memberimu makan melalui lubang hidung selama setahun. Mengerti?"

Rian tidak menjawab. Ia hanya mengencangkan genggamannya pada pedang kayu hitamnya. Ia tahu Soran tidak pernah bercanda dengan ancamannya. Ia menarik napas dalam, membiarkan oksigen murni hutan memenuhi setiap alveolus di paru-parunya. Tiba-tiba, aura Rian berubah. Ketentangan yang ia miliki selama latihan tadi berganti menjadi niat membunuh yang tajam namun terkendali.

Wush!

Dalam sekejap, Rian melesat. Gerakannya kini tidak lagi menyerupai serigala liar, melainkan gerakan ksatria yang penuh perhitungan. Ia mendekat ke arah Soran dalam tiga langkah besar, menciptakan ledakan air di setiap pijakannya. Pedang kayu hitamnya menebas secara vertikal dari atas kepala, sebuah serangan sederhana namun membawa beban ribuan ayunan yang ia lakukan setiap hari.

Soran hanya tersenyum tipis. Ia menggeser tubuhnya satu sentimeter ke samping, membiarkan pedang Rian membelah udara di tempat ia berdiri tadi. Ranting pohon di tangannya bergerak seperti bayangan, memukul pergelangan tangan Rian dengan suara plak yang keras.

"Terlalu lambat! Kau masih berpikir tentang bagaimana cara menggerakkan tanganmu! Kau seharusnya menjadi gerakan itu sendiri!" ejek Soran. "Mana-mu tertahan di Dantian karena kau takut jalurmu akan pecah! Kau takut pada rasa sakit! Seorang ksatria yang takut sakit tidak lebih dari sekadar badut berpakaian zirah!"

Rian menggeram, rasa panas mulai menjalar dari perutnya ke seluruh tubuhnya. Ia memutar tubuhnya, meluncurkan serangan horizontal yang mengincar pinggang Soran. Namun, pria itu dengan mudah menangkis pedang kayu berat itu hanya dengan menggunakan ranting pohon tipisnya. Benturan itu menciptakan suara yang tidak logis—seolah-olah dua bilah baja sedang bertabrakan.

"Kenapa? Apa kau mulai merasa putus asa?" Soran terus memprovokasi, suaranya menusuk telinga Rian di tengah gemuruh air terjun. "Lihatlah dirimu, sudah tiga tahun dan kau tetaplah sampah yang tidak punya bintang. Mungkin Kyuden salah. Mungkin kau memang hanyalah kutukan yang tidak berguna. Kenapa tidak kau aktifkan saja mata itu? Lihat rasioku, potong aku, dan jadilah pemenang palsu yang hanya bisa mengandalkan bakat lahiriah!"

"DIAM!" teriak Rian.

Kemarahan meledak di dalam sanubarinya. Bukan kemarahan kepada ejekan Soran, melainkan kemarahan kepada ketidakberdayaan dirinya sendiri. Ia merasa seolah-olah seluruh dunia menertawakan keterlambatannya. Benih mana di Dantiannya mulai berputar dengan kecepatan yang menakutkan, menciptakan pusaran energi yang menyedot mana dari atmosfer di sekelilingnya secara liar.

Jalur mananya yang tersumbat mulai terasa bergetar hebat. Rasa sakit itu datang, lebih hebat dari sebelumnya. Rasanya seperti ada cairan logam panas yang dipaksa masuk ke dalam pembuluh darahnya. Rian menutup matanya rapat-rapat. Ia bersumpah dalam hati; ia tidak akan menggunakan teknik Septem. Ia tidak akan membiarkan matanya menentukan takdirnya. Ia ingin menjadi kuat karena usahanya, karena penderitaannya.

Duk! Duk! Duk!

Jantungnya berdetak dengan irama yang mengerikan. Rian merasakan dinding tak kasat mata di dalam Dantiannya—sebuah penghalang yang selama tiga tahun ini mengurung energinya. Dinding itu retak. Tekanan di dalam dirinya mencapai titik didih.

"Mati... atau pecah!" desis Rian dengan suara serak.

Tiba-tiba, sebuah suara dentingan kristal yang pecah bergema di dalam kesadarannya. Itu adalah suara paling indah yang pernah ia dengar. Dinding penghalang itu hancur berkeping-keping. Benih mana yang tadinya cair dan liar, tiba-tiba memadat dengan tekanan jutaan ton, mengkristal menjadi sebuah bentuk yang sempurna.

BOOM!

Sebuah gelombang kejut energi berwarna biru safir meledak dari tubuh Rian sebagai pusatnya. Air sungai di sekelilingnya terlempar ke udara, menciptakan dinding air setinggi lima meter yang memutar. Tekanan udara di tempat itu mendadak menjadi sangat berat. Di dalam Dantian Rian, sebuah kristal berbentuk bintang enam sudut bersinar dengan cahaya yang sangat murni dan tajam.

Star Core Pertama.

Mata Rian terbuka lebar. Tidak ada garis biru Septem yang muncul kali ini. Namun, pupil matanya kini dikelilingi oleh cincin cahaya biru safir yang memancarkan kewibawaan. Ia melihat Soran yang sedang bersiap memukulnya dengan ranting. Kali ini, Rian tidak "melihat" struktur dengan matanya. Ia "merasakan" struktur dunia melalui mana yang kini meluap dari tubuhnya dan menyelimuti pedang kayunya.

Rian mengayunkan pedang kayu hitamnya. Gerakannya sangat lambat di matanya, namun di dunia nyata, itu hanyalah kilatan biru yang membelah udara.

Srak!

Ranting di tangan Soran tidak terpotong, melainkan hancur menjadi debu halus yang langsung menguap. Bukan karena ketajaman pedang, tapi karena kepadatan mana yang melapisi pedang Rian begitu tinggi hingga ia menghancurkan integritas molekul ranting tersebut saat bersentuhan.

Keheningan seketika menyelimuti tempat itu. Hanya suara air terjun yang kembali jatuh menghantam bebatuan yang terdengar. Rian berdiri terengah-engah, uap panas keluar dari pori-pori kulitnya seperti kabut. Pedang kayu hitamnya kini memancarkan cahaya redup kebiruan, menandakan bahwa ia telah benar-benar terhubung dengan jiwa penggunanya.

Soran berdiri di depan Rian, menatap tangannya yang kini hanya memegang sisa debu kayu. Ia terdiam cukup lama, sebelum akhirnya sebuah tawa rendah keluar dari tenggorokannya. Tawa itu perlahan menjadi tawa terbahak-bahak yang terdengar sangat lega dan bangga.

"Hahaha! Tiga belas tahun... Satu Star Core!" Soran menepuk pundak Rian, kali ini dengan tangan yang stabil. "Kau tahu, Rian? Di luar sana, anak bangsawan mungkin mencapai level ini di umur sembilan atau sepuluh tahun. Mereka merayakannya dengan pesta mewah dan pujian setinggi langit. Tapi bintang mereka biasanya pucat, rapuh, dan kotor karena dibentuk dengan bantuan ramuan-ramuan sihir dan mana dari orang lain."

Soran menunjuk ke arah perut Rian. "Tapi bintangmu... warnanya biru safir murni. Itu adalah hasil dari menempa pipa berkarat selama tiga tahun tanpa bantuan siapa pun kecuali rasa sakitmu sendiri. Kepadatan mana di dalam satu bintangmu ini mungkin setara dengan tiga bintang milik para 'jenius' palsu itu. Kau memulai terlambat, tapi kau memulai dengan fondasi yang sepuluh kali lebih kuat."

Rian merasakan kelegaan yang luar biasa. Rasa sakit di jalur mananya kini hilang, digantikan oleh rasa sejuk yang mengalir ke seluruh tubuh, menyembuhkan luka-luka lecetnya secara instan. Ia merasa seolah-olah ia baru saja lahir kembali ke dunia ini.

"Aku... sudah menjadi Knight?" tanya Rian, suaranya masih sedikit gemetar karena sisa adrenalin.

"Ya, kau resmi menjadi 1-Star Knight sekarang," jawab Soran sambil berjalan menuju gubuknya. "Meskipun bagi master berumur seratus tahun sepertiku kau masih tetaplah kutu kecil, setidaknya kau sudah punya modal untuk bertahan hidup. Kau sudah membuktikan bahwa kau bisa menang tanpa harus mengandalkan 'kutukan' di matamu."

Soran berhenti di ambang pintu gubuk dan menoleh. "Oh, aku hampir lupa. Sebagai hadiah karena kau tidak mati saat memecahkan bintangmu, masuklah. Aku sudah membelikanmu celana ksatria yang baru di kota perbatasan minggu lalu. Celana yang kau pakai sekarang itu lebih mirip serbet dapur daripada pakaian manusia. Seorang murid ksatria agung tidak boleh terlihat seperti gembel hutan."

Rian menatap celananya yang memang sudah hancur tercabik-cabik. Ia tersenyum kecil, sebuah senyuman yang jarang terlihat di wajahnya yang kaku. Ia memungut pedang kayu hitamnya dan berjalan mengikuti Soran dengan langkah yang kini jauh lebih ringan dan berwibawa.

"Soran," panggil Rian.

"Apalagi? Mau minta pelukan?"

"Lima tahun lagi... aku akan berumur delapan belas. Aku ingin tahu, berapa bintang yang harus kupunya agar aku bisa berdiri sejajar dengan mereka di Akademi nanti?"

Soran menatap langit senja yang kini berwarna ungu kemerahan, memberikan kesan magis pada Silvaris Aeterna. "Target kita tetap sama, Bocah. 4 Star Core. Ingat, setiap bintang berikutnya akan sepuluh kali lebih sulit daripada yang pertama. Jika kau bisa mencapai 4 Star Core dengan kemurnian safir di umur delapan belas, kau bukan lagi sekadar ksatria. Kau akan menjadi bencana bagi siapa pun yang berani meremehkanmu."

Rian menggenggam gagang pedangnya erat-erat. Cahaya biru safir di dalam Dantiannya terus berdenyut, seirama dengan detak jantungnya. Ia tahu bahwa meskipun ia memulai di garis start yang jauh di belakang orang lain, ia baru saja membuktikan bahwa ia bisa berlari lebih cepat dan lebih kuat dari siapa pun. Perjalanan menuju 4 Star Core telah dimulai, dan Rian siap untuk menghancurkan setiap dinding yang mencoba menghalanginya.

More Chapters