LightReader

Chapter 29 - Bab 31 (Alkein-Ruhosi)

Bab 31 – Gema di Kolam Kenangan

Ruhosi duduk bersila di tepi Kolam Kenangan yang airnya tenang laksana cermin raksasa. Sinar matahari menari-nari di permukaannya, menciptakan kilauan yang seolah menyimpan rahasia. Elara duduk tak jauh darinya, di bawah naungan pohon berbunga biru lembut, mengamati dengan napas tertahan. Penala Jiwa di leher Ruhosi memancarkan getaran hangat yang merambat ke seluruh tubuhnya.

Mengikuti instruksi Tetua Elarael, Ruhosi memejamkan mata. Ia mencoba mengusir bayangan monster sosis atau ide-ide jahil yang biasanya berloncatan di kepalanya. Ia fokus pada keheningan Taman Kuno, pada aroma lumut dan bunga-bunga purba, pada bisikan angin yang menyapu lembut dedaunan.

Perlahan, sangat perlahan, permukaan Kolam Kenangan dalam benaknya mulai beriak. Bukan riak air biasa, tapi riak waktu.

Awalnya hanya warna-warni kabur, seperti cat air yang tumpah. Lalu, suara-suara samar mulai terdengar—bukan lagi bisikan akar seperti di Hutan Valdoria, tapi lebih seperti dengungan melodi kuno, nyanyian tanpa kata yang menyentuh relung jiwanya yang paling dalam.

Kemudian, kilasan-kilasan gambar mulai terbentuk, seperti mimpi yang jernih.

Ia melihat seorang wanita Elf Sylvarian. Rambutnya sehitam malam dengan beberapa helai perak yang berkilau seperti bintang, mirip dengan helai putih di rambut Ruhosi. Matanya memancarkan kecerdasan, keberanian, dan secercah kenakalan yang terasa begitu… akrab. Wanita itu bergerak dengan anggun namun lincah, kadang memanjat pohon setinggi menara dengan mudahnya, kadang tertawa lepas saat bermain dengan makhluk-makhluk hutan. Ia melihat wanita itu memegang sebuah seruling kayu sederhana, namun saat ditiup, melodinya seolah bisa berbicara dengan angin dan menenangkan badai. Itu Luthien.

Visi berganti. Luthien tampak sedang berdebat dengan beberapa tetua Elf berjubah kelabu di sebuah ruangan yang mirip dengan kediaman Tetua Elarael, namun tampak lebih kuno. Luthien menunjuk ke arah peta bintang di dinding, berbicara dengan penuh semangat tentang dunia di luar Lumina'val, tentang perlunya memahami keseimbangan antara cahaya dan kegelapan yang ada di setiap jengkal Alkein, bukan hanya berlindung dalam cahaya semata. Para tetua tampak tidak setuju, raut wajah mereka kaku.

Lalu, Ruhosi melihat Luthien berdiri di gerbang tak kasat mata Lumina'val, mirip dengan yang ia lewati semalam. Ia mengenakan jubah pengelana sederhana, senyum sedih namun penuh tekad terukir di bibirnya. Ia melambaikan tangan pada beberapa sosok Elf muda yang menangis, lalu berbalik dan melangkah pergi, menuju hutan belantara yang liar.

Sebuah perasaan kehilangan yang aneh menyergap Ruhosi, seolah ia sendiri yang menyaksikan kepergian itu.

Visi terakhir menunjukkan Luthien berada di sebuah hutan yang gelap, namun tidak menakutkan. Ia duduk bermeditasi di antara akar pohon raksasa, dan di sekelilingnya, energi cahaya dan bayangan tampak berputar harmonis, menyatu dengan alam. Ia melihat Luthien menyentuh sebuah bunga malam yang hampir layu, dan dari tangannya mengalir energi hijau keemasan yang sama seperti yang kadang Ruhosi rasakan dari Kunci Kehidupan dalam dirinya, membuat bunga itu kembali segar. Kemudian, Luthien mendongak, seolah menatap langsung ke arah Ruhosi yang tak terlihat, dan tersenyum—senyum yang penuh pengertian dan harapan.

"Jalanmu… adalah jalanmu…" sebuah bisikan lembut, suara Luthien, terdengar di benak Ruhosi, sebelum semua visi itu memudar.

Ruhosi membuka matanya perlahan. Napasnya sedikit terengah. Ia menatap permukaan Kolam Kenangan yang kini kembali tenang, namun ia tahu, sesuatu dalam dirinya telah berubah. Ada rasa haru, rasa bangga, dan juga setumpuk pertanyaan baru. Jadi, ini leluhurnya? Seorang Elf pemberani, sedikit pemberontak, dan juga penyembuh? Mirip dengannya… kecuali bagian pemberontaknya mungkin lebih besar pada dirinya.

Elara mendekat dengan hati-hati. "Ruhosi? Kau baik-baik saja? Apa… apa yang kau lihat?" Liontin matahari separuh di leher Elara berpendar lembut, seolah ikut merasakan sisa-sisa energi dari visi tadi.

Ruhosi menoleh, matanya yang biasanya selalu siap dengan celetukan jahil kini tampak lebih dalam, lebih merenung. "Aku… aku melihatnya, Elara. Aku melihat Luthien. Dia… dia keren banget."

Ia menceritakan penglihatannya pada Elara, tentang keberanian Luthien, tentang perdebatannya dengan para tetua, tentang kepergiannya, dan tentang kemampuannya menyatukan cahaya dan bayangan serta menyembuhkan.

Elara mendengarkan dengan takjub. "Jadi… benar kata Tetua. Kau memang keturunannya. Itu menjelaskan banyak hal tentangmu, Ruhosi. Aura Senjamu… mungkin itu warisan dari pemahaman Luthien tentang keseimbangan."

Ruhosi mengangguk. Ia menyentuh Penala Jiwa di lehernya. Lalu, ia mencoba merasakan sesuatu. Ia teringat bagaimana Luthien menyembuhkan bunga. Ia menatap sehelai daun yang jatuh di dekat kakinya, warnanya mulai menguning. Dengan ragu, ia menyentuhnya, mencoba memfokuskan energi hijau keemasan yang kadang ia rasakan.

Untuk sesaat, tidak terjadi apa-apa. Lalu, dari ujung jarinya, pendaran hijau yang sangat tipis, nyaris tak terlihat, muncul dan menyentuh daun itu. Warna kuning di daun itu tidak hilang, tapi seolah mendapatkan sedikit kilau kehidupan kembali. Bukan keajaiban besar, tapi… ada sesuatu.

"Wah…" Ruhosi sendiri terkejut. "Aku… aku bisa sedikit?"

Elara tersenyum lebar. "Tentu saja bisa, Ruhosi! Itu ada dalam darahmu!"

Rasa gembira yang tulus memenuhi hati Ruhosi. Ini lebih seru dari menemukan resep monster terenak sekalipun. Ini tentang dirinya.

"Kita harus memberitahu Tetua Elarael!" kata Elara penuh semangat.

Ruhosi mengangguk. Ia bangkit berdiri, merasa sedikit lebih tinggi, sedikit lebih utuh. Perjalanan di Kolam Kenangan telah memberinya lebih dari sekadar jawaban; ia memberinya sepotong jati diri yang hilang. Dan ia tahu, ini baru permulaan. Masih banyak yang harus ia pelajari tentang Luthien, tentang dirinya, dan tentang bagaimana semua ini terhubung dengan takdir Alkein.

Namun, saat mereka hendak meninggalkan Taman Kuno, Ruhosi tiba-tiba berhenti. Lensa Kabut di sakunya bergetar pelan, bukan karena ancaman, tapi benang pink keperakan yang menghubungkannya dengan Elara kini tampak sedikit lebih tebal dan berpendar lebih terang. Seolah pengalaman di Kolam Kenangan tadi juga ikut memperkuat ikatan tak kasat mata di antara mereka. Ruhosi hanya bisa tersenyum kecil melihatnya, sebuah senyum yang kali ini tidak konyol, melainkan penuh arti.

More Chapters