"Sial! Lo gak boleh lupain gua gitu aja Daniel. Gua bakalan cari tau siapa cewe yang berani nikah sama lo. Gak ada yang bisa gantiin gua!"
Luna, melemparkan apa saja yang dapat diraih di meja riasnya. Berbagai kosmetik mahal terlempar ke lantai dan pecah berserakan, membuat ruang kamarnya terlihat semakin berantakan. Amarahnya pecah sesaat setelah gadis itu memasuki kamar apartemennya.
Tangannya meraih ponselnya dan menelepon seseorang.
"Gua mau lo cari tau siapa istrinya Daniel. Dan kalau perlu cari siapa keluarganya. Gua mau sekarang!" benda pipih itu kemudian melayang ke kasur setelah sambungan telepon terputus.
"Tunggu aja Daniel, lo bakalan balik sama gua. Hanya gua yang pantas buat lo. Bukan istri lo yang sekarang ataupun orang lain dan gua bakalan hancurin cewek sialan itu" Luna berjalan menuju meja di sebelah tempat tidur dan menatap bingkai foto yang terdapat dirinya dan Daniel disana tengah berpelukan mesra.
"Jadi lo masih ngarepin si Daniel Daniel itu!" Luna kaget dan menatap ke sumber suara. Mario, mantan kekasih Luna yang saat ini berdiri dan menatapnya tajam berjalan perlahan ke arahnya membuat nyalinya seketika Ciut.
"Ma-mario, lo kok bisa ada disini. Gimana lo bisa masuk!?" Wajahnya mulai panik melihat pria itu berjalan mendekat ke arahnya.
Mario metaih foto yang sempat Luna lihat sebelumnya dan dia tersenyum miring lalu.meletakkan kembali foto itu dengan posisi terbalik. Tangan Mario mengusap rambut Luna, sementara tangannya yang satu menarik pinggang Luna menabrak tubuh kekarnya.
"Gua udah bilang, lo gak bakalan bisa lepas dari gua Luna!. Hampir setahun lo ngilang dan sekarang balik lagi. Bukan hal yang sulit bagi gua buat nemuin lo. Lagian, si Daniel itu bakalan terima cewek bekasan kaya lo? Udah deh gua emang brengsek tapi gua bakalan berubah demi lo sayang. Jadi jangan pergi dari gua dan lo harus tanggung jawab karna udah bunuh anak gua. Kita harus punya anak lagi. Iya, ayok punya anak lagi!" Mario semakin memajukan wajahnya ke Luna.
Anak! Dari awal kan lo gak mau anak itu. Jadi gak ada gunanya gua pertahanin. Gak ada salahnya gua gugurin dan gua gak sudi punya anak dari cowok gila kaya lo!" Perkataan Luna sukses membangkitkan amarah Mario.
"Cewek sialan" satu tamparan berhasil mendarat di wajah Luna, lagi rambutnya ditarik paksa oleh Mario dan beberapa pukulan melayang ke tubuhnya.
"Gua udah berusaha lembut sama lo tapi liat, lo gak ngehargai gua" Mario menarik Luna dan menghempaskan tubuh gadis itu ke atas kasur dan menindihnya.
"Cewek murahan kayak lo emang pantas dikasarin, lo senang kan gua kasarin kaya gini makanya bikin gua emosi terus. Jadi jangan harap gua berhenti sebelum gua puas"
"Berhenti Mario! Lepasin gua!!" Luna bergerak berusaha melepaskan kukungan Mario. Kedua tangannya ditahan di atas kepalanya membuat pergerakannya seketika terkunci. Mario dengan senyum licik mengeluarkan ponselnya dan memutarkan sebuah video di depan wajah Luna membuat mata gadis itu terbelalak.
"Gua punya kartu As lo. Apa yang bakalan terjadi kalau misalnya Video ini kesebar? Super model kaya lo bisa apa nanti?" Perkataan Mario membuat Luna terdiam. Rasa takut mulai menggerayangi tubuhnya. Video itu tidak boleh tersebar, Luna tidak mau karir yang susah payah dia bangun hancur begitu saja.
Video dimana dia dan Mario tengah berhubungan, Luna tidak tahu bagaimana Mario melakukan itu namun yang pasti, video itu tidak boleh tersebar kemanapun.
"Seharusnya dari awal gua gak berhubungan sama lo brengsek!!"
"Jaga mulut kotor lo ini buat hal yang lebih berguna Luna!. Salahkan diri lo yang murahan" Luna menatap Mario dengan penuh kebencian. Penyesalan terbesar yang pernah dia lakukan adalah mempercayai Mario.
"Sekarang, jadi cewek yang baik dan ayo kita bersenang-senang sayang"
Tubuh Luna terbaring lemah di karpet kamarnya dengan beberapa lebam di tubuhnya dan hanya ditutupi oleh sehelai kain. Mario meninggalkannya begitu saja ketika sudah puas bermain dengan tubuhnya, membuatnya seperti jalang yang bisa dipakai kapan saja Mario mau. Luna tidak bisa melawan karna pria itu memiliki kartu Asnya. Tangannya terkepal penuh amarah.
Tatapannya teralihkan ke arah ponselnya yang berdering tanda pesan masuk. Luna meraih benda pipih itu dan membuka pesan yang diterima. Perlahan senyuman miring terukir di bibirnya.
"Jadi ini, yang berani gantiin posisi gua. Tunggu aja lo sialan". Luna tersenyum licik sambil menatap sebuah foto yang dikirim ke ponselnya.
***
Pagi itu Nina tengah duduk di ruang makan sambil menunggu Daniel turun dari kamarnya. Tak berapa lama, Akhirnya Daniel turun dan bergabung dengan Nina.
“Good Morning” Sapa Daniel sambil mengecup kening Nina. Kebiasaan baru Daniel. Pria itu duduk di sebelah Nina yang tengah menatap layar ponselnya dengan tatapan murung.
"Kenapa? Ada yang salah?" Daniel bertanya.
"Mama ngundang buat makan malam. Rutinitas keluarga"
"So? Apa yang salah sama acara itu? Gua bisa kok, gua gak ada kerjaan tambahan hari ini."
"Gua yang gak bisa!"
"Gak bisa? Gak bisa kenapa Nina?"
"Gua kurang suka waktu semua keluarga kumpul. Keluarga gua gak seharmonis yang kelihatan, lagian gua bisa bilang kalau gua tuh sebenarnya udah gak punya keluarga sih" Daniel berpikir sebentar.
"Tapi mau gimanapun mereka udah jadi keluarga lo, lo pernah cerita kan kalau dulu Riana pernah sesayang itu ke Lo. Jadi anggap aja ini balas budi " Nina mendengus,
"Oke..." Nina mengangguk setuju dengan perkataan Daniel dan memutuskan untuk menghadiri acara itu nanti.
Acara makan malam hampir dimulai. Nina dan Daniel sudah berada di ruang restoran vip yang memang di pesan khusus untuk acara keluarga Prayoga.
Nina duduk dengan tidak nyaman di sebelah Daniel, suaminya sementara para pelayan mulai menyajikan hidangan yang akan mereka makan.
Daniel tersenyum manis saat Nina duduk di sebelahnya. Dia menyadari kenapa istrinya itu tidak nyaman disini melihat bagaimana arogannya keluarga tiri Nina.
Tangan Nina dia raih di bawah meja dan meremasnya lembut memberikan kenyamanan. Tatapan yang lembut dia berikan seolah mengatakan semua akan baik-baik saja.
Acara makan dimulai, tidak ada pembahasan yang menarik. Sudah hampir satu jam namun pembahasan disana hanya tentang kedua saudara tiri Nina. Cindy dan Farel.
"Daniel, gimana keadaan perusahan kalian? Lancar?"
"Sejauh ini lancar" jawab Daniel singkat kepada pertanyaan Ariana.
"Cindy dan Farel baru saja memenangkan tender besar untuk Pabrik kita. Tentunya karena saya bantu bimbing mereka dan mereka menurut, tidak seperti anak gadis yang satunya"
"Ma..." Nina menatap Ariana namun diacuhkan.
"Oh, saya senang mendengarnya. Semoga kedepannya semakin sukses" Daniel membalas lagi.
"Pastinya. Daripada berjualan bunga yang tidak berguna"
"Ma!"
"Kenapa Nina?, jangan meninggikan suara disini. Tidak ada sopan santun kamu. Tapi wajar, anak pembangkang seperti kamu memang sulit diajarkan sopan santun. Saya sempat berpikir bahwa tidak akan ada yang menikahi perempuan pembangkang seperti kamu. Tapi untungnya Daniel menerima kamu"
Kedua saudara tiri Nina atau Rio, Papa tirinya tidak membela sedikitpun. Mereka hanya terdiam, bahkan Kakak iparnya pun terlihat sama sekali tidak peduli padanya.
"Nina gak harus selalu menuruti semua kemauan Mama. Saya punya hak atas hidup saya!"
Brak!!,
Satu pukulan keras terdengar. Ariana Menggebrak meja di hadapannya karena Nina melawannya secara terang-terangan.
"Apa yang kamu dapat dari berjualan bunga bodoh itu hah? Suamimu pasti menahan malu dan kesusahan sama bisnis bodohmu itu. Lihat Kakak ipar kamu, berasal dari keluarga yang terhormat dan pastinya membanggakan dan gak bikin malu keluarga"
Kakak ipar Nina menatapnya dengan tatapan datar, tidak ada ekspresi.
"Saran mbak ya, mending kamu gak usah kerja lah Nina daripada jualan bunga gak jelas. Mbak Rosa aja sekarang fokus jadi istri dan Ibu yang cantik buat Kakak kamu. Setidaknya kalau dibawa keluar gak malu-maluin"
Rosa, istri dari Farel memang terlihat cantik. Ibu dari satu orang anak itu terlihat seperti masih gadis. Orang tuanya pemilik klinik kecantikan ternama, otomatis semua perawatan dirinya terjamin.
Hal itu tentu saja membuat Nina sedikit kesal, karena mereka tidak tau sebenarnya bisnis apa yang dia miliki dan dengan gampangnya mereka merendahkan usaha yang sudah Nina bangun dengan susah payah.
"Saya tidak merasa usaha istri saya sebuah hal yang memalukan. Ditambah dia adalah wanita yang mandiri dan pandai mengurus suami. Punya usaha kecil atau besar bukan hal yang gampang dan sejauh yang saya lihat, usaha itu tidak memalukan dari sisi manapun. Jadi tolong, hargai istri saya, dia juga punya perasaan!" Ucap Daniel tegas setelah cukup diam melihat mereka merendahkan Nina.
Nina memandang Daniel yang masih menatap datar ke seluruh keluarganya. Tangannya digenggam erat oleh Daniel memberikan kekuatan padanya. Setelah sekian lama, Nina memiliki seseorang yang berpihak padanya.
Suasana ruangan vip itu terlihat tegang, tidak ada yang bersuara namun hawa emosi memenuhi ruangan, membuat sesak.
"Saya permisi ke toilet" Nina melepaskan genggaman Daniel dan berjalan ke luar.
Sepeninggal Nina, Daniel melipat kedua telapak tangannya dan dijadikan tumpuan dagu sambil menatap seluruh orang di ruangan itu satu per satu.
"Usaha keluarga anda sekarang dibawah naungan Arthaniest. Saya bisa cabut kapan saja dana yang sudah kami tanam disana"
"K-kalau kamu cabut investasinya maka Nina akan kami ambil kembali" Mata Daniel menatap tajam pada Farel yang baru saja bicara omong kosong menurut Daniel.
"Nina menikah dengan saya atas persetujuannya dan saat ini dia sepenuhnya dibawah perlindungan saya dan Arthaniest dan derajatnya jauh diatas kalian semua" Perkataan Daniel itu membungkam Farel.
"Dan untuk anda, Cindy dan Farel, tender yang baru anda menangkan bisa saya batalkan karena itu masih berkaitan dengan Arthaniest. Dan anda, Rosa. Pasien malpraktek dua bulan lalu apakah sudah ada tanggung jawab? Oh saya lupa, pasien itu meninggal tanpa jejak. Apa saya harus mengatakan yang sebenarnya terjadi? "
Daniel tersenyum miring menatap mereka yang tampak menegang dan terdiam dengan ucapan Daniel.
"Jaga sikap kalian dan hargai Nina sebagai istri saya dan untuk anda, Nyonya Ariana dan Tuan Rio, kalian bukan orang tua kandung Nina. Nina sudah menjadi tanggung jawab saya sekarang maka anda tidak berhak mengatur dan menyetir kehidupan pribadi maupun pernikahannya.” Mata Daniel tertuju pada Farel dan Rosa yang jelas saja kehidupan pernikahan mereka diatur sepenuhnya oleh Ariana.
“Jadi simpan saja keinginan untuk mengatur dan menjatuhkan istri saya dalam-dalam. Nasib perusahaan kalian ada ditangan saya." Ucapnya tegas.
Ekspresi serius Daniel seketika berubah menjadi ramah ketika Nina sudah kembali dari toilet. Begitu juga dengan yang lainnya.
"Saya rasa, saya dan istri saya harus pergi. Kami ada urusan penting lain yang harus diselesaikan. Nina, ayo pamitan" Tanpa penolakan, Nina mengangguk menuruti perkataan Daniel. Suatu hal yang jarang terjadi pada Nina, melihat Nina menjadi anak yang penurut membuat Ariana kesal. Pasalnya, Nina tidak pernah mau mendengar atau menurutinya.