Chapter 16 – Panggilan dari Langit
Di salah satu sudut Kota Holuang, di rumah tempat tinggal Defei Sixie, sebuah getaran halus menyelinap di udara begitu samar, seperti bisikan angin yang tak bersuara. Di atas meja kayu tua, Cincin Akar Roh yang diletakkan di dalam kotak hitam, perlahan memancarkan kilau lembut.
Sinar itu berdenyut…
Sekali.
Dua kali.
Kemudian meredup kembali seolah tak terjadi apa-apa.
Namun tak satu pun dari mereka di rumah menyadari…
Bahwa sesuatu sedang bangkit.
Sesuatu yang tertidur dalam keheningan panjangnya.
Sementara itu, di Wilayah Zhi, badai aura belum juga reda. Empat Buah Spiritual Surgawi masih berputar cepat di langit, menciptakan pusaran tekanan yang membuat siapa pun yang mendongak tak bisa bernapas lega. Angin menari liar, pakaian para murid berkibar, rambut-hitam panjang mereka menari di udara.
Tak ada yang berani bersuara.
Semua mata terpaku.
Semua napas tertahan.
Hingga akhirnya...
Buah Spiritual Surgawi Tujuh Warna mulai melambat. Pendar cahaya spektralnya bergeser lembut ke arah utara dari titik badai.
Satu per satu kepala mengikuti arahnya.
"Ke arah siapa itu…?" bisik seseorang lirih.
Buah itu turun perlahan, melewati kepala Yun Xiwe…
Lalu Xieyi Zui…
Lalu Yuji Daofei…
Dan akhirnya…
Mendarat di depan seorang pria berbaju ungu tua, berdiri tegak di antara enam finalis lain.
Mata pria itu melebar, tapi hanya sekejap, sebelum sorot percaya diri dan kegembiraan mengisi wajahnya.
Tangannya mengepal.
Senyumnya terangkat.
"Ini... untukku…" katanya, nyaris berbisik.
Tidak ada protes. Tidak ada kekecewaan.
Para murid lain hanya menunduk diam. Mereka mengakui…
Pilihannya telah jatuh.
Langit kembali bergemuruh.
Giliran Buah Spiritual Surgawi Putih Keemasan.
Bentuknya memantulkan cahaya seperti cermin, lembut tapi penuh kekuatan tersembunyi. Ia mengambang mengelilingi setiap orang yang ada di Puncak Gunung Lihai.
Sesekali ia berhenti di depan seseorang, lalu beralih lagi.
Dan akhirnya…
Ia berhenti tepat di depan Yun Xiwe.
Mata Yun Xiwe membesar, napasnya tercekat.
Tangan kecilnya bergetar di sisi tubuhnya, tapi senyum lembut mulai muncul di bibirnya.
Sebuah senyum rumit campuran antara rasa tak percaya, haru, dan keteguhan hati.
"Aku… dipilih?" batinnya.
Di sampingnya, Xieyi Zui menutup mulutnya dengan kedua tangan, matanya berkaca-kaca.
Begitu pula Yuji Daofei, yang sekilas menoleh dan mengangguk kecil.
Tidak ada kata keluar dari mulutnya, tapi tatapannya mengandung pengakuan.
Langit masih menyala.
Dua Buah Spiritual Surgawi tersisa.
Dan dunia…
Masih menahan napas.
Di antara angin yang perlahan mereda, dua Buah Spiritual Surgawi yang tersisa akhirnya bergerak bersamaan. Keduanya bersinar terang, satu dengan aura hijau keperakan yang lembut dan menyembuhkan, satu lagi dengan pancaran ungu kemerahan yang menyala liar seolah menyimpan keganjilan tersembunyi dalam tubuh mungilnya.
Mereka melayang di udara, menelusuri barisan para murid di Puncak Gunung Lihai. Semua mata menatap tanpa berkedip. Bahkan suara dedaunan pun terasa diam.
Di antara kerumunan itu berdiri seorang wanita muda yang tampak berbeda.
Wajahnya lugu, senyumnya lembut.
Ia tidak berdesak-desakan seperti yang lain. Tidak menunjukkan ambisi, hanya menunggu…
Dengan ketenangan yang tak biasa untuk usianya.
Lalu, Buah Spiritual Surgawi Hijau Perak mengarah padanya.
Langkahnya ringan, tapi mantap, hingga berhenti tepat di hadapan gadis itu.
Wanita itu menatap buah bercahaya tersebut dengan mata terbelalak.
Hening.
Kemudian senyumnya merekah.
Tangan mungilnya menyentuh dadanya, dan ia bergumam pelan,
“Benarkah ini… untukku?”
Lalu, sambil tertawa pelan,
“Terima kasih… terima kasih…”
Semua yang melihat hanya bisa tersenyum samar. Mereka tahu, meski terlihat biasa, gadis itu memiliki aura yang menenangkan seperti embun pagi di antara badai kekacauan.
Belum selesai semua itu mengendap, satu lagi Buah Spiritual Surgawi Ungu Merah memantul cepat seperti kilat yang menari.
Tidak stabil. Tidak anggun. Tapi… penuh tekad.
Buah itu berputar-putar liar, membuat banyak calon murid mundur gugup.
Lalu… ia menukik tajam mengarah ke seorang pemuda biasa.
Tak ada pakaian mewah. Tak ada keluarga terkenal.
Namun dia berdiri tegak.
Tatapannya berani, bahkan ketika semua orang tidak melihatnya sebagai siapa-siapa.
Buah itu berhenti di depannya.
Pemuda itu terdiam. Matanya membulat.
Lalu tertawa…
"Haha… akhirnya aku juga dipilih!"
Tangannya mengepal ke udara penuh semangat.
Sorakan kecil terdengar dari beberapa yang mengenalnya.
Tapi kebanyakan hanya menghela napas…
Tersisa dua…
Hanya dua Buah Spiritual Surgawi lagi.
Namun satu di antaranya yang belum bergerak sejak awal masih berputar perlahan, seolah menunggu waktu yang tepat.
Buah Spiritual Surgawi 7 Lapisan Cahaya Hitam.
Buah paling misterius.
Paling tidak dipahami.
Paling berbahaya… atau berharga.
Langit di atas Wilayah Zhi terasa lebih gelap dari biasanya, meski matahari masih tergantung tinggi di angkasa. Dua buah terakhir belum bergerak masih melayang tenang namun menggetarkan, seakan menunggu momen yang tepat untuk memilih takdir seseorang.
Buah Spiritual Surgawi Tiga Warna berputar perlahan, memancarkan kilau biru, emas, dan merah yang melambai indah seperti tarian langit.
Sedangkan Buah Spiritual Surgawi Tujuh Lapisan Cahaya Hitam diam, tak bersuara, namun menciptakan tekanan yang tak terlihat. Cahayanya hitam pekat, namun di dalamnya terdapat lapisan-lapisan yang seolah menggambarkan kedalaman ruang dan waktu itu sendiri. Kehadirannya cukup untuk membuat napas para calon murid tercekat.
Di antara barisan murid, mereka berdiri kaku ada yang menggigit bibir, ada yang menunduk, bahkan ada yang mulai berdoa dalam hati.
"Kenapa lama sekali…" bisik salah satu murid pelan.
"Buah itu… yang hitam… rasanya seperti menatap sesuatu yang bukan berasal dari dunia ini," sahut yang lain, tubuhnya sedikit gemetar.
“Kalau aku dipilih buah hitam itu… apa aku bisa selamat?” gumam seorang pemuda dengan wajah pucat.
Ketegangan menyebar seperti kabut.
Tak hanya di gunung. Di luar Wilayah Zhi, kejadian ini menimbulkan riak besar.
Di desa-desa terpencil hingga kota-kota utama di seluruh Negara Guhawe, layar-layar kristal pemantau spiritual menayangkan momen ini secara langsung. Para penonton berkumpul di alun-alun, aula pemerintahan, hingga kedai-kedai teh. Semua diam. Semua menunggu.
Dan di antara mereka, di sebuah desa kecil bernama Yunboa, keluarga Lawzi berkumpul dalam diam di halaman rumah mereka.
Kristal pantulan spiritual besar tergantung di langit desa. Cahayanya redup tapi jelas, memperlihatkan gambaran dua buah terakhir di puncak gunung.
Lawzi Kunren berdiri tegap, lengan bersilang di dada. Dahinya berkerut tajam.
Tsai Mianzu berdiri tak jauh darinya, wajahnya datar namun penuh perhatian. Ia tak berkata sepatah kata pun, hanya menatap dalam-dalam ke arah cahaya hitam yang tak bergerak itu.
Lawzi Jeu duduk dengan sikap waspada, sedangkan Quim Zunxi menggenggam erat jemarinya sendiri.
“Dua buah terakhir…” gumam Quim Zunxi, suaranya pelan namun terasa tegang.
“Yang satu tampak indah… yang satunya…” Lawzi Jeu berhenti sejenak, menatap layar. “Tak bisa ditebak. Tapi aku tidak suka rasanya.”
Di samping mereka, Lawzi Zienxi berdiri membisu.
Mata bocah itu terpaku pada Spiritual Mirror. Cahaya tiga warna yang menari membuatnya terpukau, namun cahaya hitam… justru membuat dadanya berdebar. Bukan karena takut. Tapi karena… rasa penasaran yang mendalam.
“Apakah ini pertanda… sesuatu akan berubah?” bisik Zienxi dalam hati.
Di sebelahnya, Vuyei menggenggam ujung lengan bajunya. Wajahnya serius dan tak berkedip.
“Aku tak tahu kenapa,” ucap Vuyei pelan. “Apakah itu baik baik saja?”
Zienxi menoleh padanya.
“Kau takut?” tanyanya.
“Sedikit… tapi aku juga… ingin tahu siapa yang akan dipilih,” jawab Vuyei dengan suara nyaris tak terdengar.
Kembali ke Puncak Gunung Lihai…
Tiba-tiba, udara berguncang ringan. Buah Spiritual Surgawi Tiga Warna mulai bergetar, lalu perlahan melayang turun.
Semua mata mengikuti gerakannya, harapan dan kecemasan bersatu dalam satu pandangan.
Namun pada saat bersamaan… Buah Spiritual Tujuh Lapisan Cahaya Hitam juga mulai bergerak.
Tak seperti buah yang lain, ia bergerak pelan dan senyap, tanpa satu pun kilatan cahaya menyilaukan. Tapi tekanan di sekitarnya terasa semakin berat, seolah setiap langkahnya menekan dada mereka yang berada di sekitarnya.
Suara jantung para murid menjadi satu-satunya yang terdengar.
Dua buah itu melayang ke arah kerumunan…
Dan dunia pun menahan napas.