Chapter 22 – Glimmers of Destiny
Sementara itu, Xieyi Zui duduk di atas batu datar yang ditumbuhi lumut, menarik napas panjang. Ia meneguk air dari kantung kulitnya dan mengelap keringat dari dahinya. Tubuhnya mungkin lelah, tapi semangatnya tetap menyala.
“Aku yakin bisa menemukan harta yang cocok denganku… walaupun kecil sekalipun.”
Di tempat lain, Yuji Daofei berjalan perlahan sambil memikirkan banyak hal. Tangannya meraba batang pohon dan matanya tetap awas ke depan.
“Apakah aku akan mendapatkan sesuatu yang layak?” gumamnya, nyaris tak terdengar. “Atau ini hanya ujian untuk melihat siapa yang benar-benar pantas?”
Langkahnya tidak terburu-buru, tapi pasti. Aura ketenangan yang khas masih menyelimuti sosoknya.
Setiap calon murid bergerak ke arah yang berbeda. Tidak ada satu jalur pun yang sama. Semua medan berbeda, semua rintangan unik, dan semua harapan berkilau dalam cahaya masing-masing. Pertarungan bukan hanya dengan sesama murid, tapi juga dengan alam dan diri mereka sendiri.
Harta spiritual tidak akan datang dengan mudah.
Namun satu hal yang pasti mereka semua bertekad. Entah untuk membuktikan nilai diri, untuk masa depan, atau hanya demi semangat petualangan, mereka semua tengah mengukir langkah menuju kehidupan baru sebagai murid resmi di Seven-Faced Leaf Sect.
Empat hari telah berlalu sejak para calon murid memasuki Hutan Berlapis dalam tahap terakhir seleksi Sekte Seven-Faced Leaf Sect. Di balik ketenangan hutan yang sunyi, masing-masing dari mereka terus mencari harta spiritual yang tersembunyi di kedalaman rimba kuno itu.
Yun Xiwe kini berada sangat dekat dengan sumber cahaya yang telah ia ikuti selama berhari-hari. Cahaya itu kini tampak jelas, samar-samar memperlihatkan bentuk sebuah harta.
Langkahnya perlahan, jantungnya berdegup semakin cepat.
Di balik semak lebat dan akar pepohonan purba, ia akhirnya melihatnya sebuah pedang tajam yang berdiri menancap di atas batu hitam kecil. Cahaya hijau keemasan memancar lembut dari bilahnya. Gagang pedang itu dihiasi ukiran daun dan bunga kecil, tampak seperti benda yang berasal dari legenda para kultivator zaman kuno.
Yun Xiwe terpaku. Matanya membulat karena takjub.
"Indah sekali…" bisiknya lirih.
Ia menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada suara atau kehadiran lain di sekitarnya. Hanya suara gemerisik angin dan gemetar dedaunan yang menemani.
Setelah memastikan situasi aman, Yun Xiwe mundur pelan dan bersandar di batang pohon besar. Ia menarik napas dalam, mengeluarkan sekantong kecil makanan kering, lalu duduk sejenak untuk beristirahat.
"Sedikit makan dulu... sebelum aku mencoba mengambilnya," ucapnya sambil mengunyah pelan.
Sementara itu, jauh dari lokasi Yun Xiwe, Fang Sei mulai menemukan cahaya di jalurnya sendiri. Cahaya itu tidak seterang milik Yun Xiwe, namun tetap terlihat dari kejauhan. Ia memperkirakan jaraknya sekitar tujuh ratus kaki dari tempatnya berdiri.
Namun rintangan yang ada tidaklah mudah. Bebatuan besar, formasi akar yang menjulur seperti jebakan, dan kabut tipis yang mengaburkan pandangan membuat segalanya tampak berbahaya.
Fang Sei menatap lurus ke arah cahaya itu, lalu menunduk pelan.
"Kenapa jalanku terasa paling rumit…" gumamnya dengan suara datar.
Ia tetap berdiri di tempatnya, membiarkan pikirannya menilai rintangan, mencari celah di antara bahaya yang menghalangi langkah menuju cahaya takdirnya.
Di sisi lain Hutan Berlapis, beberapa murid lainnya juga mulai menemukan tanda-tanda keberadaan harta spiritual. Mereka datang dari berbagai penjuru, dengan harapan dan tekad yang tak kalah kuat.
Di antara cahaya-cahaya samar yang muncul dari balik kabut, ada yang menuntun pada bentuk panah tajam, pedang kecil, topi anyaman spiritual, payung antik, bahkan sebuah tungku tua yang memancarkan aura hangat dan kuat.
Sementara itu, Jia Wei dan Jia Yuwei, dua saudari dari selatan, yang beberapa hari sebelumnya sudah melihat pancaran cahaya samar, kini akhirnya berada dekat dengan sumbernya. Namun harta spiritual itu masih tersembunyi di balik ilusi kabut dan rimbunnya semak-semak, membuat keduanya belum mampu mengenali bentuk atau jenisnya.
“Kita hampir sampai..." bisik Jia Wei dengan nada waspada.
"Tapi kenapa aku merasa... harta ini menyembunyikan sesuatu?" ujar Yuwei lirih.
Di tempat lain, Yuji Daofei, pemuda yang dikenal sebagai calon murid paling berbakat, akhirnya menemukan seberkas cahaya tipis yang menyelinap di antara bayangan pohon tinggi. Matanya menajam, dan tanpa banyak bicara, ia melangkah maju.
Wang Xuei, yang belum menemukan harta spiritual apa pun, tampak tidak sabar. Ia terus berjalan, namun langkahnya mulai kehilangan arah. Tiba-tiba, dari kejauhan terdengar teriakan penuh kegembiraan.
"Aku menemukannya!" suara itu lantang.
Wang Xuei menghentikan langkah. Matanya menyipit, jelas tergoda untuk menyelinap dan merebutnya.
"Kenapa bukan aku..." desisnya pelan, penuh rasa iri.
Namun ia menggeleng pelan.
"Tempat ini terlalu berbahaya untuk gegabah. Harta itu bukan milikku belum saatnya."
Berbeda dengan Wang Xuei, Hui Baifa tidak mengenal ragu. Ia melihat seorang murid yang hanya berjarak puluhan kaki dari cahaya kuat di depannya.
“Itu... harta spiritual," gumam Hui Baifa, lalu tersenyum menyeringai.
"Dan dia... tidak akan mendapatkannya."
Tanpa pikir panjang, ia segera melangkah maju melewati tanah licin dan akar-akar beracun. Meski daerah itu penuh jebakan alam, niat Hui Baifa untuk merebut harta orang lain jauh lebih besar daripada rasa takutnya.
Sementara itu, Xieyi Zui berjalan dengan tenang di jalurnya sendiri. Kabut di hadapannya perlahan menipis, memperlihatkan cahaya lembut berwarna biru berpadu dengan perak yang berdenyut perlahan, seperti napas sebuah makhluk hidup yang agung.
Ia berhenti sejenak.
"Itu... bukan cahaya biasa," gumamnya dengan suara yang nyaris seperti doa.
Tatapan Xieyi Zui menjadi lebih dalam, seolah merasakan bahwa apa pun yang menanti di depan... akan mengubah hidupnya selamanya.
Hari ke-7 sejak para calon murid memasuki Hutan Berlapis akhirnya tiba. Waktu terasa lambat dan penuh tekanan bagi sebagian dari mereka, namun untuk yang bertahan, tekad semakin menguat.
Di sudut hutan yang sunyi, Xieyi Zui terus melangkah menuju cahaya biru keperakan yang memancar lembut di tengah semak berlapis kabut.
Suasana di sekitarnya sangat hening. Daun-daun bergerak perlahan, seolah menghormati ketenangan dan keteguhan langkah Zui. Ia menarik napas panjang, menenangkan detak jantungnya yang mulai berdegup cepat.
Beberapa langkah ke depan, cahaya itu semakin jelas. Dan kemudian ia melihatnya.
Di hadapannya, tertancap pada sebuah batu kristal biru, terdapat sebuah busur indah berwarna perak kebiruan. Di sisinya terletak seikat panah, masing-masing dihiasi bulu lembut berwarna biru muda, dan mata panah berbentuk kelopak bunga tajam berkilau. Aura yang terpancar dari harta itu begitu lembut, tapi kuat. Bagaikan perpaduan kedamaian dan kekuatan tersembunyi.
Zui tertegun. Matanya membelalak pelan, lalu tubuhnya gemetar ringan bukan karena takut, tapi karena kegembiraan yang luar biasa.
“Ini... ini sungguh indah…” bisiknya pelan.
“Apakah ini... benar-benar untukku?”
Tangannya perlahan terulur, penuh kehati-hatian dan kekaguman. Saat ujung jarinya menyentuh gagang busur itu, cahaya biru keperakan langsung menyelimuti dirinya, hangat dan mengalir masuk ke tubuhnya seperti aliran air suci.
Ia memejamkan mata sejenak, lalu menggenggam busur itu dengan erat.
“Terima kasih… aku akan menjagamu... dan memperjuangkan segalanya bersamamu,” ujarnya penuh emosi.
“Namamu adalah... Aoyue, Panah Bulan Biru.”
Senyum tipis terbentuk di wajahnya. Untuk pertama kalinya sejak ia memasuki Hutan Berlapis, Xieyi Zui merasa dirinya dan takdirnya benar-benar bersatu.
Dan langit di atasnya tampak sedikit lebih terang dari sebelumnya.
Di tempat lain yang lebih dalam di Hutan Berlapis, Fang Sei berdiri di hadapan cahaya yang selama ini ia kejar. Tubuhnya terlihat agak kotor dan lecet. Beberapa goresan luka tampak di lengan dan bahunya, namun tak satu pun membuatnya berhenti. Luka-luka itu adalah harga dari keteguhan dan keberanian yang tak bisa ditawar.
Di hadapannya kini, terpancarlah sebuah pedang yang sebagian tertanam di tanah berbatu. Pancaran sinarnya tak seterang milik harta lain, tapi aura yang terasa dari pedang itu sungguh kuat dingin, menekan, dan memancarkan kehormatan sekaligus kengerian.
Pedang itu ramping, namun memiliki bentuk yang tajam sempurna. Di bagian tengah bilahnya, terlihat ukiran rumit berbentuk mata naga yang terbuka, seolah menatap siapa pun yang mendekat. Gagangnya berwarna hitam pekat, dibalut kain merah tua seperti bekas darah yang mengering.
Fang Sei menatap harta itu lama.
“Akhirnya... aku menemukannya,” ucapnya dengan suara serak namun penuh semangat.
Wajahnya berubah. Ekspresi serius yang selama ini ia pertahankan mulai mencair berganti dengan senyum lebar penuh kepuasan. Senyum yang jarang terlihat dari sosok seperti Fang Sei.
Dengan langkah mantap, ia maju mendekati pedang itu. Meski nyeri di tubuhnya terasa menusuk, ia tak menghiraukannya. Baginya, rasa sakit ini tak sebanding dengan pencapaian yang kini ada di depan matanya.
“Kau... pedang yang menungguku selama ini,” bisiknya.
Tangannya yang penuh debu dan luka meraih gagang pedang itu. Begitu menyentuhnya, sebuah getaran dingin menjalar ke seluruh tubuhnya, tapi Fang Sei justru tersenyum semakin lebar.
“Kita akan melangkah bersama… mulai hari ini.”
Dengan sedikit tenaga, ia mencabut pedang itu dari tanah. Kilatan cahaya merah tipis mengelilingi bilahnya. Langit mendung di atasnya seolah bergemuruh pelan, merespons kebangkitan kekuatan baru.
Fang Sei menatap bilah pedangnya, lalu mengangkatnya ke depan wajahnya.
“Namamu... Xuejian,” ucapnya lirih. “Pedang darah dan kehendak.”
Angin di sekitar Fang Sei berembus ringan seperti mengakui kehormatan yang baru saja terikat antara manusia dan harta spiritualnya.