LightReader

Chapter 23 - Chapter 23 – The Clash Begins

Chapter 23 – The Clash Begins (Permulaan Benturan)

Di bagian terdalam Hutan Berlapis, sosok tinggi dan dingin berdiri mematung di hadapan sebuah cahaya keperakan yang tampak misterius.

Yuji Daofei, dengan ekspresi tenang namun penuh kewaspadaan, menatap harta spiritual yang ada di depannya. Bukan senjata tajam ataupun pelindung biasa, tapi sebuah topi dengan pinggiran logam berkilau terlihat ringan, namun memancarkan aura yang tajam dan membahayakan.

Topi itu berbentuk seperti tudung lebar, dengan ukiran pusaran angin di bagian tengah dan garis emas yang membentuk simbol rumit di bagian atasnya. Namun yang paling mencolok adalah pinggirannya yang berkilau tajam, seolah bisa memotong apapun yang menyentuhnya dengan ceroboh.

Daofei menyipitkan mata.

“...Menarik. Bahkan sebuah topi pun bisa menjadi alat pembunuh,” gumamnya dingin.

Dengan hati-hati, ia meraih bagian tengah topi, menghindari sisi tajamnya. Begitu disentuh, hembusan angin aneh mengitari tubuhnya, seakan topi itu mengenalinya.

Yuji Daofei tersenyum tipis.

“Mulai sekarang… kita akan berjalan bersama.”

Sementara itu, Yun Xiwe telah menggenggam pedangnya dengan erat. Ia mengangkatnya perlahan, menatap bilah indah dengan ukiran bercahaya di permukaannya. Wajahnya berseri-seri, meski keringat masih menetes dari pelipisnya. Perjalanan panjangnya akhirnya membuahkan hasil.

Tak jauh dari sana, Jia Wei dan Jia Yuwei berdiri di bawah sebuah pohon raksasa. Di atas pohon itu, tergantung dua harta spiritual yang begitu mencolok keindahannya.

Salah satunya adalah payung indah berwarna biru keunguan dengan ukiran bunga dan naga di setiap sisinya. Yang satunya lagi adalah trisula ramping dengan warna hijau zamrud dan kilau emas, memancarkan aura kuat dan murni.

Jia Yuwei mendongak, keheranan.

“Kenapa harta ini harus ada di tempat setinggi itu...?” gumamnya.

Jia Wei mendengus sambil mencubit lengan adiknya.

“Ih, kamu ini. Tinggal manjat saja. Masa lupa, kita dari kecil sering manjat pohon?”

Yuwei memegangi lengannya yang dicubit dan meringis.

“Aduh... iya, iya. Tapi ini pohonnya tinggi banget!”

“Justru itu, makin tinggi hadiahnya makin bagus,” ujar Jia Wei sambil bersiap memanjat.

Sementara itu, di sisi lain hutan, Wang Xuei berjalan tertatih-tatih. Matanya masih agak buram karena kelelahan. Napasnya tersengal, tapi cahaya yang tiba-tiba muncul di sisi kanannya membuatnya tersentak dan terbangun dari lamunan.

Tanpa pikir panjang, dia berlari mengikuti cahaya itu. Sehari penuh telah berlalu sejak itu, dan akhirnya ia sampai di tempat tujuan.

Namun ia bukan satu-satunya.

Di sana, ada beberapa orang lain semua berdiri mengelilingi cahaya yang mengarah pada tujuh harta spiritual: dua pedang, dua tungku, dan tiga topi. Mereka berdiri seperti harimau yang mengincar mangsa.

Hui Baifa adalah yang paling mencolok di antara mereka. Tatapannya penuh tantangan dan senyum sinis terlukis di wajahnya.

“Kalian semua bisa pergi. Harta di sini… milikku.”

Seorang murid lain segera membalas,

“Lucu. Aku juga bisa bilang begitu.”

Wang Xuei, masih kelelahan, melangkah pelan ke depan dan berkata,

“Aku... juga ingin mengambil salah satu dari mereka.”

Semua tatapan langsung tertuju padanya, dan seketika suasana menjadi lebih tegang.

Hui Baifa menyipitkan mata, lalu mengambil sebatang ranting besar dari sampingnya. Ia mengangkatnya seperti tongkat pemukul.

“Kalau begitu, kita lihat siapa yang pantas memilikinya.”

Dengan teriakan pendek, pertarungan pun dimulai.

Ranting besar itu menghantam tanah, dan suara benturan kayu dan teriakan mulai menggema di seluruh area. Beberapa murid menghindar, sementara lainnya ikut bertarung untuk mempertahankan klaim mereka.

Wang Xuei terpaksa bertahan dan menghindar, tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi matanya tak pernah lepas dari harta-harta yang bersinar itu.

“Aku harus menunggu celah... hanya sedikit saja...”

Tujuh harta itu kini menjadi pusat pertarungan sengit siapa yang akan keluar sebagai pemenang, belum bisa ditebak.

Yun Xiwe menggenggam pedangnya yang kini telah menyatu dengan tenang di sisi pinggangnya. Ia berdiri di antara semak tinggi, mendongakkan kepala saat suara gaduh terdengar dari kejauhan. Di tempat lain dalam Hutan Berlapis, Xieyi Zui yang tengah menelusuri jalur sunyi bersama busur dan panahnya, juga berhenti. Telinganya menangkap suara kericuhan samar.

"Perkelahian?" gumam Xieyi lirih.

Di sisi utara, Yuji Daofei berdiri tenang dengan topi tajam yang kini bertengger di tangannya. Meski tak menunjukkan ekspresi terkejut, tatapannya sedikit menyipit saat mendengar gema benturan keras dari arah lain hutan.

Fang Sei yang berada lebih jauh, memegangi pedang barunya dengan ringan, melirik tajam ke arah sumber suara. Bahunya sedikit berdarah, tapi ia tampak tak memperdulikannya.

“Apa mereka sudah mulai berebut harta?” pikir Fang Sei. “Cepat juga...”

Sementara itu, dua gadis bersaudara, Jia Wei dan Jia Yuwei, masih memanjat pohon besar yang menjulang tinggi. Lengan mereka yang indah seputih giok terlihat berkilau diterpa cahaya sore, mencengkeram kuat batang pohon.

"Aduh, tinggi juga!" seru Yuwei dengan napas tersengal.

"Kau mengeluh seperti anak kecil," ejek Jia Wei sambil mencubit pinggang adiknya. "Kita sudah terbiasa memanjat, jangan memalukan nama keluarga Jia."

Yuwei meringis. "Iya, iya, tapi kalau jatuh, aku tarik kau juga turun bersamaku."

Jia Wei terkekeh pelan, lalu melanjutkan pendakiannya dengan cekatan.

Di aula utama Sekte Daun 7 Sisi, para tetua duduk berjajar dalam keheningan yang tegang. Di hadapan mereka, layar batu spiritual menampilkan berbagai potongan adegan dari dalam Hutan Berlapis. Beberapa murid senior berdiri di belakang mereka, menyaksikan dalam diam.

"Kericuhan telah dimulai..." gumam salah satu tetua bersuara berat.

"Siapa yang terlibat?" tanya seorang murid senior, mengerutkan dahi.

"Sulit melihat dengan jelas, tapi tampaknya beberapa calon murid mulai berebut harta spiritual."

"Senjata? Jubah? Tungku?"

"Pedang, tungku, dan bahkan topi... Sepertinya mereka memperebutkan semuanya. Tapi yang lebih menarik mereka bertarung bukan dengan teknik spiritual, melainkan dahan dan batu," ujar tetua lainnya, menggeleng pelan.

Seorang murid senior menatap layar dengan serius. "Apakah ini pertanda siapa yang cukup gigih untuk mempertahankan apa yang mereka temukan... atau siapa yang akan kehilangan segalanya sebelum ujian tahap pertama selesai?"

Keheningan menyelimuti ruangan sesaat, hanya suara angin yang menerobos celah jendela aula yang menemani pikiran mereka.

Suasana di dalam Hutan Berlapis kian mencekam. Suara teriakan, hantaman, dan dentuman kayu yang membentur tanah bergema di antara pepohonan tinggi. Pertarungan antara Hui Baifa, Wang Xuei, dan beberapa murid lain masih berlangsung sengit. Dahan pohon digunakan seperti tongkat, batu dilemparkan dengan kekuatan penuh, dan debu melayang tinggi, menciptakan kabut samar yang menyelimuti medan pertempuran.

Di kejauhan, para calon murid lainnya yang sebelumnya hanya menjadi penonton bisu kini terdiam sambil terus menyimak suara-suara pertempuran yang menggema. Tapi ketenangan mereka tak berlangsung lama.

BRAK!

Suara keras terdengar dari arah lain. Tak hanya satu, tapi dua... tiga... empat lokasi berbeda dalam waktu yang hampir bersamaan.

Kericuhan merambat seperti api liar.

Beberapa murid mulai berteriak dan saling mendorong, berebut harta yang belum jelas bentuknya. Mereka menggunakan apa saja, kayu patah, pasir dari tanah, batu sebesar kepalan, bahkan dedaunan dilemparkan ke wajah lawan untuk membutakan pandangan.

Dari atas pohon, Jia Wei dan Jia Yuwei berhenti sejenak. Tangan mereka yang seputih giok menggenggam erat batang pohon. Napas mereka tertahan, dan mata keduanya membelalak.

“Apa yang... sedang terjadi?” bisik Yuwei dengan suara bergetar.

“Empat tempat sekaligus,” jawab Jia Wei pelan. “Semua bertarung...”

Tubuh Yuwei sedikit bergetar. “Aku... merasa merinding.”

Di tempat lain, Yun Xiwe masih berdiri di balik semak. Ia tak bergerak. Matanya yang tenang terus menatap ke depan, seolah mencoba membaca arah dari semua suara yang menyeruak.

Begitu pula Xieyi Zui. Ia memegang busurnya erat, panah telah siap di tangan, namun ia tak menariknya. Ia hanya mendengarkan mencoba memahami, menanti waktu.

Yuji Daofei berdiri di atas akar pohon besar. Kepalanya sedikit menunduk, topi membayangi matanya. Tapi matanya yang tajam bergerak ke segala arah, mengamati pergerakan setiap kericuhan dari kejauhan. Wajahnya tetap datar, seolah ini semua sudah ia prediksi.

Sementara itu, Fang Sei bergerak cepat. Tubuhnya yang ramping melesat melewati dua pohon besar, mengikuti suara perkelahian yang semakin jelas arahnya menuju lokasi pertempuran antara Hui Baifa, Wang Xuei, dan kelompok mereka.

Ia berhenti di balik batu besar, mengintip. Napasnya tertahan saat melihat Wang Xuei menghantam dada seorang murid dengan lutut, sementara Hui Baifa menendang seseorang ke batang pohon. Empat murid lainnya mengelilingi mereka, semua dengan mata penuh amarah dan tubuh yang telah dipenuhi debu serta luka.

Fang Sei mencengkeram pedangnya.

"Bodoh. Mereka tak sadar ujian ini bukan tentang kekuatan, tapi ketahanan."

Namun, tatapannya tetap tajam, dan kakinya tidak beranjak. Ia ingin melihat lebih banyak siapa yang akan bertahan... dan siapa yang akan tumbang.

More Chapters