Chapter 29 – Rest Among the Ashes
(Peristirahatan di Antara Abu)
Hening menyelimuti reruntuhan rumah keluarga Lawzi, hanya suara angin lembut yang menyapu sisa-sisa bangunan dan puing-puing kehidupan yang telah sirna. Aroma tanah basah tercampur dengan abu dan kenangan. Di tengah keheningan itu, Jia Yuwei melangkah perlahan. Matanya yang jernih menatap satu per satu tubuh yang terbujur kaku di antara puing, Lawzi Jeu, Quim Zunxi, Lawzi Kunren, dan Tsai Mianzu.
Dengan bantuan seorang tetua dan teman-temannya, mereka mulai menggali lubang sederhana di samping pohon tua yang masih berdiri kokoh. Tanpa suara, hanya gerakan penuh hormat yang mengiringi kesedihan. Lawzi Zienxi dan Vuyei duduk diam di batu runtuhan yang hangat karena sinar matahari. Wajah mereka kosong, seakan belum sepenuhnya mampu menerima kenyataan pahit ini.
Setelah prosesi pemakaman sederhana selesai, Jia Yuwei menghampiri mereka perlahan. Ia berjongkok di hadapan Zienxi dan Vuyei, lalu berkata lembut, "Zienxi... Vuyei... untuk sementara, maukah kalian ikut ke Sekte Daun 7 Sisi bersamaku? Di sana kalian bisa beristirahat, dan... mungkin bersiap jika benar ingin pergi ke kota Holuang seperti yang disampaikan ibumu, Vuyei."
Vuyei menunduk, menggenggam lengan Zienxi erat. Zienxi menoleh pada adik sepupunya itu. Tidak ada kata yang terucap, hanya sorot mata yang berbicara penuh luka, ketakutan, dan sedikit harapan.
Jia Yuwei melanjutkan, suaranya menenangkan, "Kalian tidak sendiri. Masih ada kami. Sekte bukan hanya tempat pelatihan... tapi juga bisa menjadi tempat untuk memulihkan diri."
Salah satu tetua yang berjanggut putih menatap langit sesaat, seolah mencoba mengingat sesuatu, namun ia tak berkata apa-apa. Ia hanya menatap kedua anak itu dengan iba dan kesungguhan, lalu menoleh ke murid-murid lainnya, memberi isyarat agar mereka bersiap untuk berangkat kembali.
Langit mulai berubah warna matahari condong ke barat, dan bayangan puing-puing menjadi panjang dan menyerupai luka di tanah. Hari itu, dua anak yang kehilangan segalanya perlahan berdiri, menatap ke depan, ke arah jalan yang tidak mereka pilih... namun harus mereka lalui.
Kabut pagi masih menyelimuti tanah hangus di bekas Desa Yunboa. Aroma abu dan tanah terbakar merayap di antara reruntuhan rumah dan pohon yang hangus. Angin membawa kesunyian yang memilukan, seakan dunia ikut berduka.
Di tengah puing-puing itu, Jia Yuwei masih berjongkok, menanti dengan sabar. Wajahnya lembut, namun penuh tanya. Di depannya, Lawzi Zienxi berdiri diam, matanya kosong, tubuhnya lelah namun tegap. Vuyei berdiri di samping kakaknya, menggenggam ujung jubah Zienxi dengan mata berkaca-kaca.
Keheningan panjang akhirnya pecah oleh suara yang hampir tak terdengar rapuh namun membawa beban besar.
“Bisakah… aku berkultivasi?” tanya Zienxi, suaranya pelan, namun tegas.
Vuyei menoleh cepat ke arahnya, matanya membesar. Air matanya jatuh, tak bisa dibendung.
Jia Yuwei mengangkat kepalanya, terkejut. Para tetua dan temannya di belakang pun saling pandang, tak menyangka bahwa pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Zienxi setelah tragedi besar itu... adalah tentang kultivasi.
Jia Yuwei menatap Zienxi dalam-dalam, lalu tersenyum kecil.
“Ya,” jawabnya yakin. “Kau bisa berkultivasi, Lawzi Zienxi.”
Tak ada emosi besar yang ditunjukkan Zienxi. Tapi di matanya, untuk pertama kalinya sejak semua hancur... cahaya kecil itu kembali muncul. Api tekad mulai menyala.
Dengan langkah perlahan, mereka pun meninggalkan reruntuhan desa. Langkah yang berat, namun pasti. Jalan menuju Seven-Faced Leaf Sect terbentang di depan mereka tempat harapan baru, atau mungkin... luka yang lebih dalam.
Berita tentang bencana di Desa Yunboa menyebar secepat angin badai ke seluruh penjuru Negara Green Tree.
Di Desa Wuxije, Lawzi Gue tengah mengasah pedangnya ketika seseorang datang dengan wajah pucat. Defei Heifei membaca gulungan pesan dengan tangan gemetar. Lawzi Wafei, yang baru saja keluar dari halaman latihan, melihat raut wajah kedua orangtuanya berubah drastis.
“Apa yang terjadi…?” tanya Wafei perlahan.
Tak ada jawaban. Hanya pandangan kosong dan guncangan hebat di dalam hati mereka.
Di Kota Holuang, Jian Lode menerima kabar itu dari penjaga sekte cabang. Ia segera memanggil istrinya, Defei Sixie, dan anak mereka, Jian Sixie.
“Yunboa… dihancurkan?” tanya Sixie dengan suara tercekat.
Defei Sixie memandangi langit. Tatapannya jauh, seolah mencoba menangkap makna yang lebih dalam dari kehancuran itu.
Setelah perjalanan panjang yang terasa sunyi, Jia Yuwei, tetua berjenggot putih, dan teman-temannya akhirnya tiba di depan gerbang megah Seven-Faced Leaf Sect bersama dua anak yang kini tak lagi memiliki rumah, Lawzi Zienxi dan Lawzi Vuyei. Di hadapan mereka, gerbang raksasa dari batu hitam dan daun emas menyambut dalam keheningan.
Tanpa banyak kata, mereka pun melangkah masuk perlahan.
Beberapa murid yang sedang berlatih atau lewat di halaman luar sekte berhenti. Tatapan mereka tertuju pada dua anak kecil yang berjalan di antara para senior. Bisik-bisik terdengar di mana-mana.
“Siapa mereka?”
“Mengapa anak-anak bisa masuk sejauh ini?”
“Apakah mereka calon murid baru?”
Tapi tidak ada yang berani bertanya langsung. Aura yang terpancar dari para pendamping anak-anak itu membuat mereka diam.
Tak lama, rombongan itu tiba di tengah halaman utama Sekte. Bangunan tinggi menjulang mengelilingi mereka, dan langit terasa lebih luas dari biasanya. Tetua berjenggot putih lalu berkata singkat kepada Jia Yuwei.
“Aku akan memanggil Tetua Utama,” ucapnya pelan, lalu bergegas pergi.
Zienxi dan Vuyei berdiri diam. Angin berembus pelan membawa daun kering melayang di sekeliling mereka. Jia Yuwei berdiri di samping mereka, menjaga, sementara temannya memperhatikan sekitar.
Beberapa orang mulai mendekat. Jia Wei, Yun Xiwe, dan Xieyi Zui muncul dari arah berbeda. Mereka semua melihat ke arah dua anak yang tidak mereka kenal.
“Anak-anak itu... dari desa Yunboa?” tanya Yun Xiwe dengan suara rendah.
Jia Wei tidak menjawab. Tatapannya fokus pada anak laki-laki berambut gelap yang berdiri tegak dengan sorot mata membara. Sementara Xieyi Zui mendekat pelan, menatap Vuyei dengan iba.
Tak lama kemudian, langkah kaki bergema dari arah dalam. Tetua utama beserta beberapa tetua lain keluar dan berjalan ke arah mereka. Aura tenang dan wibawa menyelimuti kedatangan mereka.
Di antara para tetua itu, tampak Tetua Miwa, seorang wanita tua dengan rambut perak tersanggul rapi dan mata yang teduh. Ia mendekat dengan langkah ringan, lalu memandang Zienxi dan Vuyei secara bergantian.
“Anak-anak...” ucapnya dengan suara yang lembut, namun mengandung kekuatan.
“Jangan bersedih. Mulai hari ini... di sinilah rumah baru kalian.”
Mata Vuyei berkaca-kaca. Ia menggenggam lengan kakaknya erat, lalu memeluknya dari samping. Zienxi, meski tubuhnya tak bergerak, sorot matanya menunjukkan gejolak yang belum padam. Amarah yang dalam, namun tak lagi meledak ia kini membakar perlahan dari dalam dirinya.
Tetua Miwa menatap lembut dua anak yang kini berdiri tanpa pegangan hidup. Ia mengangkat tangannya perlahan, lalu memberi isyarat.
“Mari ikut bersamaku,” ucapnya.
Dua murid wanita berpakaian putih segera mendekat. Dengan sopan, mereka menggandeng Vuyei dan Zienxi, lalu mengikuti Tetua Miwa menuju Paviliun Kehidupan, tempat kediaman pribadi sang tetua.
Langkah mereka perlahan menjauh. Suara langkah sepatu di batu menghilang seiring bayangan mereka lenyap dari pandangan.
Suasana di tengah halaman Sekte Daun 7 Sisi hening. Tak ada yang berbicara. Semua seakan menunggu seseorang angkat suara.
Di tengah keheningan, terdengar suara berat dan datar.
“Apa yang terjadi sebenarnya?”
Itu suara Fang Sei, murid jenius dari utara yang telah mencapai Root Tempering Stage tingkat 15 tingkat akhir dari tahap pertama. Ia berdiri tegak dengan tangan di balik punggung, sorot matanya dingin tapi penuh rasa ingin tahu. Tatapannya tertuju kepada Jia Yuwei, yang masih berdiri di tempat dengan mata yang sedikit sembab.
Semua murid menoleh pada Jia Yuwei.
Gadis itu menarik napas pelan. Suaranya nyaris tak terdengar saat hendak membuka mulut.
Namun sebelum sepatah kata pun terucap, suara berat terdengar dari arah barat.
“Biarkan aku yang menjelaskan,” kata Tetua berjenggot putih yang kini telah kembali dari dalam sekte.
Semua orang menoleh ke arah beliau.
“Desa Yunboa,” katanya dengan tenang namun penuh tekanan, “telah diserang oleh tiga sosok misterius beberapa malam lalu.”
Suara gemuruh pelan terdengar dari para murid yang mendengar.
“Sebagian besar desa hancur, terbakar habis. Namun... yang paling parah,” lanjutnya, “adalah rumah keluarga kecil itu.”
Wajah Jia Yuwei menegang. Ia menunduk sejenak, sebelum akhirnya melanjutkan.
“Aku... melihat mereka...” katanya dengan suara yang bergetar. “Zienxi dan Vuyei... menangis... memeluk tubuh kedua orang tua mereka yang sudah tak bernyawa.”
Suasana mendadak terasa dingin. Beberapa murid menutup mulut mereka karena terkejut, yang lain hanya diam membeku.
Xieyi Zui menunduk dengan tangan mengepal, Jia Wei menggigit bibirnya dengan mata membelalak, sementara Yun Xiwe menghela napas panjang dengan tatapan sedih.
Bahkan Fang Sei tak berkata-kata. Matanya menyipit, dalam diam menyerap informasi itu.
Tidak ada yang bisa mengucapkan apapun. Tak ada kalimat yang cukup untuk menghibur kehilangan sebesar itu.
Di langit, awan perlahan menggantung kelabu, seolah turut merasakan duka yang menggantung di udara Sekte Daun 7 Sisi hari itu.