LightReader

Chapter 34 - Chapter 34 – Unspoken Bonds

Chapter 34 – Unspoken Bonds (Ikatan yang Tak Terucap)

Di sudut tenang distrik timur Kota Holuang, dua sosok duduk di depan sebuah rumah yang teduh namun hangat. Wajah mereka dihiasi keriput usia dan tatapan yang menyimpan ribuan kenangan. Jian Lode memandangi jalanan kosong, sementara Defei Sixie duduk di sampingnya, sesekali menatap langit.

"Apa kau masih percaya mereka hidup, Lode?" tanya Defei Sixie pelan, suara lembutnya hampir tertelan angin.

Jian Lode menarik napas panjang. "Aku tak tahu... Tapi hatiku belum pernah merasa mereka benar-benar pergi. Hanya... sudah terlalu lama. Bertahun-tahun sejak kabar buruk dari Desa Yunboa itu..."

Hening sejenak menyelimuti mereka. Hanya suara dedaunan dan angin yang berbisik. Di dalam hatinya, mereka masih menggenggam harapan kecil bahwa dua anak itu, keponakan yang sangat mereka cintai, masih bernapas di bawah langit ini.

Anak mereka, Jian Sixie, sudah lama meninggalkan rumah untuk bergabung dengan Twilight Wind Sect salah satu sekte cabang yang cukup terkenal di bagian luar Kota Holuang.

Sementara itu, tidak jauh dari sana, dua sosok muda berjalan perlahan menyusuri lorong distrik timur. Langkah mereka pasti, namun sorot mata mereka menyimpan gugup dan harapan.

"Apakah ini tempatnya, Kak?" tanya Vuyei pelan sambil memandangi rumah-rumah di sekitarnya.

Zienxi mengangguk kecil. "Kita hampir sampai. Tetaplah dekat."

Setelah beberapa waktu berjalan, mereka tiba di depan sebuah rumah di sudut jalan. Rumah itu tidak terlalu mewah, namun tampak terawat dan bersih. Di depan rumah, duduklah sepasang suami istri Jian Lode dan Defei Sixie.

Langkah Zienxi dan Vuyei terhenti sejenak. Keduanya memandangi dua orang itu. Hati mereka berdebar cepat.

“...Itu mereka,” bisik Zienxi.

Perasaan yang campur aduk menyeruak dalam dada Vuyei. Rindu. Gugup. Haru. Ia menatap wajah tua itu wajah yang dulu sering menyapanya dengan hangat. Ia melangkah maju perlahan, diikuti kakaknya.

Jian Lode menyipitkan mata melihat dua pemuda asing itu mendekat.

“Siapa mereka…?” gumamnya.

Namun saat kedua anak itu berdiri tepat di hadapannya, Vuyei memberanikan diri. Dengan suara lembut yang bergetar, ia berkata,

“Paman... Bibi... Ini kami... Lawzi Zienxi dan Lawzi Vuyei...”

Kata-kata itu menusuk jantung Jian Lode dan Defei Sixie. Mata mereka melebar, tubuh mereka kaku, seolah waktu berhenti.

“Zienxi...? Vuyei...?” suara Defei Sixie bergetar, matanya berkaca-kaca. “Benarkah ini kalian...?”

Vuyei menunduk, air mata mengalir di pipi lembutnya. Zienxi hanya menatap dalam diam, dadanya terasa sesak.

Tanpa berkata lebih banyak, Jian Lode dan Defei Sixie berdiri dan memeluk mereka berdua dengan erat, seolah tak ingin melepaskan lagi.

“Syukurlah...” bisik Jian Lode, air matanya jatuh ke bahu Zienxi.

“Kami pikir kalian telah tiada…” ujar Defei Sixie lirih, mencium kening Vuyei. “Lihat kalian sekarang… Sudah tumbuh besar…”

Suasana haru menyelimuti mereka.

“Ayo masuk ke dalam... Ceritakan segalanya,” kata Jian Lode setelah menenangkan diri. Mereka semua masuk ke dalam rumah yang hangat dan sederhana.

Di ruang tamu yang hangat, Jian Lode dan Defei Sixie duduk di hadapan mereka.

“Selama ini... kalian tinggal di mana?” tanya Defei Sixie penuh rasa ingin tahu dan khawatir.

Zienxi hanya menunduk, diam menahan semua kesedihan yang belum sembuh. Vuyei yang masih terisak kecil mulai berbicara.

“Kami... setelah hari itu... setelah semua hancur... kami mengubur Ayah dan Ibu... bersama Kakak Jia Yuwei dan seorang tetua jenggot putih…”

Defei Sixie menutup mulutnya dengan tangan, menahan tangis.

“Kami lalu dibawa ke Sekte Daun 7 Sisi oleh Kakak Jia Yuwei. Di sana... kami dibantu oleh guru kami, Tetua Miwa. Beliau sangat baik... mengajari kami kultivasi dari awal...”

Jian Lode menghela napas lega. “Terima kasih... Terima kasih pada langit dan bumi...” Ia memandang Zienxi dalam-dalam. “Kalian tinggal di sini saja mulai sekarang. Ini juga rumah kalian.”

Zienxi mengangguk pelan. “Terima kasih, Paman.”

“Sixie tidak ada di rumah. Dia sekarang berada di Sekte Angin Senja. Jika dia tahu kalian masih hidup... dia pasti sangat bahagia...” kata Defei Sixie sambil tersenyum.

Malam pun datang, dan suasana yang awalnya haru berubah menjadi hangat. Kesedihan seolah menguap bersama tawa yang mulai terdengar di rumah itu.

Mereka duduk di meja makan kecil, bercanda tentang masa-masa di Sekte Daun 7 Sisi.

“Dan Kakak Jia Yuwei itu... selalu sok dewasa!” kata Vuyei sambil tertawa kecil.

“Kakak Wang Xuei juga... dia suka membuat wajah lucu saat latihan,” tambahnya.

“Jangan lupakan Kakak Xieyi Zui yang selalu panik kalau melihat serangga kecil,” sambung Vuyei lagi, membuat Defei Sixie tertawa.

Zienxi hanya tertawa pelan. Ia memang lebih banyak diam, tapi matanya tak lagi murung seperti tadi. Ia sesekali bercerita sedikit tentang kultivasinya, membuat Jian Lode manggut-manggut bangga.

Malam itu, rumah kecil di sudut distrik timur Kota Holuang kembali terasa seperti rumah. Sebuah keluarga yang dulu tercerai-berai, kini perlahan disatukan kembali oleh takdir yang tak terduga.

Keesokan harinya, sinar matahari lembut menembus dedaunan, menyelimuti halaman rumah Jian Lode dan Defei Sixie dengan kehangatan pagi. Jian Lode terlihat sedang menyapu halaman kecil mereka dengan sapu bambu, gerakannya lambat namun mantap. Sementara itu, dari dalam rumah, aroma masakan hangat mulai tercium Defei Sixie tengah memasak sup akar pelangi dan nasi wangi khas kota Holuang.

Di samping rumah, tak jauh dari pohon kemuning yang rindang, Lawzi Zienxi dan Vuyei duduk bersila. Keduanya dalam posisi meditasi, perlahan menyerap energi spiritual alam. Sejak kembali bertemu keluarga, mereka merasa lebih damai. Meskipun luka di dalam hati belum sembuh sepenuhnya, hari-hari yang tenang ini seolah memberi waktu bagi mereka untuk bernapas.

Tujuh bulan pun berlalu dengan cepat. Kehidupan sederhana namun penuh kedekatan membuat rumah itu terasa hidup kembali.

Sementara itu, di pusat pelatihan Evening Wind Sect, salah satu cabang utama dari Sekte Angin Senja, seorang gadis muda menjadi pusat perhatian.

Dia adalah Jian Sixie.

Tubuhnya seputih salju musim pertama, rambut hitam legamnya diikat sederhana namun anggun. Wajahnya tenang, tak banyak ekspresi. Tatapannya dingin namun menyimpan keteguhan.

Saat ini, kompetisi tingkat internal sedang berlangsung di antara cabang-cabang Evening Wind Sect. Jian Sixie telah menaklukkan tiga tahap sebelumnya, dan kini ia berdiri di panggung keempat, hanya selangkah lagi menuju final.

Penonton bersorak ada yang kagum, ada yang iri. Suara bisik-bisik terdengar di tribun.

“Itu Jian Sixie dari cabang timur, bukan? Dia terlalu kuat untuk usianya…”

“Tch, pasti ada yang melatihnya diam-diam. Tak mungkin dia hanya mengandalkan bakat…”

“Bodoh, itu bakat sejati. Kau takkan bisa mengerti.”

Namun, Jian Sixie tak peduli dengan suara-suara itu. Matanya hanya tertuju ke depan, fokus penuh pada kompetisi. Hatinya tenang… tapi jauh di dalam pikirannya, ada dua nama yang terus muncul.

Lawzi Zienxi dan Lawzi Vuyei.

“Di mana kalian sekarang? Apakah kalian selamat?”

Dia masih tak tahu bahwa dua sepupunya kini berada tak jauh dari tempat tinggalnya. Namun sesuatu dalam hatinya seakan berkata, waktu untuk pertemuan itu… semakin dekat.

Sorak sorai belum juga reda ketika nama-nama peserta tahap keempat diumumkan.

“Pertarungan berikutnya Jian Sixie dari cabang timur melawan Chi Duyi dari sekte utama!”

Penonton langsung bersemangat. Chi Duyi adalah murid unggulan dari pusat Evening Wind Sect, yang dikenal memiliki teknik serangan angin yang agresif dan tak mudah dipatahkan.

Arena batu spiritual bergetar ketika keduanya naik ke atas panggung. Angin berdesir lebih kencang, seolah ikut menyambut pertarungan yang akan mengguncang langit sore.

Jian Sixie berdiri tenang, wajahnya tanpa emosi. Di hadapannya, Chi Duyi menyeringai dengan kepercayaan diri berlebih.

“Kau kuat, Sixie,” katanya, menarik pedang panjang dari punggungnya. “Tapi jangan harap bisa mengalahkan murid utama seperti aku.”

Jian Sixie tak membalas. Ia hanya mengangkat tangan kirinya perlahan, aura putih kebiruan mulai membungkus tubuhnya, angin dingin mengalir di sekitarnya, membuat suhu arena menurun drastis.

Pertarungan dimulai.

Chi Duyi menyerang lebih dulu. Pedangnya menebas udara, menciptakan Gust Blade Formation serangkaian tebasan angin tajam yang melesat ke arah Sixie.

Sixie bergerak cepat, tubuhnya berputar ringan dan menangkis serangan-serangan itu dengan gelombang angin spiral miliknya Silent Wind Barrier. Riak angin bertabrakan, menciptakan ledakan kecil yang membuat tanah bergetar.

“Dia bisa menangkis teknik Duyi dengan efisiensi seperti itu?”

“Itu teknik bertahan tingkat tinggi… dia mempelajarinya sendiri?”

Sorakan penonton terdengar semakin riuh.

Chi Duyi tak memberi waktu. Ia bergerak zig-zag dan meluncur maju, pedangnya kini menyala dengan elemen angin murni Storm Fang Strike!

Jian Sixie melompat mundur, menghindar di saat terakhir, dan membalas dengan Snow Whisper Slash gelombang angin beku yang menghantam dada Duyi, membuatnya terpental beberapa langkah.

“Kau cukup tangguh…” ucap Duyi sambil mengelap darah di sudut bibirnya. “Tapi aku belum selesai!”

Dia menusukkan pedangnya ke tanah dan mulai memusatkan kekuatan. Aura hijau kehijauan mengelilinginya, menciptakan pusaran kecil yang makin membesar. Teknik pamungkasnya Eye of the Storm.

Namun Jian Sixie tetap tenang. Ia mengangkat tangan, lalu menggabungkan tekniknya menjadi satu gerakan cepat. Frozen Petal Gale.

Bunga-bunga es kecil beterbangan, terbentuk dari angin dingin dan salju halus. Mereka berputar-putar lalu menghantam pusaran angin milik Duyi. Suara keras bergema saat dua kekuatan itu bertabrakan. Arena dipenuhi kabut putih yang dingin menggigit.

Ketika kabut mulai mereda, hanya satu sosok yang masih berdiri tegak.

Jian Sixie.

More Chapters