LightReader

Chapter 35 - Chapter 35 – Twilight Before the Peak

Chapter 35 – Twilight Before the Peak (Senja Menjelang Puncak)

Chi Duyi jatuh berlutut, tubuhnya kelelahan, napasnya terengah. Ia mendongak, lalu tertawa kecil.

“Hahaha… ternyata benar. Aku belum cukup kuat.”

“Pemenang, Jian Sixie!” seru seorang murid sekte dari sisi arena.

Penonton pun meledak dalam sorakan. Beberapa bertepuk tangan dengan kagum, lainnya hanya diam dengan rasa iri. Tapi semua sepakat Jian Sixie bukan murid biasa.

Di tengah keramaian itu, Sixie tetap diam. Ia menatap langit senja dan berbisik dalam hati:

"Aku makin dekat… Lawzi Zienxi, Vuyei… tunggu aku."

Sinar matahari senja menyusup lembut ke sela-sela bangunan batu putih Sekte Angin Senja. Jian Sixie berjalan perlahan di sepanjang lorong utama setelah pertandingan terakhirnya. Kemenangan melawan Chi Duyi masih segar di benaknya, namun ia tahu ujian yang sebenarnya masih menantinya di depan: Puncak Kompetisi di Sekte Utama.

Saat hendak berbelok menuju ruang istirahat, langkahnya terhenti ketika melihat sosok yang sangat dikenalnya seorang wanita setengah paruh baya dengan jubah biru langit yang melambai ditiup angin pegunungan.

“Sixie,” panggil wanita itu dengan suara lembut namun tegas.

Sixie segera menundukkan kepala dengan sopan. “Guru Mau Wei.”

Mau Wei mendekat, sorot matanya mengamati murid kesayangannya dengan bangga. “Kau sudah melangkah sangat jauh, lebih cepat dari yang pernah kuduga. Pertarunganmu tadi... sangat rapi dan efisien. Tapi ingat, kompetisi di Gunung Awan Kelabu tak hanya menguji kemampuan, tapi juga hati dan ketenangan jiwa.”

“Terima kasih atas bimbingannya selama ini, Guru,” jawab Sixie dengan senyum kecil yang jarang muncul di wajahnya yang dingin. “Aku akan bersiap sebaik mungkin.”

Mau Wei menepuk bahunya perlahan. “Istirahatlah malam ini. Angin dari barat laut tak ramah bagi mereka yang tak siap.”

Sixie membungkuk singkat, lalu melanjutkan langkahnya tanpa menoleh ke belakang.

Sementara itu, di kota Holuang yang ramai, suasana berbeda mengalir pelan. Langit mulai berwarna jingga, dan jalanan kota dipenuhi aroma makanan, suara tawa, serta dengungan obrolan para penduduk dan kultivator dari berbagai daerah.

“Kakak, ayo jalan-jalan sebentar. Kita sudah terlalu lama duduk dan berkultivasi,” ajak Vuyei sambil menarik lengan sepupunya.

Zienxi mendesah ringan, tapi mengangguk. “Baiklah, hanya sebentar.”

Mereka berjalan menyusuri jalan utama, melewati toko-toko batu giok, kios herbal, dan pelatih spiritual yang sedang menunjukkan teknik dasar kepada murid-murid muda. Di antara kerumunan, beberapa orang tampak memakai jubah sekte.

“Lihat, itu dari Sekte Akar Hitam,” bisik Vuyei pelan, matanya memandangi sekelompok murid dengan lambang akar melingkar di dada mereka.

Zienxi mengangguk tanpa banyak bicara, tapi matanya mengamati dengan tenang. Mereka juga melihat beberapa anggota dari sekte cabang Angin Senja lainnya, serta pemuda-pemudi dari Klan Lin, Klan Fei, dan Klan Qiao.

“Orang-orang ini pasti berkumpul karena kompetisi besar di Gunung Awan Kelabu itu,” gumam Vuyei.

“Kita lihat saja nanti siapa yang bersinar,” jawab Zienxi singkat.

Hari mulai merambat gelap, dan cahaya oranye yang menggantung di langit perlahan memudar di balik bangunan-bangunan kota Holuang. Suasana kota bagian timur tetap ramai, dengan aroma masakan jalanan menyusup di antara kerumunan dan lampu lentera mulai dinyalakan satu per satu.

Vuyei dan kakaknya, Zienxi, masih berjalan menyusuri jalur berbatu yang dipenuhi toko-toko kecil dan tenda para pedagang. Vuyei sesekali berhenti di kios-kios makanan, matanya bersinar-sinar saat melihat berbagai jajanan unik khas kota itu.

“Ah, kak, lihat yang ini! Kue bulat ini katanya bisa bikin stamina naik tiga kali lipat kalau dimakan saat latihan,” ucap Vuyei sambil menunjuk semacam kue berwarna ungu muda yang dibungkus daun hijau tipis. Ia merogoh saku bajunya dan mengeluarkan beberapa koin.

“Itu dari bibi Sixie, kan?” tanya Zienxi tanpa menoleh, matanya tetap mengamati orang-orang yang lalu lalang di sekitar mereka.

“Iya, katanya supaya aku bisa beli yang kusuka... mungkin karena tadi pagi aku bantu nyiapin makanan,” jawab Vuyei sambil tersenyum kecil. Ia membeli dua kue dan sebatang manisan akar merah, lalu menyodorkan salah satunya ke Zienxi.

Zienxi hanya melirik sebentar, lalu menggeleng pelan.

“Tidak lapar,” ucapnya datar.

Vuyei mengangkat bahu, menggigit kuenya sendiri, dan berkata dengan mulut penuh, “Enak, loh.”

Zienxi tetap diam, pandangannya menyapu ke arah sekelompok murid muda berseragam Sekte Akar Hitam yang berjalan di seberang jalan sambil tertawa keras. Ada juga beberapa pria berjubah putih bersulam ungu dengan lambang Klan Lin di pundak mereka, berjalan tenang di belakang para penjaga bersenjata ringan.

“Tempat ini... terlalu ramai,” gumam Zienxi pelan.

“Kalau terlalu ramai, mau kita cari tempat duduk sebentar?” tawar Vuyei, suaranya lembut.

Zienxi akhirnya mengangguk pelan.

Mereka berjalan menuju sebuah taman kecil di pinggiran distrik timur, di mana suara bising kota mulai mereda, dan hanya cahaya lentera serta semilir angin yang menemani. Suasana kota Holuang berubah dari hiruk pikuk menjadi bayang-bayang tenang menjelang malam puncak seleksi.

Di sudut penginapan khusus murid terpilih Sekte Angin Senja, Jian Sixie terbaring di atas ranjang kayu berlapis kain putih bersih. Kamar itu sederhana, namun cukup nyaman untuk beristirahat. Lampu kristal kecil menggantung di langit-langit, memantulkan cahaya lembut yang membuat bayangan samar di dinding batu.

Ia memandangi langit-langit itu tanpa berkedip, matanya sedikit sayu, tapi pikirannya penuh. Aura tipis menyelimuti tubuhnya ia telah mencapai Vein Opening Stage tahap menengah, dan saat ini berada di ambang untuk melangkah ke tahap akhir. Namun bukan itu yang memenuhi benaknya.

"Empat hari lagi..." bisiknya dalam hati.

Kompetisi puncak di Sekte Utama Angin Senja akan segera dimulai. Ajang di mana seluruh murid terbaik dari berbagai cabang akan bertarung, menunjukkan kemampuan dan tekad mereka.

Sixie mengepalkan selimut tipis di atas perutnya.

"Aku harus menang... atau setidaknya, tidak boleh lemah."

Ia menarik napas dalam, lalu menutup mata sejenak. Namun pikirannya terus mengembara, dan sebuah bayangan masa lalu muncul dalam benaknya dua wajah muda yang dulu ia kenal.

Lawzi Zienxi dan Lawzi Vuyei.

"Sudah sejauh mana kalian sekarang? Masihkah kalian hidup damai di desa itu?"

Ia menggigit bibir bawahnya, matanya kembali terbuka. Ada sedikit kilau sendu di dalamnya.

"Kalau suatu saat takdir mempertemukan kita lagi... aku ingin cukup kuat untuk bisa melindungi kalian berdua. Setidaknya, lebih kuat dari masa lalu kita yang lemah..."

Ia memejamkan mata, membiarkan pikirannya tenggelam dalam keheningan malam yang mulai menyelimuti kota Holuang.

Mentari pagi menyelinap lembut di antara celah atap rumah keluarga Jian di distrik timur kota Holuang. Angin membawa aroma embun dan suara burung yang berkicau pelan, menciptakan suasana yang damai.

Lawzi Zienxi duduk diam di teras rumah, dengan punggung bersandar pada tiang kayu. Pandangannya menatap langit yang mulai memerah keemasan, seperti tengah merenungkan sesuatu yang jauh di luar jangkauan dunia ini. Sinar matahari membias di matanya yang bening, tapi dingin, menyiratkan ketenangan sekaligus kehampaan.

Di dalam rumah, suara panci dan pisau dapur terdengar samar. Vuyei tengah sibuk membantu bibinya, Defei Sixie, mempersiapkan sarapan.

“Potong sayurannya seperti ini, jangan terlalu tebal,” kata Sixie sambil menunjukkan caranya, tangannya cekatan seperti sudah terbiasa memasak setiap pagi.

“Iya, Bibi. Aku coba ulangi,” jawab Vuyei, memusatkan perhatian pada papan potong.

Sixie sesekali tersenyum, lalu memandang ke arah pintu yang terbuka ke teras. “Zienxi sudah bangun dari tadi?”

“Sudah. Sejak langit masih gelap, dia duduk di sana,” jawab Vuyei pelan, “Entah apa yang dia pikirkan. Tapi aku tahu dia tenang kalau seperti itu.”

Sixie mengangguk pelan. “Ketenangan itu tak selalu berarti damai... kadang, itu cara seseorang menyembunyikan lukanya.”

Vuyei terdiam sejenak, sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya.

Sementara itu, Jian Lode paman mereka telah berangkat sejak pagi menuju pusat kota Holuang. Ia membawa daftar belanjaan dan beberapa kantong kulit kecil berisi koin, berjalan melewati lorong-lorong kota yang mulai hidup oleh suara pedagang dan pejalan kaki.

Hari baru dimulai, dan dengan setiap sinarnya, harapan maupun ketegangan menjelang kompetisi puncak di Twilight Wind Sect perlahan menyatu dalam denyut kehidupan mereka yang terlibat.

Sambil terus memandang matahari pagi yang perlahan naik di ufuk timur, Zienxi tetap diam. Tapi dalam diamnya, pikirannya bergemuruh.

“Aku tidak bisa terus seperti ini. Dunia ini luas dan penuh bahaya… Jika aku ingin menemukan siapa yang membunuh Ayah dan Ibu aku harus menjadi lebih kuat… jauh lebih kuat dari siapa pun.”

Kedua tangannya mengepal di pangkuan, rahangnya mengencang. Cahaya pagi menyinari sebagian wajahnya yang pucat dan dingin seperti sedang menyembunyikan nyala api yang membara di dalam.

“Tak peduli seberapa panjang jalannya, seberapa dalam jurangnya… aku akan menempuhnya. Demi mereka.”

Angin lembut bertiup, seolah merespons sumpahnya yang tak terdengar oleh siapa pun, kecuali dirinya dan langit yang menjadi saksi.

More Chapters