LightReader

Chapter 39 - Chapter 39 – Spirit Root Ring

Malam merangkak pelan di atas distrik timur kota Holuang. Angin berhembus lembut melewati jendela kayu rumah keluarga Jian Lode dan Defei Sixie, membawa aroma tanah basah dan embun malam. Di dalam ruang utama rumah mereka yang hangat dan sederhana, cahaya lentera minyak bergoyang pelan, menciptakan bayangan yang menari-nari di dinding.

Suasana di ruang itu dipenuhi tawa kecil dan canda ringan. Jian Lode sedang bercerita tentang masa mudanya saat ia mencoba menyusup ke dapur sekte hanya demi mencuri sepotong ayam panggang, sementara Defei Sixie terus menyela ceritanya dengan ekspresi penuh tak percaya.

“Aku bilang waktu itu, kalau kau kena tangkap, jangan sebut-sebut nama keluargaku!” kata Defei sambil tertawa, menggeleng pelan. “Tapi apa yang kau lakukan? Kau malah teriak-teriak namaku seperti bocah hilang!”

“Yah, setidaknya aku dapat ayamnya!” Jian Lode menimpali dengan bangga, lalu mengangkat alis pada Zienxi dan Vuyei. “Dan itu salah satu malam terbaik dalam hidupku.”

Vuyei tertawa sambil menyandarkan tubuhnya di bahu Zienxi. “Kukira Paman dulunya murid yang serius dan bijak…”

“Bijak? Dia bahkan hampir diusir dari sekte gara-gara urusan makanan!” sahut Defei cepat-cepat.

Tawa mengisi ruangan lagi, hangat dan tulus. Tapi di tengah riuh canda itu, Lawzi Zienxi mendadak diam. Ia menarik napas panjang, lalu menegakkan duduknya. Senyum kecil yang tadi tergambar di wajahnya memudar, terganti dengan ketenangan yang serius.

“Paman… Bibi…” katanya pelan, namun cukup jelas untuk membuat ruangan hening.

Jian Lode dan Defei menoleh bersamaan, tatapan mereka langsung berubah lebih fokus. Vuyei ikut mendongak, menatap kakaknya penuh perhatian.

“Ada sesuatu yang sudah lama kupikirkan. Aku rasa… waktunya aku bicara.”

Zienxi menunduk sejenak, lalu kembali menatap mereka. Matanya tajam, dalam, seperti menyimpan bara yang belum padam.

“Aku ingin pergi berkelana. Keluar dari kota ini. Keluar dari zona nyaman. Aku ingin melihat dunia luas dengan mataku sendiri… dunia para kultivator yang sesungguhnya. Aku ingin mencari pengalaman. Dan… mungkin, bergabung dengan sekte lain. Sekte yang berada di kota lain, atau bahkan negeri lain.”

Keheningan jatuh di antara mereka. Jian Lode dan Defei saling bertatapan, tatapan yang tak butuh kata untuk saling memahami. Vuyei tetap menatap kakaknya, tak berkedip.

“Aku tahu ini bukan keputusan kecil. Tapi… aku merasa kalau aku tetap di sini, aku tidak akan pernah berkembang. Dan…” Zienxi terdiam sejenak, lalu melanjutkan dengan suara lebih pelan, “…aku juga ingin mencari tahu siapa yang menghancurkan keluargaku. Siapa yang bertanggung jawab atas kejadian itu. Aku tidak bisa diam selamanya.”

Jian Lode akhirnya bicara, suaranya dalam dan penuh pengalaman. “Zienxi… dunia di luar sana tak seperti halaman belakang rumah kita. Dunia kultivasi itu luas, keras… kejam. Di luar sana, yang kuat akan dihormati. Tapi yang lemah? Mereka dibuang, dibunuh, dipijak.”

Ia menghela napas, lalu menatap ke arah lentera. “Tapi aku tahu… api dalam matamu tidak akan padam hanya karena kami menyuruhmu bertahan di sini. Mungkin, memang di luar sanalah takdirmu berada.”

Defei Sixie menimpali dengan lembut, nada suaranya seperti aliran sungai tenang namun mengandung kedalaman. “Kau harus hati-hati, Zienxi. Dunia luar… bisa menipu. Jangan terlalu mudah mempercayai orang lain. Hati manusia… mudah berubah. Seperti ombak laut yang tak pernah tenang.”

Zienxi mengangguk pelan. “Aku mengerti, Paman, Bibi. Aku akan hati-hati. Aku akan ingat kata-kata kalian. Aku tidak akan lengah.”

Tiba-tiba, suara lembut namun tegas memotong percakapan itu. Vuyei yang sejak tadi diam, kini duduk lebih tegak. Matanya berkaca-kaca namun penuh tekad.

“Aku ikut.”

Zienxi menoleh cepat. “Apa?”

“Aku ingin ikut.” Vuyei mengulang dengan lebih kuat. “Aku ingin berjalan bersama kakak. Aku tidak mau berpisah.”

“Vuyei…” Zienxi menghela napas, menatap adik sepupunya dengan lembut. “Perjalanan ini tidak akan mudah. Akan ada bahaya yang kita tidak tahu bentuknya. Aku… tidak ingin membawamu ke dalam situasi seperti itu.”

“Aku tidak peduli.” Vuyei menatapnya lurus. “Kau selalu melindungiku. Tapi sekarang, aku ingin berdiri di sampingmu. Aku ingin belajar, bertumbuh, dan menjadi kuat. Kalau memang akan berbahaya, maka biarlah kita hadapi bersama.”

Zienxi terdiam. Waktu seakan melambat di sekelilingnya. Ia menatap wajah Vuyei yang mulai tumbuh dewasa, yang kini bukan lagi sekadar gadis kecil yang selalu ia lindungi.

Akhirnya, ia tersenyum tipis.

“Baiklah,” katanya perlahan. “Kalau begitu, kita akan pergi… bersama.”

Pagi hari menyapa dengan udara sejuk dan kabut tipis yang menyelimuti desa kecil di pinggiran kota Holuang. Kicauan burung terdengar samar di sela-sela pepohonan. Lawzi Zienxi sudah bangun lebih awal dari biasanya. Ia berdiri di depan rumah sederhana pamannya, memandangi hutan di kejauhan sambil menarik napas panjang.

Jian Lode, pamannya, muncul dari dalam rumah sambil membawa kapak kecil di pundaknya. Ia menatap Zienxi dengan senyum tipis.

“Siap bantu cari kayu?” tanyanya ringan.

Zienxi mengangguk. “Tentu, Paman. Sekalian buat pemanasan sebelum jalan jauh.”

Mereka berdua berangkat menuju hutan, menyusuri jalur setapak yang sudah akrab di mata Jian Lode. Sementara itu, di rumah, Vuyei membersihkan halaman bersama bibinya, Defei Sixie. Suara sapu menyapu dedaunan terdengar ritmis, diselingi obrolan ringan mereka tentang cuaca dan rencana ke depan.

Di dalam hutan, Zienxi dan Jian Lode mulai menebang ranting-ranting besar yang jatuh, mengumpulkan kayu kering yang bisa digunakan untuk beberapa hari ke depan. Cahaya matahari yang menembus celah dedaunan membuat suasana hutan tampak damai.

“Zienxi,” kata Jian Lode sambil melemparkan sepotong kayu ke dalam keranjang rotan di punggungnya, “kau sudah yakin mau berkelana keliling dunia begitu?”

Zienxi mengangguk pelan, lalu menatap tumpukan kayu. “Aku harus, Paman. Aku harus tahu siapa yang menghancurkan keluargaku… dan dunia ini terlalu luas untuk hanya tinggal diam.”

Jian Lode mendesah, lalu tersenyum kecil. “Kau selalu keras kepala, persis ayahmu.”

Zienxi tertawa pendek. “Bakat alami dari keluarga Lawzi, ya?”

Mereka tertawa kecil bersama. Setelah hampir satu jam, keduanya kembali ke rumah membawa tumpukan kayu yang cukup besar. Vuyei menyambut mereka di depan rumah, wajahnya penuh peluh tapi cerah.

“Wah, kayunya banyak juga. Bisa buat sebulan!” seru Vuyei.

Zienxi tersenyum. “Kalau buat api unggun romantis, dua bulan juga cukup.”

Vuyei mencibir dan melemparkan sehelai daun ke arah Zienxi. “Dasar!”

Jian Lode menggeleng sambil tertawa. “Sudahlah, kalian itu seperti anak kecil.”

Setelah mereka menyimpan kayu, keluarga kecil itu duduk sebentar di depan rumah. Suasana hening untuk beberapa saat, lalu Jian Lode membuka suara.

“Jadi, kalian akan berangkat hari ini?”

Zienxi menoleh. “Iya, Paman. Mungkin setelah makan siang.”

“Baiklah,” ujar Jian Lode sambil menepuk pundaknya. “Semoga kaki kalian menemukan jalan, dan hati kalian tetap kuat menanggung apa pun yang akan datang.”

Saat siang tiba, langit cerah tanpa awan. Zienxi dan Vuyei berdiri di depan rumah, ransel kecil di punggung mereka. Saat itu, Defei Sixie mendekat sambil memegang sesuatu di tangannya.

“Zienxi, sebelum kau pergi, ada satu hal lagi,” ucapnya lembut.

Ia membuka tangannya dan menampakkan Spirit Root Ring, cincin perak tua dengan batu giok kehijauan kecil di tengahnya. Cincin itu memancarkan aura aneh yang seolah samar tapi menekan hati.

“Mungkin ini akan berguna bagimu di masa depan,” kata Sixie pelan. “Tapi jangan biarkan orang lain melihatnya. Simpan baik-baik.”

Zienxi menerimanya dengan kedua tangan, matanya menyipit, memperhatikan cincin itu sejenak. “Apa ini... benar-benar cincin yang Bibi temukan dulu?”

Sixie mengangguk. “Iya. Saat kami masih muda, aku dan Pamanmu pernah pergi ke tempat bernama Silent God's Valley. Di sanalah aku menemukannya.”

“Silent God's Valley?” tanya Zienxi. “Di mana letaknya?”

Jian Lode menjawab sambil menyandarkan tubuhnya ke tiang rumah, suaranya berat. “Lembah itu ada di ujung kota Holuang, sebelah utara. Tempatnya sunyi dan berbahaya. Banyak pohon besar dengan akar-akar aneh yang mencuat dari tanah. Bahkan langit terasa lebih gelap di sana. Banyak binatang buas juga… kami hanya pernah ke sana sekali, dan tidak pernah kembali.”

Zienxi menunduk, memikirkan tempat itu. “Aku ingin pergi ke sana suatu hari nanti.”

“Kalau kau benar-benar ingin, tunggulah sampai kau sedikit lebih kuat,” ujar Sixie khawatir. “Jangan gegabah.”

“Aku janji,” balas Zienxi, lalu menyelipkan cincin itu ke dalam kantong kecil yang tergantung di lehernya.

Vuyei kemudian memeluk bibinya, diikuti Zienxi yang memeluk pamannya. Suasana menjadi haru, namun dipenuhi harapan.

“Berhati-hatilah, ya,” kata Sixie dengan suara parau. “Jangan sembarangan percaya orang.”

“Kami akan baik-baik saja,” sahut Vuyei dengan senyum ceria. “Kami punya satu sama lain.”

“Dan aku akan jaga dia,” tambah Zienxi sambil menepuk kepala Vuyei, membuat gadis itu memelototinya.

Mereka berdua melangkah pergi, menuruni jalan setapak yang mulai ditelan bayangan pohon. Jian Lode dan Sixie berdiri di depan rumah, menatap punggung kedua anak muda itu yang makin menjauh.

“Semoga mereka menemukan jalan takdir mereka,” bisik Sixie pelan, matanya berkaca-kaca.

“Kalau mereka tetap saling menjaga,” gumam Jian Lode, “aku yakin mereka akan sampai jauh.”

More Chapters