LightReader

Chapter 37 - Chapter 37 – Duel in the Whispering Storm

Chapter 37 – Duel in the Whispering Storm (Pertarungan di Tengah Badai Berbisik)

Langit di atas arena Sekte Angin Senja tampak mendung, seolah menyadari bahwa sebuah benturan yang tak biasa akan segera dimulai. Angin berdesir pelan, membawa aroma hujan yang tertahan. Penonton memenuhi tribun dengan sorakan, namun ketegangan menyelimuti udara. Mereka tahu, pertarungan kali ini bukan sembarang duel.

"Pertarungan berikutnya! Jian Sixie melawan Baifan!" suara lantang murid senior menggema, dan sorak sorai segera membanjiri arena.

Dua sosok berjalan tenang menuju tengah arena. Jian Sixie dengan wajah tanpa ekspresi, mengenakan jubah biru muda khas Sekte Angin Senja, rambutnya yang dikuncir rapi sedikit berkibar tertiup angin. Di hadapannya, Baifan dengan senyum percaya diri, langkahnya ringan namun penuh perhitungan.

"Akhirnya, aku bisa menguji kekuatanmu, Jian Sixie," kata Baifan, senyumnya melebar.

Sixie tak menjawab. Hanya tatapan tenang yang ia lemparkan, seakan Baifan adalah angin lalu.

"Baiklah! Pertarungan... mulai!"

Seketika itu, Baifan melesat maju, mengangkat tangan kanan yang memunculkan pusaran angin tajam.

"Taring Angin Retak!"

Angin berbentuk taring meluncur cepat menuju Sixie. Penonton terkejut melihat Baifan langsung membuka dengan teknik menyerang, bukan bertahan.

Namun Sixie hanya mengangkat satu tangan.

"Silent Wind Barrier."

Seketika, lapisan angin tak bersuara melingkari tubuh Sixie. Taring angin milik Baifan menghantam perisai itu dan menghilang tanpa suara, seolah ditelan kekosongan.

"Apa?! Dia menetralkannya begitu saja?!"

"Teknik pertahanannya benar-benar hening... bahkan tak ada suara benturan!"

Baifan menyeringai. "Menarik..."

Ia menggesekkan kedua telapak tangan dan melompat ke udara.

"Pilar Empat Arah!"

Empat pusaran besar terbentuk di empat titik sekitar Sixie, lalu meledak bersamaan. Arena dipenuhi kabut angin tajam.

"Sixie!" seru seorang penonton.

Namun di tengah kabut, siluet tubuh Sixie tampak masih berdiri.

"Snow Whisper Slash."

Sebuah sabetan angin dingin memotong kabut dari dalam, membelahnya seperti pedang memotong sutra. Baifan yang berada di udara harus memutar tubuhnya untuk menghindari serangan itu, tetapi pinggirannya tetap melukai bahunya.

"Gh! Cepat sekali..."

Sixie tak membuang waktu. Ia melangkah maju, dua jari menyatu membentuk segel.

"Frozen Petal Gale."

Bunga-bunga es muncul di udara, kemudian pecah menjadi ratusan kelopak yang berputar kencang, menyapu area sekitar Baifan. Ini bukan sekadar serangan indah setiap kelopak membawa angin tajam dan hawa beku.

Baifan menghentakkan kaki ke tanah dan mengaktifkan teknik pertahanannya.

"Perisai Spiral Angin!"

Perisai angin melilit tubuhnya, mencoba menangkal badai kelopak salju. Namun beberapa tetap menembus pertahanannya, menyebabkan luka sayatan kecil di pipi dan lengan.

"Dia benar-benar... menusuk dalam setiap gerakannya," gumam Baifan.

Dari tribun, beberapa murid muda berbicara.

"Jian Sixie... dia belum mengubah ekspresi sama sekali."

"Padahal Baifan sudah berusaha memprovokasi."

"Ini seperti menonton badai bertarung dengan badai."

Baifan melompat mundur, bibirnya masih tersenyum.

"Hei, kau ini manusia atau patung? Masa tidak bisa sedikit menikmati pertempuran?"

Sixie tetap tenang.

"Jika kau punya waktu bicara, gunakan untuk menyerang."

"Tsk... dingin sekali," ejek Baifan, namun ia mulai serius. Kedua tangannya terbuka lebar.

"Teknik Rahasia: Gelombang Langit Ketiga!"

Angin dari langit berkumpul di atas kepala Baifan, membentuk pusaran raksasa berlapis tiga yang mengancam menerjang Sixie. Beberapa penonton berdiri karena tekanan spiritual dari teknik itu terasa sampai ke tempat duduk mereka.

Sixie menarik napas. Tangannya terangkat tinggi.

"Wind Step Mirage."

Tubuhnya bergetar, lalu berlipat menjadi bayangan-bayangan yang melompat ke segala arah. Pusaran Baifan menghantam bayangan semua palsu. Tubuh asli Sixie muncul tepat di belakang Baifan, tangannya sudah menyatu dalam formasi serangan.

"Snow Whisper Second Form."

Satu tebasan angin beku menghantam punggung Baifan, menyebabkan tubuhnya terpental ke tanah.

"Ugh..." Baifan bangkit, napasnya berat, pakaian robek di beberapa bagian.

"Kau tidak akan membuatku kalah semudah itu!"

Ia meraih sesuatu dari sabuknya sebuah jimat angin yang digunakan untuk memperkuat satu teknik.

"Storm Dancer Fang!"

Dengan dorongan dari jimat, Baifan berputar cepat seperti tombak angin hidup, meluncur ke arah Sixie. Ini adalah teknik yang jarang digunakan karena risikonya tinggi.

Namun Sixie masih tenang. Ia berdiri dan menatap tajam.

"Frozen Sky Pulse."

Tanah di sekelilingnya membeku dalam radius sepuluh meter. Saat tubuh Baifan memasuki zona itu, gerakannya melambat. Teknik angin Baifan pun goyah karena suhu ekstrem.

Tabrakan terjadi. Angin dan es menghantam satu sama lain, menciptakan gelombang udara yang mengguncang arena.

Keduanya terpental mundur, berdiri saling berhadapan. Napas Baifan mulai tersengal, namun Sixie masih tenang, meskipun pundaknya sedikit berdarah.

Sorak-sorai kembali membahana dari tribun.

"Gila! Ini pertarungan antar pemula?!"

"Rasanya seperti melihat dua senior tingkat tinggi bertarung!"

"Siapa yang akan menang, ya? Tapi aku suka ketenangan Sixie... dia mengerikan."

Baifan tertawa kecil.

"Kau benar-benar berbeda... kau seperti danau beku yang menyembunyikan pusaran di bawahnya. Tapi aku juga tidak akan berhenti."

Sixie tidak membalas. Ia hanya menarik napas, dan mengangkat tangan sekali lagi.

"Silent Wind Barrier."

Perisai diam itu kembali muncul, siap untuk ronde berikutnya.

Pertarungan terus berlanjut, membuat seluruh arena terpaku. Gerakan demi gerakan semakin cepat, mantra demi mantra semakin rumit, dan kehendak masing-masing semakin membara.

Namun keduanya belum menyerah, karena harga diri mereka sebagai murid Sekte Angin Senja dipertaruhkan di hadapan ribuan pasang mata.

Debu dan serpihan es beterbangan, menciptakan pemandangan seperti badai mini di tengah arena. Serangan demi serangan terus bertukar. Baifan mencoba kembali menekan dengan kombinasi serangan cepat teknik, namun nafasnya mulai tak teratur. Matanya kehilangan kilatan percaya diri yang sebelumnya ia pertontonkan.

Jian Sixie tetap di tempatnya, menanti celah. Jubah birunya sedikit robek di bahu, dan ada goresan di pipinya. Darah tipis mengalir dari sudut bibir, namun pandangannya masih tenang. Tak ada kebencian, tak ada amarah, hanya kehendak untuk bertahan dan menang.

Baifan mengerang pelan, tubuhnya mulai tak mampu mengikuti kehendaknya. Dengan satu langkah terakhir, dia mencoba menyerang dengan Taring Angin Retak, tapi tubuhnya malah goyah.

“Urrghhhh…!” Baifan akhirnya terjatuh di lutut, terengah-engah, kedua bahunya terangkat dan turun berat. Nafasnya terdengar seperti tiupan angin yang kehabisan kekuatan.

Jian Sixie, masih setengah berdiri, menatapnya. Ia tidak maju, tidak menyerang saat Baifan lemah. Ia hanya membiarkan waktu yang menentukan. Dan akhirnya...

“Pemenang pertandingan ini, Jian Sixie!” teriak murid senior yang mengawasi arena dengan suara lantang.

Sorak sorai meledak dari tribun. Pendukung Jian Sixie berdiri dan berseru bangga. Beberapa bahkan meneriakkan namanya:

“Sixie!” “Sekte Angin Senja jaya!” “Itu dia murid sejati dari barat!”

Dari tribun bagian atas, beberapa tetua Sekte Angin Senja berdiri sambil mengangguk pelan.

“Tenang, kuat, dan penuh presisi. Anak ini memiliki fondasi luar biasa,” ucap Tetua Muru.

“Dia tidak hanya punya teknik, tapi juga pengendalian emosi. Jarang sekali di usia semuda itu,” tambah Tetua Huilen sambil tersenyum.

Di bawah, Jian Sixie menarik napas perlahan. Ia membungkukkan badan dengan hormat ke arah para tetua dan juri.

“Terima kasih...” Suaranya terdengar pelan tapi jelas, melayang ringan seperti angin pagi.

Baifan yang masih terengah mencoba berdiri. Melihat itu, Sixie pun melangkah mendekat dan mengulurkan tangan.

Baifan sempat terdiam, lalu menerima uluran tangan itu dengan senyum pahit. “Kau kuat sekali, Jian Sixie. Aku... harus berlatih lebih keras.”

Sixie mengangguk kecil. “Dan aku harus belajar menahan luka seperti ini.” Ia menyinggung pipinya yang berdarah tipis.

Mereka berdua pun berjalan perlahan keluar arena, sementara sorak sorai masih menggema di udara.

Kerumunan penonton mulai berangsur bubar. Langit sore menyelimuti arena dengan warna keemasan yang temaram. Mei Yui masih berdiri di sisi tribun, tatapannya tertuju pada arena kosong tempat Jian Sixie tadi berdiri penuh wibawa.

Goresan di pipi Sixie, darah di sudut bibirnya, serta keteguhan yang tak goyah bahkan saat menghadapi tekanan, membuat Mei Yui terdiam lama. Ia menggigit bibir bawahnya pelan, wajahnya mulai dipenuhi bayangan kekhawatiran.

“Besok… aku harus melawannya,” gumamnya lirih. Suaranya nyaris tak terdengar.

Ia mengepalkan tangan, mencoba menenangkan degup jantungnya yang tak teratur. Di balik segala latihan dan kepercayaan dirinya, untuk pertama kalinya sejak seleksi dimulai, Mei Yui merasa ragu. Bukan karena dia lemah tetapi karena Jian Sixie begitu kokoh… seperti tak bisa digoyahkan.

“Bisakah aku menang?” tanyanya pada dirinya sendiri. Namun tak ada jawaban, hanya angin sore yang lewat begitu saja.

Sementara itu, jauh dari keramaian arena, suasana berbeda terasa di rumah keluarga Jian Lode. Rumah kayu dua lantai yang tenang itu dipenuhi cahaya lembut matahari senja. Di lantai atas, Lawzi Zienxi duduk termenung di sisi jendela kamarnya. Pandangannya kosong, namun pikirannya penuh gejolak.

Sudah beberapa hari ia diam, mengikuti kegiatan keluarga, menahan diri untuk tidak bertanya atau berbicara terlalu banyak. Namun hari ini, setelah menyaksikan semua yang terjadi tekad, ambisi sesuatu dalam dirinya mulai bergetar lagi.

Ia menyentuh dada kirinya, tepat di tempat ia merasakan nyeri setiap kali mengingat hari kelam itu… hari ketika keluarganya direnggut tanpa ampun.

More Chapters