Chapter 33 – Soaring Toward Holuang
Lawzi Zienxi menatap Vuyei yang masih melambaikan tangan. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menatap wajah adiknya, lalu menoleh ke arah sekelompok teman yang telah menjadi bagian dari perjalanan mereka.
Akhirnya, mereka pun melangkah bersama keluar dari gerbang besar Seven-Faced Leaf Sect, menuju arah barat menuju kota Holuang. Tanah baru, bab baru, dan masa depan yang tak seorang pun tahu akan membawa mereka ke mana.
Langit siang itu cerah, tetapi ada sejumput berat dalam dada sesuatu yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang pernah benar-benar meninggalkan rumah keduanya.
Langit barat mulai memerah ketika dua sosok melesat melintasi awan, terbang dengan stabil di atas pedalaman benua. Lawzi Zienxi dan adiknya, Lawzi Vuyei, meninggalkan Sekte Seven-Faced Leaf menuju tempat yang telah mereka tetapkan, kota Holuang di wilayah barat.
Sudah dua hari perjalanan berlalu sejak mereka meninggalkan gerbang sekte. Sepanjang jalan, Vuyei tampak penuh semangat. Ia terus menunjuk ke arah pemandangan yang memikat dari ketinggian, hutan lebat yang berkilau diterpa sinar matahari, sungai yang meliuk seperti naga tidur, dan desa-desa kecil yang tampak seperti titik-titik mungil dari atas.
“Kak Zienxi, lihat! Itu kayak danau di antara gunung! Indah banget!” seru Vuyei sambil menunjuk ke arah utara.
Zienxi hanya melirik dan mengangguk pelan. “Itu wilayah Klan Namu, kalau tidak salah. Mereka dikenal suka bercocok tanam spiritual.”
Vuyei terkekeh, “Aku baru pertama kali melihat pemandangan sebanyak ini. Aku tak tahu dunia di luar sekte ternyata seluas ini.”
Dalam perjalanan, mereka beberapa kali berhenti untuk beristirahat dan makan dari persediaan yang mereka simpan dalam kantong spiritual. Seringkali, mereka menemukan tempat-tempat sunyi di puncak bukit atau hutan teduh untuk bermalam. Saat istirahat di sebuah hutan cemara, Vuyei sempat melihat seekor kelinci kecil yang sedang memakan akar, dan tak lama setelahnya, seekor harimau putih bermata biru yang hanya menatap mereka sebelum menghilang ke balik pepohonan.
“Kak, tadi itu... harimau putih, ya?” tanya Vuyei dengan mata membelalak.
“Hmm. Sepertinya hewan peliharaan seorang kultivator. Kita jangan ganggu,” jawab Zienxi tenang.
Di hari ketiga, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Udara pagi terasa lebih dingin, dan kabut tipis masih menggantung di atas hutan. Sesekali mereka berpapasan dengan kultivator lain di langit atau di jalan bawah. Sebagian tampak tergesa, sebagian terbang dengan tenang.
“Yang itu kayaknya udah di tahap Spirit Root Cultivation Stage ya, Kak?” tanya Vuyei sambil menatap sosok berjubah biru yang melintas cepat.
“Benar. Tapi yang barusan lewat tadi, aku rasa baru di Meridian Awakening Stage,” jawab Zienxi sambil tetap fokus pada arah terbang mereka.
Hari mulai merambat senja ketika mereka melihat dari kejauhan puncak-puncak bangunan tinggi yang mencuat dari balik perbukitan. Di bawahnya, cahaya mulai berpendar dari ribuan lentera yang tergantung di seluruh penjuru kota.
“Kita hampir sampai,” ucap Zienxi perlahan.
Mata Vuyei berbinar saat melihat gerbang besar kota Holuang mulai tampak jelas.
“Wah... jadi ini kota tempat tinggal Kak Sixie dan Bibi Defei?” katanya dengan senyum lebar.
Zienxi hanya tersenyum tipis. “Ya. Kita akan segera tahu apa yang menanti di sana.”
Setelah beberapa waktu melintasi langit, akhirnya Zienxi dan Vuyei mendarat perlahan di depan gerbang kota Holuang. Gerbangnya tampak cukup megah, dihiasi ukiran-ukiran batu tua yang menunjukkan sejarah kota itu sebagai salah satu pusat budaya dan perdagangan di wilayah barat. Mereka berjalan memasuki kota, menyusuri jalan utama yang ramai. Di sepanjang jalan, para penduduk lalu-lalang, ada yang jelas manusia fana, dan ada pula yang seorang kultivator dengan aura yang tenang tapi tak terlalu kuat.
Vuyei melangkah dengan gembira. Pakaian indahnya berayun lembut, matanya menyapu ke kiri dan kanan seolah menyerap seluruh kehidupan kota Holuang.
"Aku suka tempat ini..." gumamnya pelan, lalu menoleh pada kakaknya. "Kak... kita akan langsung ke rumah Paman Jian Lode dan Bibi Sixie, atau menginap dulu malam ini?"
Zienxi tetap berjalan tenang di sampingnya, sesekali memperhatikan keramaian dengan waspada.
"Kita cari penginapan dulu," jawabnya pelan. "Hari mulai gelap. Besok pagi kita cari rumah mereka. Kota ini luas, lebih baik tidak mencarinya saat malam."
Vuyei mengangguk setuju. Mereka pun menelusuri gang demi gang, mencari tempat menginap yang tenang dan aman. Namun, ketika mereka melewati sudut jalan sempit yang agak sepi, seorang pria kultivator dengan pakaian lusuh dan aura dari ranah Vein Opening Stage tahap menengah menghampiri mereka. Senyumannya miring dan sorot matanya menyebalkan. Dia memandangi Vuyei dengan pandangan menggoda.
"Hai, nona manis... Apa kau butuh teman malam ini?" ucapnya sambil mendekat.
Vuyei terkejut, melangkah mundur dengan wajah memucat. Tatapan pria itu benar-benar membuatnya tidak nyaman.
Namun sebelum pria itu sempat melangkah lebih jauh, Zienxi mengangkat satu tangan. Aura dingin tiba-tiba mengalir di udara. Dalam sekejap, tekanan spiritual muncul di sekeliling mereka, dan sebuah bayangan ilusi dari sebelas pedang mengelilingi Zienxi, Mantra Pedang 11 Ilusi.
Tatapan pria itu berubah panik. Wajahnya pucat saat merasakan tekanan dari teknik Zienxi. Tanpa berkata apa-apa, dia langsung berbalik dan lari terbirit-birit meninggalkan tempat itu.
Vuyei menghela napas lega, lalu tersenyum geli. "Pengecut," katanya pelan. Ia menepuk lembut lengan kakaknya. "Terima kasih, Kak."
Zienxi hanya mengangguk kecil tanpa menoleh, dan mereka melanjutkan perjalanan.
Beberapa saat kemudian, mereka menemukan penginapan yang cukup nyaman bernama Air Biru. Papan kayu dengan tulisan elegan menggantung di atas pintu, diterangi lentera biru redup. Mereka memutuskan untuk bermalam di sana.
Malam itu, setelah membersihkan diri dan makan sedikit dari persediaan, mereka beristirahat dengan tenang. Besok, mereka akan melanjutkan pencarian ke rumah keluarga Jian di jantung kota Holuang.
Pagi merekah dengan lembut di Kota Holuang. Cahaya mentari menembus celah-celah bangunan, menciptakan siluet hangat yang menyelimuti jalanan batu dan gang sempit. Di lantai atas penginapan Air Biru, dua sosok berdiri di balkon kecil, menyambut udara segar pagi.
Lawzi Vuyei tersenyum cerah sambil menengadah ke langit, angin pagi membelai rambutnya yang tergerai rapi. "Kak... aku suka kota ini. Hangat, hidup... tapi tetap terasa tenang," katanya lembut, matanya memandangi pemandangan jalanan yang mulai ramai.
Zienxi berdiri di sampingnya, mengenakan jubah ringan yang ia sesuaikan dengan cuaca pagi. Tatapannya awas, tapi ada sedikit ketenangan dalam sorot matanya. "Hati-hati dengan kesan pertama, Vuyei. Kota ini besar... kadang yang terlihat tenang justru menyimpan hal lain."
Vuyei hanya tersenyum kecil dan menggandeng lengan kakaknya dengan manja. "Baiklah, Tuan Penjaga... mari kita cari rumah Paman dan Bibi."
Menjelang siang, mereka meninggalkan penginapan dan berjalan menyusuri jalanan utama menuju pusat kota. Di sepanjang jalan, bangunan tinggi dari batu cokelat tua berdiri gagah, dihiasi dengan bendera-bendera kecil yang menandakan wilayah kekuasaan masing-masing klan dan sekte.
Beberapa nama terkenal terpampang di gapura kayu dan pilar batu, Klan Jian, Klan Wuren, Sekte Akar Hitam, dan Sekte Angin Senja semuanya memiliki tempat di jantung kota Holuang.
Lawzi Zienxi berjalan di depan, matanya terus mengamati sekeliling. Sementara itu, Vuyei sibuk melihat-lihat toko-toko kecil yang menjual berbagai barang aneh dan aksesoris khas para kultivator.
Mereka berhenti di depan sebuah kios buah spiritual, di mana seorang pedagang tua tampak sedang menata dagangannya.
Zienxi mendekat dengan sopan. “Permisi, Tuan. Bolehkah aku bertanya sesuatu?”
Pedagang itu menoleh, senyumnya ramah meski wajahnya dihiasi kerutan. “Silakan, anak muda.”
“Aku mencari seseorang. Namanya Jian Lode, istrinya Defei Sixie. Apakah Tuan mengenal mereka atau tahu di mana mereka tinggal?”
Pedagang itu mengangguk perlahan, lalu menunjuk ke arah timur. “Aku tidak kenal mereka secara pribadi, tapi nama itu tak asing. Jika tak salah, mereka tinggal di Distrik Timur kota ini. Tempat yang cukup tenang, dekat dengan perbukitan kecil di belakang tembok kota.”
Zienxi mengangguk hormat. “Terima kasih atas bantuannya.”
“Tidak masalah. Hati-hati di jalan, anak muda. Kota ini besar… dan tidak semua penjuru bersahabat,” ucap pedagang itu, sebelum kembali merapikan buah-buah spiritualnya.
Zienxi berbalik dan memberi isyarat pada Vuyei yang segera menghampiri. "Kita punya arah sekarang. Distrik Timur."
Vuyei tersenyum lega. “Syukurlah… aku berharap mereka baik-baik saja.”
Zienxi hanya mengangguk pelan, dan bersama-sama mereka melanjutkan perjalanan, meninggalkan hiruk-pikuk tengah kota, menuju arah yang membawa mereka lebih dekat ke keluarga yang lama tak mereka temui.