LightReader

Chapter 32 - Chapter 32 – A Bond Sharpened by Time

Chapter 32 – A Bond Sharpened by Time (Ikatan yang Ditempa Waktu)

Sepuluh tahun telah berlalu sejak tawa ringan di halaman Paviliun Lazuardi memenuhi sore itu. Waktu berjalan seperti sungai yang tak pernah berhenti, mengikis sisi lama dan menajamkan bentuk baru.

Di tepi kolam giok yang tenang, dua sosok duduk bersisian dalam diam. Lawzi Zienxi kini berusia 41 tahun, dan adiknya, Lawzi Vuyei, 40 tahun. Namun bagi para kultivator, usia itu belum seberapa meski jiwa mereka telah melalui tempaan panjang yang tak bisa diukur hanya dengan angka.

Zienxi telah berubah. Dulu dia adalah anak lelaki yang penuh rasa ingin tahu, namun kini matanya menyimpan ketegasan yang sulit dibaca. Ia dingin, acuh tak acuh, dan selalu berpikir tajam tanpa membuang waktu. Ia tidak lagi membuka dirinya dengan mudah, bahkan kepada mereka yang pernah dekat.

Di sampingnya, Vuyei tak kalah mencolok. Wajahnya menunjukkan ketenangan yang tak mudah digoyahkan. Kepada orang asing, dia tak segan menunjukkan sikap dingin, bahkan nyaris tak tersentuh. Namun di hadapan sang kakak, ia tetap Vuyei yang dulu: lembut, perhatian, dan terkadang melontarkan celetukan lucu yang hanya dimengerti Zienxi.

Keduanya kini berada di tingkat Vein Opening Stage Puncak, sebuah batas yang menandai kesiapan mereka untuk menerobos ke tahap kultivasi yang lebih dalam.

Angin lembut menerpa permukaan kolam, memantulkan cahaya senja dalam riak halus. Zienxi akhirnya memecah keheningan.

“Apa menurutmu... sudah waktunya kita ke Holuang?”

Nada suaranya rendah dan datar, tak menunjukkan keraguan, tapi jelas penuh pertimbangan.

Vuyei tidak langsung menjawab. Ia memandangi permukaan air yang beriak lembut, lalu menoleh dengan senyum tipis.

“Ke mana pun Kakak pergi, aku akan ikut,” katanya lembut. “Bahkan jika itu ke ujung dunia sekalipun.”

Zienxi menoleh padanya. Dalam ketegasan wajahnya, terpantul sekilas kehangatan yang langka.

“Aku tahu,” gumamnya pelan.

Dan malam pun mulai turun, membungkus keduanya dalam kesunyian yang akrab, seolah dunia luar tak pernah benar-benar ada.

Malam perlahan menutupi Paviliun Kehidupan. Di bawah cahaya bulan pucat, Lawzi Zienxi berdiri di balkon batu menghadap langit malam yang tak berbatas. Gemerlap bintang seolah menjadi saksi dari keputusan yang akhirnya ia ambil. Pikirannya telah bulat.

“Sudah waktunya… Kami harus ke kota Holuang. Ada sesuatu yang harus kami ketahui, sesuatu yang mungkin selama ini tertinggal,” gumamnya pelan.

Kota Holuang bukan sekadar tempat tinggal pamannya, Jian Lode, dan bibinya, Defei Sixie. Di sanalah juga tinggal Jian Sixie, sepupu mereka yang telah lama tidak ditemui. Ada kenangan, ada teka-teki, dan mungkin… petunjuk akan jalan yang harus ditempuh berikutnya.

Keesokan paginya, saat matahari belum sepenuhnya naik, udara pagi masih segar dan diselimuti kabut tipis. Zienxi dan Vuyei berjalan perlahan menuju kediaman Tetua Miwa, guru mereka, yang biasanya tengah berkultivasi di jam seperti ini.

Di depan pintu yang tertutup, mereka berhenti. Keduanya membungkuk hormat.

“Kami, murid Tetua Miwa, memberi salam hormat,” ucap mereka bersamaan, nada suara penuh hormat dan tenang.

Dari dalam ruangan terdengar suara lembut, namun jelas dan berwibawa.

“Masuklah.”

Mereka melangkah masuk perlahan. Aroma dupa spiritual yang menenangkan memenuhi ruangan. Di dalam, Tetua Miwa duduk bersila di atas batu giok datar, dikelilingi lingkaran energi yang perlahan memudar saat ia membuka matanya.

Tatapannya tertuju pada kedua muridnya.

“Ada apa kalian datang sepagi ini?” tanyanya dengan nada tenang.

Zienxi melangkah maju dan kembali memberi hormat, diikuti oleh Vuyei.

“Guru, kami datang untuk berpamitan.”

“Hari ini… kami berencana pergi ke kota Holuang,” sambung Vuyei.

“Kami ingin menemui Paman Jian Lode, Bibi Defei Sixie, dan sepupu kami, Jian Sixie,” jelas Zienxi.

Tetua Miwa menatap mereka dalam-dalam. Tatapan yang penuh pertimbangan, namun juga kepercayaan.

“Keputusan kalian sudah mantap?” tanyanya perlahan.

Zienxi mengangguk.

“Sudah, Guru. Kami merasa… saat ini adalah waktu yang tepat.”

“Kami ingin mencari sesuatu… sesuatu yang mungkin tersembunyi di masa lalu kami,” tambah Vuyei dengan suara pelan.

Tetua Miwa terdiam sejenak, sebelum akhirnya tersenyum kecil.

“Baiklah. Holuang adalah kota besar… dan bukan tempat yang tenang seperti dulu. Tapi jika hati kalian mantap, maka jalan kalian akan terbuka.”

Ia bangkit berdiri, langkahnya tenang dan penuh wibawa.

“Jangan lupakan apa yang telah kalian pelajari di sini. Dunia luar tidak selalu menunjukkan wajah bersahabat. Tapi kekuatan sejati tidak hanya diukur dari seberapa besar serangan, melainkan dari seberapa dalam kebijaksanaan yang kalian bawa.”

Keduanya kembali membungkuk dalam-dalam.

“Terima kasih atas segala ajaran dan bimbingan, Guru,” ucap Zienxi.

“Kami akan menjaga kehormatan Paviliun Kehidupan dan Sekte Daun 7 Sisi.” tambah Vuyei.

“Pergilah. Dan semoga angin pagi membawa langkah kalian pada jawaban yang kalian cari,” ujar Tetua Miwa, suaranya kini dipenuhi harapan.

Matahari pagi mulai menyusup lewat jendela paviliun. Cahaya hangat menyinari dua murid yang kini bersiap meninggalkan tempat yang telah menempa mereka selama bertahun-tahun.

Matahari telah mencapai puncaknya ketika Vuyei mengajak Zienxi ke tengah halaman utama Seven-Faced Leaf Sect. Suasana hari itu cukup tenang, namun banyak murid dan tetua sedang beraktivitas di sekitar. Di kejauhan tampak Yuji Daofei dan Fang Sei berbicara pelan di bawah pohon besar. Hui Baifa berdiri menyendiri di ujung halaman, seolah memperhatikan mereka dari balik bayangan. Sementara itu, Yun Xiwe, Xieyi Zui, Jia Wei, Wang Xuei, serta beberapa murid senior dan tetua lainnya sedang berkumpul di sekitar tetua berjenggot putih dan Jia Yuwei.

Tetua utama sekte masih berkultivasi dan tidak terlihat hari itu, namun kehadiran beberapa tetua lainnya sudah cukup memberi nuansa resmi dalam perpisahan singkat itu.

Vuyei melangkah mendekat sambil tersenyum, lalu membungkuk dengan dalam di hadapan tetua jenggot putih dan Jia Yuwei.

“Terima kasih banyak, Kakak Yuwei… Karena engkau, kami bisa berada di sini, dan merasakan apa itu kultivasi,” ucap Vuyei penuh ketulusan. “Dan terima kasih juga, Tetua, atas bimbingan dan pengawasan selama ini.”

Zienxi hanya memberi hormat dengan sikap tenang. Ia membungkuk sopan pada tetua jenggot putih, lalu sedikit menundukkan kepala kepada Jia Yuwei. Ia tidak berkata apa-apa, namun gerak tubuhnya cukup menunjukkan rasa hormat yang tulus.

Tiba-tiba, Xieyi Zui menghampiri Vuyei dan langsung memeluknya erat. Air mata jatuh begitu saja dari pipinya.

“Aku… aku tidak tahu kapan kita bisa bertemu lagi…” kata Zui terisak.

Vuyei membalas pelukannya lembut. “Kakak Zui… jangan menangis. Kita pasti akan bertemu lagi. Dunia ini luas, tapi aku yakin takdir akan mempertemukan kita kembali.”

Yun Xiwe hanya menatap mereka dengan mata sayu, seolah tak sanggup berkata apa pun. Ia menggenggam jubahnya sendiri dengan erat, lalu mengalihkan pandangan ke tanah.

Wang Xuei yang berdiri tak jauh dari mereka hanya mengangkat satu alis, lalu mengangguk kecil dengan ekspresi seolah menahan tawa.

“Hati-hati di luar sana, Vuyei,” katanya dengan nada menggoda. “Mungkin kau akan menemukan… bibi lain selain Zui.”

Vuyei tersenyum sambil menoleh ke arahnya. “Kakak Wang Xuei benar-benar tak pernah berubah.”

Beberapa murid di sekitar mereka tertawa kecil mendengar ucapan Wang Xuei. Xieyi Zui mendengus kesal namun tidak berkata apa-apa, hanya memutar mata dan menepuk lengan Vuyei pelan.

“Jangan hiraukan dia,” ujar Zui akhirnya. “Yang penting, hati-hati. Dan… jangan lupa terus berkultivasi, ya.”

Vuyei mengangguk mantap.

Di kejauhan, Jia Wei memperhatikan semuanya dengan ekspresi sulit ditebak. Ia tidak ikut bicara, hanya menatap dalam diam.

Sementara itu, Yuji Daofei bergumam sesuatu yang tak terdengar, lalu kembali menunduk. Fang Sei yang berdiri di sampingnya juga menggumamkan sesuatu, sambil memalingkan wajah dari keramaian.

Langit di atas Seven-Faced Leaf Sect tampak cerah hari itu, namun dalam hati sebagian dari mereka, awan kepergian mulai menggantung perlahan.

Langkah kaki dua anak muda itu perlahan menjauh dari pusat kediaman para murid. Lawzi Zienxi dan Lawzi Vuyei kini berjalan mendekati gerbang utama Seven-Faced Leaf Sect, tempat yang telah menjadi saksi perjalanan awal mereka dalam dunia kultivasi.

Saat angin lembut menerpa wajah mereka, Vuyei tiba-tiba berhenti. Ia menoleh ke belakang, ke arah pelataran dalam di mana banyak murid dan tetua biasa berkumpul. Di kejauhan, terlihat sosok-sosok yang sudah akrab di hati mereka, Jia Yuwei, Yun Xiwe, Xieyi Zui, Wang Xuei, dan beberapa lainnya yang berdiri memandangi mereka dari jauh.

Vuyei tersenyum penuh kehangatan, lalu mengangkat tangannya dan melambai dengan semangat.

“Dadah! Kakak Yuwei! Kakak Zui! Kakak Xiwe! Kakak Wang Xuei!” serunya riang, matanya berkaca-kaca namun tetap tersenyum.

Jia Yuwei langsung membalas lambaian itu, senyumnya lembut dan penuh harapan. Yun Xiwe hanya menatap dari kejauhan dengan mata sedikit berkaca. Xieyi Zui tak kuasa menahan air matanya, namun tetap melambaikan tangan dengan dua tangan sekaligus. Sementara Wang Xuei, dengan ekspresi sedikit malas namun tulus, juga mengangkat satu tangannya dan berseru, “Jangan menangis, Zui, dia cuma pergi, bukan mati.”

Xieyi Zui langsung menoleh tajam ke arah Wang Xuei. “Apa kau bilang?!”

Wang Xuei mengangkat bahu sambil tertawa kecil. “Siapa tahu dia nemu bibi baru di luar sana, kan? Kau harus hati-hati, Zui.”

Mereka semua tertawa kecil sebuah tawa yang menyamarkan perasaan perpisahan yang mulai menggantung di udara.

Sementara itu, beberapa tetua dan murid senior lain hanya tersenyum dari balik bayang-bayang pohon dan pilar, melihat kepergian dua anak muda yang kini telah tumbuh jauh dari masa kecil mereka.

More Chapters