Bagian 1: Kenangan Manis dan Bibit Harapan
Bab 1: Kembali ke Rumah
Deru mesin bus tua itu akhirnya mereda, menyisakan suara jangkrik yang mulai bersahutan menyambut senja dan batuk-batuk kecil dari kondektur yang sedang menghitung lembaran uang lusuh. Toro menarik napas dalam-dalam, mencoba menetralisir aroma solar campur keringat yang setia menemaninya selama lima jam perjalanan dari kota.
Udara kampung segera menyergap paru-parunya – campuran wangi tanah basah sisa hujan siang tadi, aroma kembang kopi dari kebun di seberang jalan, dan entah kenapa, selalu ada sedikit bau asap kayu bakar yang khas.
Tiga tahun di asrama dengan udara kota yang pengap membuatnya hampir lupa betapa segarnya bau 'rumah'. Ia menyandang ransel bututnya, sedikit terhuyung saat melangkah turun – kakinya masih pegal dan mungkin sedikit kaget harus menapak tanah lagi setelah duduk begitu lama di kursi bus yang per-nya sudah minta pensiun.
Hampir saja ia tersandung tas kresek berisi rambutan milik ibu-ibu di belakangnya. "Eh, eh, ati-ati, Le!" seru si ibu, Toro hanya bisa nyengir sambil bergumam maaf.
Kampung Sirnarasa. Namanya seindah harapannya saat ini, meski ia tahu harapan seringkali lebih indah dari kenyataan. Jalanan tanah di depannya tampak sedikit lebih lebar, mungkin karena sering dilewati truk pengangkut hasil bumi.
Rumah Pak Lurah di ujung jalan kini berpagar besi tempa, menggantikan pagar bambu reyot yang dulu sering jadi tempatnya nongkrong menunggu layangan putus.
Warung Mak Uti di tikungan masih sama, hanya saja kini ada spanduk kecil iklan minuman energi terbaru yang warnanya norak bukan main, kontras dengan dinding papan warung yang mulai lapuk.
Beberapa anak kecil berlarian tanpa alas kaki, tawa mereka pecah saat berhasil merebut bola plastik dari temannya. Kontras sekali dengan suasana kaku penuh aturan di asramanya dulu. Di sini, hidup terasa lebih… hidup.
"Toro? Lhoalah, Den Bagus dari kota sudah pulang?" Suara cempreng Mak Uti langsung menyambutnya, lebih cepat dari radar manapun.
Wanita itu muncul dari balik tirai bambu warungnya, senyum lebar ompongnya terkembang.
"Awakmu toh iki? Bedo tenan! Tambah duwur, tambah ireng sithik koyo wong kerjo proyek!" (Ini kamu kan? Beda banget! Tambah tinggi, tambah hitam sedikit kayak orang kerja proyek!)
Toro tertawa kecil, mendekat dan menyalami tangan keriput itu. "Enggih, Mak. Kulo Toro. Niki baru mawon dugi." (Iya, Mak. Saya Toro. Ini baru saja sampai). Hitam sedikit katanya? Padahal di asrama ia lebih banyak di dalam ruangan daripada di lapangan. Mungkin efek lampu bus tadi.
"Wis rampung sekolahmu? Telung taun ora ketok irungmu blas!" (Sudah selesai sekolahmu? Tiga tahun tidak kelihatan hidungmu sama sekali!) Mak Uti menepuk-nepuk bahu Toro. "Arep golek gawean opo mulih ndeso meneh? Ojo lali Mak'e nek wis sugih!" (Mau cari kerja atau pulang kampung lagi? Jangan lupakan Mak kalau sudah kaya!)
"Doakan saja yang terbaik, Mak," Toro tersenyum.
"Nanti kalau sudah jadi 'Den Bagus' beneran, warung Mak saya borong semua isinya." Candaan itu disambut tawa ngakak Mak Uti. Setelah bertukar beberapa basa-basi lagi dan menolak halus tawaran minum teh manis karena sudah tak sabar ingin ke rumah, Toro pamit.
Langkahnya terasa lebih ringan sekarang, sedikit geli membayangkan Mak Uti benar-benar menagih janjinya nanti. Rumahnya sudah terlihat. Cat birunya sedikit memudar, tapi pohon mangga besar di halaman depan tampak semakin rimbun.
Ibunya pasti sedang di dapur, atau mungkin Bapak sedang membersihkan kandang ayam di belakang. Perasaan hangat menjalari dadanya. Tiga tahun jauh dari mereka terasa begitu lama.
Benar saja, begitu ia mendorong pagar kayu reyot (yang ternyata belum diperbaiki juga), sosok Ibunya muncul di pintu depan, membawa baskom berisi cucian. Wajah letih wanita itu langsung berubah cerah.
"Toro? Ya Allah, Anakku!" Baskom itu diletakkan begitu saja, dan Ibu langsung menghambur memeluknya. Toro balas memeluk erat, mencium aroma keringat campur minyak kayu putih yang begitu ia rindukan.
Bapaknya muncul tak lama kemudian dari samping rumah, senyumnya tak selebar Ibu, tapi sorot matanya penuh kelegaan. Percakapan pertama setelah tiga tahun berjalan sedikit canggung, penuh pertanyaan basa-basi soal sekolah dan kesehatan, tapi kehangatan keluarga itu tak bisa dibohongi.
Setelah meletakkan ransel di kamarnya yang sempit dan berdebu (Ibunya pasti sengaja belum membersihkannya, menunggu si empunya pulang), Toro memutuskan keluar sebentar, sekadar menghirup udara sore lebih lama. Dan saat itulah takdir, atau mungkin hanya kebetulan semata, mempertemukannya kembali dengan alasan utama hatinya berdebar tak karuan sepanjang jalan.
Di bawah cahaya matahari sore yang keemasan, berjalan beriringan dari arah masjid, Kinasih dan Tia. Jantung Toro langsung berpacu seperti habis lari maraton. Kinasih memakai gamis sederhana berwarna pastel dengan kerudung biru muda yang serasi. Langkahnya anggun, sesekali ia tertawa kecil mendengar ucapan Tia di sebelahnya.
Tia, seperti biasa, lebih ekspresif, tangannya bergerak-gerak saat bicara. Keduanya tampak seperti lukisan hidup di tengah suasana kampung yang tenang.
"Ya ampun, itu Toro kan?" Tia yang melihatnya lebih dulu, menyikut pelan lengan Kinasih.
Kinasih menoleh. Ada sepersekian detik keterkejutan di matanya, sebelum senyum ramah itu terbit.
Senyum yang sama, yang tiga tahun lalu mampu membuat Toro rela bersepeda berkilo-kilo meter hanya untuk sekadar 'tidak sengaja' berpapasan dengannya di jalan. "Eh, Toro? Sudah pulang, To?" Suaranya terdengar lebih lembut dari yang Toro ingat.
Toro merasa seperti remaja kikuk lagi. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "I-iya, Kin. Baru saja... tadi turun dari bus." Lidahnya terasa kelu, otaknya sibuk mencari kalimat yang lebih keren dari itu.
"Wah, pangling aku! Tambah dewasa ya sekarang," kata Tia sambil mengamati Toro dari atas ke bawah. "Gimana sekolahnya? Lancar?"
"Alhamdulillah lancar, Ti," jawab Toro, berusaha membalas senyum Tia, meski fokus matanya sulit lepas dari Kinasih. "Kamu sendiri gimana, Kin? Baik kabarnya?"
"Baik, To. Alhamdulillah," jawab Kinasih. Kali ini ia menatap Toro sedikit lebih lama, seolah ikut mengamati perubahan pada diri Toro.
Tatapan itu… entah kenapa mengirimkan sengatan listrik halus ke seluruh tubuh Toro. Apakah ini pertanda? Apakah dia juga merasakan sesuatu? Atau ini hanya harapan kosong Toro saja? Pikiran Toro berkecamuk.
Rasanya seperti bait-bait puisi Chairil Anwar yang pernah ia hafal mati-matian untuk ujian sastra dulu, tentang pertemuan dan harapan, tapi ia tak bisa mengingat satu baris pun sekarang.
Yang ada hanya debaran di dada dan keinginan kuat untuk bisa berbicara lebih lama dengan gadis di hadapannya ini.
"Kami habis dari pengajian ibu-ibu di masjid," Kinasih melanjutkan, memecah keheningan singkat yang canggung. "Mau mampir dulu sebentar."
"Oh, begitu. Iya, silakan," jawab Toro sedikit kecewa karena percakapan harus berakhir secepat ini.
"Duluan ya, To!" pamit Tia sambil menarik lembut lengan Kinasih. Kinasih mengangguk sekali lagi pada Toro sebelum berbalik.
Toro memandangi punggung mereka yang menjauh. Angin sore kembali bertiup, membawa aroma samar parfum melati dari Kinasih. Harapan itu membuncah lagi, lebih kuat dari sebelumnya.
Tiga tahun penantiannya seolah terbayar lunas hanya dengan pertemuan singkat ini. Senyum Kinasih, tatapan matanya, keramahannya… semua terasa seperti sinyal positif. Ia mengabaikan bisikan kecil di sudut hatinya yang mengingatkan bahwa dunia tak selalu seindah harapan.
Untuk saat ini, ia ingin menikmati perasaan ini. Perasaan bahwa mungkin saja, gadis yang mengisi pikirannya selama ini, bisa ia raih. Cinta pertamanya, harapannya.
Ia kembali melangkah masuk ke rumah, membawa serta bayangan Kinasih dan sejuta angan yang baru saja mekar. Ia belum tahu, bahwa angin harapan yang ia rasakan saat ini, hanyalah awal dari sebuah kisah yang akan menguji hatinya lebih dalam dari apa pun yang pernah ia bayangkan. Angin yang mungkin saja hanya kabar kosong semata.