LightReader

Chapter 11 - Chapter 11 – Seven Heavenly Lights

Chapter 11 – Tujuh Cahaya Surgawi

Puncak Gunung Lihai diterangi oleh cahaya keemasan dari empat Buah Spiritual Surgawi. Keempat murid yang telah lebih dahulu tiba Yuji Daofei, Yun Xiwe, Xieyi Zui, dan Wang Xuei yang baru saja menyusul berdiri terpukau.

Angin kencang menggoyang dedaunan yang menggantung, dan aura spiritual dari buah-buah itu membuat udara terasa berat. Di bawah mereka, para calon murid lainnya menatap ke atas dengan ekspresi campur aduk antara kagum dan getir.

“Apakah kita bisa langsung mengambilnya begitu saja?” tanya Yuji Daofei, alisnya menyempit. Suaranya tetap tenang, tapi jelas mengandung kehati-hatian.

Yun Xiwe menatap buah-buah itu dengan penuh keraguan. “Mereka… terlalu tenang. Seolah menyembunyikan sesuatu,” gumamnya lirih.

Xieyi Zui tak berkata apa-apa. Matanya fokus, namun tubuhnya tetap waspada, seolah siap menghadapi apa pun yang muncul.

Wang Xuei mengatur napasnya. Tangannya sedikit gemetar, entah karena letih atau karena sesuatu yang lain. Ia tak mengucap sepatah kata pun, hanya menatap keempat buah itu seakan hendak menelan mereka hidup-hidup.

Di tempat berbeda, Jia Wei dan Jia Yuwei masih bertahan di Wilayah Zhi. Mereka menatap puncak Gunung Lihai dengan teropong spiritual kecil di tangan Yuwei.

“Siapa menurutmu yang bakal dapat?” tanya Yuwei dengan mata berbinar.

Jia Wei menyilangkan tangan. “Yuji, kalau aku harus menebak. Tapi gadis dari keluarga Yun itu juga terlihat tenang. Dan Xieyi… dia seperti menunggu sesuatu.”

Yuwei mengangguk. “Aku penasaran… apa buah-buah itu benar-benar bisa diambil begitu saja?”

Sementara itu, Fang Sei dan Hui Baifa berdiri di sisi utara gunung, di atas batu besar. Mereka mengawasi dari kejauhan, ekspresi keduanya sama-sama serius.

“Empat buah Surgawi… dan mereka semua ada di sana. Menarik,” gumam Fang Sei, suaranya datar.

Hui Baifa menyeringai tipis. “Masih terlalu cepat untuk tahu siapa yang menang.”

Tak jauh dari sana, We Jita duduk bersila di atas batu besar, menatap langit. Ia tampak gelisah, sesekali melirik ke arah jalur gunung yang sepi.

“Masih belum muncul… dia pasti akan datang,” gumamnya, seolah meyakinkan dirinya sendiri.

Hari ke-169.

Langit cerah, tapi suasana di puncak gunung menggelap sejenak. Riak energi muncul tiba-tiba, menyapu puncak dengan kekuatan tak terlihat. Hembusan angin yang tajam menyelimuti mereka.

“Awas!” Yun Xiwe spontan memundurkan langkah.

Xieyi Zui menahan tubuhnya agar tak terdorong, sedangkan Yuji Daofei menancapkan kakinya dalam-dalam, kedua matanya melebar.

Wang Xuei yang baru mencapai dataran puncak langsung tersentak dan nyaris tergelincir. Untungnya ia sempat mencengkeram batu tajam di sisinya. Nafasnya memburu.

“Apa itu barusan?” tanya Wang Xuei dengan suara serak.

Seketika itu juga, langit di atas mereka bergetar. Cahaya baru muncul biru dan merah, menyala seperti api suci yang menari di antara awan. Tiga Buah Spiritual Surgawi lain muncul dari dalam pusaran riak, melayang anggun di antara bebatuan besar yang menyala samar.

“Buah Surgawi lagi?!” Yun Xiwe menatap tak percaya.

“Tujuh…” bisik Xieyi Zui, suara napasnya tipis.

Yuji Daofei tetap diam, tapi sorot matanya menyala. Ia tak pernah membayangkan akan menyaksikan ini dengan mata kepalanya sendiri.

Di bawah sana, kegemparan terjadi.

“Tidak mungkin…! Tiga lagi muncul?!”

“Ini belum pernah terjadi sebelumnya!”

“Kenapa tiba-tiba jadi tujuh?!”

Suara-suara tak percaya menggema di berbagai penjuru lereng Gunung Lihai.

Jia Wei mencengkeram bahu adiknya. “Kau lihat itu? Tujuh! Buah Surgawi…! Ini gila!”

Yuwei terdiam, matanya membulat sempurna. “Mereka… mereka menyaksikan keajaiban dunia ini secara langsung.”

Hui Baifa berdiri perlahan, tatapan matanya berubah gelap. “Jika aku bisa mendapatkan salah satu dari itu… seluruh dunia akan bertekuk lutut.”

Fang Sei memicingkan mata. “Tujuh cahaya surgawi. Sesuatu sedang berubah.”

We Jita pun akhirnya berdiri. Ia merasakan hawa yang sangat berbeda menyelimuti seluruh gunung. “Ini bukan hanya seleksi biasa,” bisiknya. “Ini… sebuah awal.”

Udara di puncak Gunung Lihai menjadi lebih padat, bergemuruh oleh kekuatan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Riak energi terus memancar dari ketujuh Buah Spiritual Surgawi yang kini menggantung di udara, berputar perlahan dengan cahaya menyilaukan. Warna biru kehijauan, merah darah, dan emas membentuk pusaran ilusi seperti mahkota para dewa.

Seolah menanggapi kehadiran ketujuh buah itu, langit pun berubah. Cahaya pelangi turun lembut dari awan kelabu yang menggulung perlahan, menyinari puncak gunung dengan pancaran suci namun bukan ketenangan yang dirasakan. Justru... sebuah tekanan mencekam, bagai makhluk kuno yang mengawasi mereka dari dimensi lain.

Yuji Daofei melangkah maju sedikit, keringat menetes di pelipisnya, bukan karena takut... tapi karena tekanan spiritual yang terus menekan setiap pori tubuhnya.

Matanya menatap buah-buah itu tajam, tetapi suaranya tetap stabil, meski heran:

“Kenapa... kenapa bisa muncul lagi? Tiga sekaligus?”

Yun Xiwe menelan ludah. Cahaya pelangi yang jatuh membentuk bayangan lembut di wajahnya yang pucat.

“Ini di luar semua catatan sejarah sekte. Tidak pernah ada yang mencatat kemunculan tujuh Buah Spiritual Surgawi seperti ini...”

Xieyi Zui berdiri di antara mereka, wajahnya tetap tenang namun matanya tak bisa menyembunyikan keterkejutan. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menatap langit yang seolah menyaksikan ujian para calon murid ini.

Wang Xuei, yang masih memegangi lututnya usai hampir jatuh tadi, menatap ke langit, lalu ke arah buah-buah itu dengan bibir terbuka setengah.

“Apakah ini... berkah? Atau peringatan?” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar. Tapi mereka semua tahu ini bukan kejadian biasa.

Sementara itu, murid-murid lain yang masih di lereng atau mendaki, menatap ke atas dengan mata membara.

Beberapa dari mereka berseru, semangat mereka bangkit kembali:

“Ada tujuh! Masih ada harapan!”

“Kita harus sampai ke atas! Ini kesempatan langka!”

“Langit memberi tanda, siapa pun yang berani, datang dan ambil!”

Kaki-kaki yang sempat gemetar kini kembali melangkah.

Tangan yang lelah kini kembali mencengkeram bebatuan.

Rintangan tak lagi berarti apa-apa saat ketujuh cahaya surgawi bersinar di puncak, mengundang siapa pun yang cukup berani untuk menantang takdir.

Di kejauhan, di balik bebatuan besar, Fang Sei menyipitkan matanya.

“Langit sedang bermain...” katanya pelan.

Hui Baifa berdiri di sampingnya, wajahnya gelap namun penuh gairah bertarung.

“Kalau aku bisa mendapatkan satu saja... seluruh sekte akan mengingat namaku.”

Tak jauh dari mereka, We Jita menatap langit dari tempat duduknya. Cahaya pelangi menyapu rambutnya yang tertiup angin. Ia bergumam pelan sambil menatap ke arah jalur pendakian:

“Mereka masih belum datang... tapi kalau mereka melihat ini... mereka pasti akan mendaki juga.”

Sementara itu, Jia Wei dan Yuwei menatap ke arah puncak dari balik reruntuhan Zhi.

Yuwei menggenggam erat lengan kakaknya.

“Kita benar... ini belum selesai.”

Jia Wei mengangguk pelan.

“Pertanyaannya... siapa yang pantas menyentuh tujuh cahaya surgawi itu?”

Langit tak menjawab.

Gunung Lihai hanya mengaum perlahan, seolah menunggu mereka yang berani... atau mereka yang akan hancur oleh ambisinya sendiri.

Langkah kaki keempat murid yang tersisa bergema pelan di antara desir angin tajam di lereng terakhir Gunung Lihai. Yuji Daofei berada paling depan, matanya tak pernah lepas dari tujuh buah bercahaya di langit. Buah Spiritual Surgawi sesuatu yang sebelumnya hanya dianggap simbol, legenda… kini menggantung di hadapan mereka.

Namun tidak satu pun dari mereka yang bisa mendekatinya lebih dari sepuluh langkah. Setiap langkah ke depan terasa seperti melawan kehendak langit itu sendiri.

Yun Xiwe menyeka peluh dari dahinya. “Ini… terlalu berat. Padahal… kita bahkan belum mengakses kekuatan spiritual…”

Xieyi Zui menatap tajam ke atas, kemudian berkata lirih namun tegas, “Apakah kalian masih ingat sebelum masuk ke Wilayah Zhi… para tetua menyebutkan jumlah Buah Spiritual?”

Yuji berhenti. Wang Xuei yang sebelumnya duduk termenung pun mendongak pelan.

“…Seratus delapan puluh Buah Bumi, seratus sepuluh Langit, dua puluh lima Petir…” lanjut Xieyi perlahan. “Dan sepuluh Surgawi.”

Diam. Mata mereka perlahan naik, menghitung tujuh buah menggantung, memancarkan cahaya putih keperakan yang menembus awan, bercampur dengan warna-warna pelangi dari langit yang berubah.

“Tapi ini… tujuh. Dan semuanya Surgawi, apakah akan muncul 3 lagi?” ucap Wang Xuei pelan.

Di kejauhan, jauh dari lereng Gunung Lihai, Fang Sei dan Hui Baifa berdiri di atas batu besar, hanya memantau dalam diam.

“Dia mencoba memaksa kehendaknya,” ujar Fang Sei pelan sambil memperhatikan Yuji dari kejauhan. “Padahal dia tahu itu belum waktunya.”

Hui Baifa menyipitkan mata. “Mungkin… dia ingin membuktikan bahwa takdir bisa dilawan.”

Sementara itu, di sisi lain Wilayah Zhi, Jia Wei dan Jia Yuwei berdiri di bawah rerimbunan pohon tinggi. Mereka juga melihat ke arah Gunung Lihai.

“Buah itu... bukan milik siapa pun,” gumam Yuwei.

“Benar,” jawab Jia Wei singkat. “Tapi lihat saja, siapa yang cukup keras kepala untuk mencoba.”

Tak jauh dari sana, We Jita duduk di atas batu besar, menunggu dua temannya yang tertinggal. Tatapannya terpaku ke langit. Ia menyadari sesuatu yang berbeda cahaya pelangi di langit tidak hanya indah, tapi juga… mengancam.

Kembali ke Gunung Lihai, keempat murid masih mencoba.

Yuji maju setapak, tapi hembusan angin menghantam tubuhnya seperti tembok. Yun Xiwe menggertakkan gigi, mencoba mengikuti, tapi dadanya tertekan hebat seolah tubuhnya ditolak oleh kekuatan tak terlihat. Wang Xuei perlahan berdiri, matanya menyipit, menganalisis ruang dan jarak, mencari celah.

Dan Xieyi Zui… hanya menatap buah-buah itu, lalu menunduk.

“Aku tahu kenapa kita tidak bisa menyentuhnya,” gumamnya lirih. “Buah itu tidak hanya menguji kekuatan tubuh… tapi juga isi hati.”

More Chapters