LightReader

Chapter 4 - Eliminasi Pertama Insting Predator

> "Striker sejati tidak menunggu kesempatan — mereka menciptakannya."

— Ego Jinpachi

Suara Ego menggema di aula besar Blue Lock pagi itu.

Kami, Tim Z, berdiri berjajar, menghadapi layar besar yang menampilkan logo "Elimination Round 1."

> "Hari ini, kalian akan bertanding melawan Tim X," kata Ego.

"Menang — kalian bertahan. Kalah — kalian dieliminasi.

Hanya itu."

Sesederhana dan sekejam itu.

---

Kami masuk ke lapangan.

Arena raksasa berlapis sensor, cahaya putih terang menyilaukan.

Aku menatap jersey biru tua dengan angka 300 di punggungku — angka terendah, tapi paling mencolok.

Isagi (#299) berdiri di sampingku, wajahnya tegang tapi matanya tajam.

Bachira (#288) menggiring bola kecil, senyumannya gila seperti biasa.

> "Hei, Asahi," katanya. "Aku ingin lihat seperti apa gaya bermainmu."

"Kau akan lihat," jawabku pelan. "Tapi semoga kau tidak ada di jalanku."

---

Peluit berbunyi.

Tim X langsung menyerang, cepat, agresif, liar.

Pemain dengan nomor 233 menembus pertahanan kami seperti badai, tendangan keras melesat —

BAM!

Gol pertama untuk Tim X.

> "Apa-apaan itu!?" Raichi (#293) berteriak.

"Mereka nggak kasih waktu kita napas!"

Isagi mencoba menenangkan tim, tapi kekacauan sudah terjadi.

Sistem di mataku menyala tiba-tiba.

> [Analisis Lapangan Aktif]

[Weak Point: Zona kanan belakang – koordinasi lemah antara Raichi & Igarashi.]

Aku melihat jalur cahaya biru menari-nari di udara — garis yang hanya bisa kulihat sendiri.

Aku bergerak.

---

Tim X menyerang lagi.

Satu umpan silang panjang, satu pemain berlari ke arahku.

Dalam sepersekian detik, sistem menghitung lintasan bola.

Aku berlari lebih cepat dari prediksi mereka, menebak arah dengan presisi mutlak.

DUG!

Kakiku menahan bola tepat di titik tabrakan.

Gemuruh keras terdengar. Lawan terpental mundur.

> "Apa dia baru saja menebak arah bola!?"

"Tidak… itu terasa seperti dia tahu sebelum bola datang…"

Aku mengangkat kepala.

Tatapan semua pemain — lawan maupun timku — tertuju padaku.

> "Isagi," kataku cepat. "Kau jaga tengah. Bachira, ikut aku ke sisi kiri.

Jalur kosong terbuka di sana selama 2,7 detik."

Mereka berdua menatapku heran, tapi entah kenapa… mereka menurut.

Aku menggiring bola ke depan, mengoper ke Bachira, lalu melesat melewati dua bek lawan.

Bachira tertawa keras.

> "Kau juga bisa membaca permainan sepertiku, ya!"

> "Tidak," jawabku sambil tersenyum tajam, "aku hanya membaca masa depan."

Bachira memberikan umpan balik —

SLASH!

Aku menendang bola dengan seluruh kekuatanku.

Bola melesat, melewati kiper, menghantam jaring.

GOAL!

Skor 1–1.

Arena meledak dalam sorakan dan teriakan.

---

Isagi menatapku lama setelah itu.

> "Kau… luar biasa cepat beradaptasi."

"Sistemku tidak mengenal adaptasi," jawabku pelan. "Aku hanya memprediksi kemungkinan menang — dan memaksa hasilnya terjadi."

---

Pertandingan berakhir imbang 1–1.

Tidak ada eliminasi hari itu, tapi tensinya meningkat drastis.

Di ruang istirahat, Ego kembali muncul di layar.

> "Menarik. Tim Z mencetak gol pertamanya berkat anomali sistem.

Tapi ingat — kerja sama bukan untuk bertahan hidup.

Kerja sama hanyalah alat untuk menemukan ego terkuat."

Aku menatap layar itu.

Di hatiku, satu kalimat terukir jelas:

> "Kalau sistem ini benar-benar diciptakan untuk melahirkan predator…

maka akulah bug yang akan menguasainya."

More Chapters