Peluit kick-off babak kedua berbunyi keras, menggema di seluruh arena simulasi.
Angin buatan bertiup kencang, membawa aroma logam dan listrik yang khas dari lapangan digital Blue Lock.
Di depan mataku, Rei Sagara berdiri dengan tenang, bola di kakinya, dan mata dinginnya menatapku tanpa emosi sedikit pun.
> [Deteksi Sinkronisasi Musuh: 93%]
[Mode Adaptif: Aktif]
[Target utama: Rei Sagara]
Tubuhku mulai terasa panas, bukan karena lelah, tapi karena sistemku merespons energi yang sama dari lawanku.
Setiap langkah Rei memancarkan getaran ego yang tajam, seperti bilah pisau yang menembus udara.
Aku bisa merasakan seluruh lapangan bergetar — bukan karena kekuatannya secara fisik, tapi karena kehadirannya.
Isagi berteriak dari belakang, "Ryou! Jangan biarkan dia mengatur tempo permainan!"
Aku mengangguk, tapi mataku tak lepas dari Rei.
---
Rei menggerakkan bola dengan kaki kirinya.
Gerakannya halus, presisi, hampir seperti tarian.
Tapi setiap kali ia menggiring, aku mendengar suara elektronik samar di udara — seperti sistem yang menghitung setiap langkah.
> "Dia tidak bermain sepak bola…" gumamku pelan, "dia sedang menjalankan program."
Aku langsung berlari maju.
Sistemku merespons cepat.
> [Analisis Gerakan Aktif]
[Prediksi arah: kiri – 0.45 detik sebelum belok]
Aku meluncur, memotong arah, mencoba menahan bola — dan berhasil menyentuhnya.
Namun begitu bola bergeser, Rei tersenyum tipis.
> "Kau terlalu jujur dengan perhitunganmu, Asahi."
Dalam sekejap, bola memantul ke arah kanan — sebuah gerakan tipuan yang tidak terdeteksi oleh algoritma analisis sistemku.
Aku kehilangan keseimbangan sepersekian detik, dan itu cukup bagi Rei untuk melesat.
Dua langkah, satu putaran — tendangan keras dilepaskan.
Boom!
Bola menghantam jaring gawang dengan suara keras.
Sorakan digital meledak di udara.
---
Aku menunduk, napasku terengah.
> [Kesalahan Prediksi: 1.2 detik]
[Mode Analisis: Gagal membaca input non-logis]
Aku memejamkan mata.
Satu kesalahan kecil, tapi cukup untuk membuktikan:
Rei Sagara bukan sekadar pemain dengan sistem. Ia adalah sistem itu sendiri.
Namun… aku juga bukan orang yang mudah menyerah.
Aku menatap layar dalam kepalaku.
> [Aktifkan Mode Manual Override?]
[Risiko: Ketidakstabilan Ego > 85%]
Aku tersenyum tipis.
> "Kalau sistemku tak bisa mengalahkannya, maka aku akan bermain dengan cara manusia."
---
Pertandingan berlanjut.
Kali ini aku mematikan sebagian sistem bantu, mengandalkan insting murni dan pengalaman.
Setiap langkah menjadi lebih berat, tapi juga lebih nyata.
Rei mendekat lagi, mencoba melakukan trik yang sama.
Namun kali ini, aku tak menunggu perhitungan algoritma — aku menebak lewat perasaan.
Ketika tubuhnya condong ke kiri, aku langsung menubruk kanan.
Kaki kami berbenturan keras, dan bola terpental tinggi.
> "Hah?! Dia bisa memotong gerakanku tanpa sistem?" seru Rei, wajahnya pertama kali menampilkan keterkejutan.
Aku menatapnya sambil terengah.
> "Sistemku tidak lebih kuat darimu… tapi aku masih manusia. Dan manusia punya hal yang tak bisa dihitung: insting dan keinginan untuk menang."
---
Sorakan dari bangku penonton virtual terdengar semakin riuh.
Isagi berlari ke depan, menerima operanku, lalu menendang keras ke arah gawang.
Gol!
Skor kini seimbang: 1-1.
Suasana memanas. Rei menatapku, ekspresinya dingin berubah sedikit tajam.
> "Menarik, Asahi. Tapi sistemku bisa beradaptasi. Kau hanya menunda kekalahanmu."
> "Mungkin," jawabku pelan sambil menatap bola di kakiku, "tapi aku bukan melawanmu untuk bertahan hidup. Aku melawanmu untuk berkembang."
---
Detik berikutnya, sistemku bergetar hebat.
> [Sinkronisasi Parsial dengan Neo Lock: 50%]
[Mode Baru: Dual Resonance — Aktif]
Seluruh lapangan berubah.
Dunia di sekelilingku melambat, warna biru dan merah bergulung seperti gelombang listrik.
Aku dan Rei kini terhubung dalam resonansi ganda — dua sistem yang saling menolak dan menarik.
> "Jadi ini… benturan dua ego," gumamku.
Kami berlari bersamaan, bola di antara kami, kaki beradu, mata saling menatap.
Tidak ada yang menyerah.
Setiap langkah adalah pertempuran, bukan hanya fisik, tapi batin.
Suara detak jantung bergema di telingaku, menenggelamkan semua hal lain.
Satu detik terasa seperti selamanya.
Akhirnya aku berhasil menyalip sedikit dan menendang bola.
Dentumannya memecah udara.
Bola berputar cepat — terlalu cepat untuk dilihat.
Boom!
Gol.
Lapangan virtual meledak oleh sorakan, dan sistem di kepalaku menampilkan pesan terakhir malam itu:
> [Dual Resonance Stabil]
[Kemenangan: Team Z]
[Status Lawan: Analisis Tersimpan]
Aku menatap Rei, yang kini terdiam di ujung lapangan.
Ia menatapku lama, lalu tersenyum tipis.
> "Kau benar, Asahi. Manusia memang tidak bisa dikalahkan hanya dengan program."
Aku mengangguk.
> "Selamat datang di dunia ego sejati, Rei Sagara."
---
📖 Catatan untuk pembaca Webnovel:
Jika kalian menyukai duel epik ini, jangan lupa dukung penulis!
💬 Komentar, 🌟 Vote, 🔔 Follow — agar kalian nggak ketinggalan kelanjutan Arc 3 – System vs System,
karena setelah ini… benturan ego Ryou dan Rei akan menembus batas Blue Lock itu sendiri! ⚡🔥