Sari duduk di kamarnya, menatap langit-langit yang retak. Malam itu, rumahnya seperti medan perang. Ibu Sari berteriak di ruang tamu, ayahnya diam tapi wajahnya kecewa, dan Reza datang lagi, kali ini dengan wajah merah padam. "Sari, jelaskan! Siapa pria itu? Kau pikir aku main-main?" kata Reza sambil menunjukkan foto Andi yang ia ambil dari ponsel Sari—foto saat mereka makan bersama.
Sari turun tangga, tangannya gemetar. "Ibu, Ayah, Reza... ini hidupku. Aku tak bisa dipaksa nikah cuma karena status. Andi... ia teman, tapi ia baik. Ia lihat aku sebagai manusia, bukan barang."
Ibu Sari menangis. "Teman? Kau bohongi kami! Reza pria baik, dokter sukses. Kau mau buang semuanya untuk pria misterius itu? Apa kau tahu latar belakangnya?"
Sari terdiam. Ia belum cerita tentang skandal Andi. "Ibu, Andi punya masa lalu, tapi ia berusaha bangkit. Ia bukan gelandangan seperti yang Reza bilang."
Reza tertawa sinis. "Bukan gelandangan? Aku cek dia. Ia putra koruptor! Ayahnya dijebloskan penjara. Kau mau nikah sama keluarga kriminal?"
Ruangan hening. Sari terkejut—bagaimana Reza tahu? Mungkin ia selidiki. Ibu Sari pucat, ayahnya menggeleng. "Sari, ini memalukan. Keluarga kita terpandang. Kau mau hancurkan nama baik?"
Sari merasa dunia runtuh. Air matanya jatuh. "Itu masa lalu! Andi tak bersalah. Ia lari dari itu, mau hidup jujur. Kalian tak lihat hatinya?"
Reza maju, suaranya dingin. "Kalau kau pilih dia, aku pergi. Dan keluargamu akan kutuntut atas pengkhianatan."
Sari menatapnya tajam. "Ini bukan bisnis, Reza. Pergi sana. Aku tak butuh pria seperti kau."
Reza pergi marah, meninggalkan rumah dalam kekacauan. Ibu Sari menangis, memohon Sari berpikir ulang. "Anakku, ini untuk masa depanmu. Cinta bisa datang nanti."
Sari naik ke kamar, menelepon Andi. "Andi, semuanya hancur. Reza tahu skandal ayahmu. Keluargaku marah."
Andi datang malam itu, meski Sari bilang jangan. Ia masuk lewat jendela belakang, seperti pencuri. "Mbak, saya minta maaf. Saya tak mau bikin Mbak susah."
Sari memeluknya, menangis. "Tapi aku pilih kau, Andi. Kau buat aku bahagia. Kita hadapi bersama."
Andi menatapnya dalam. "Saya cinta Mbak. Kita mulai dari nol. Saya akan buktin ke keluarga Mbak."
Keesokan harinya, Sari pergi kerja dengan hati berat. Di kantor, bosnya bertanya kenapa lesu. "Masalah pribadi," jawab Sari. Tapi saat pulang, Andi menunggu di depan apartemennya dengan bunga. "Mbak, saya punya rencana. Kita ketemu ayah saya dulu. Ia mau jelasin semuanya."
Sari ragu, tapi setuju. Mereka pergi ke rumah Andi yang mewah tapi sepi. Ayah Andi, pria tua beruban, menyambut mereka. "Sari, terima kasih sudah terima anakku. Skandal itu salahku, tapi aku sudah bayar hutang. Andi anak baik, ia tak ikut campur."
Sari terharu. "Pak, saya tak peduli masa lalu. Saya cinta Andi."
Ayah Andi tersenyum. "Kalau begitu, selamat datang di keluarga kami."
Pulang ke rumah, Sari menghadapi ibunya lagi. "Ibu, aku pilih Andi. Ia calon suamiku. Kalau kalian tak setuju, aku tetap bahagia."
Ibu Sari menangis, tapi akhirnya mengangguk. "Asal kau bahagia, Nak."
Malam itu, Sari dan Andi berjalan di taman, tangan bergandengan. "Terima kasih sudah pilih saya, Mbak," kata Andi.
Sari tersenyum. "Kau bukan gelandangan lagi. Kau pangeranku."
Tapi di balik senyum, Sari tahu tantangan belum selesai. Reza mungkin balas dendam, dan keluarga Andi punya musuh lama. Apakah cinta mereka cukup kuat?