Sari duduk di kafe favoritnya, menatap cangkir kopi yang sudah dingin. Pikirannya berkecamuk sejak malam kemarin. Pertemuan dengan Reza di rumah ibu meninggalkan rasa terjebak, sementara pengakuan Andi tentang skandal ayahnya membuatnya bingung. "Korupsi? Bagaimana aku bisa terima itu?" gumamnya pelan. Ia tahu cinta tak semudah itu, tapi Andi membuatnya merasa hidup. Ponselnya berdering—Andi. "Saya sudah di kafe, Mbak. Datang sekarang?"
Sari menghela napas, lalu keluar. Andi sudah duduk di meja sudut, tampak gugup. "Mbak Sari, terima kasih sudah mau ketemu. Saya tahu ini berat."
Sari duduk, tatapannya tajam. "Cerita lengkapnya, Andi. Skandal ayahmu apa? Kenapa kau sembunyiin?"
Andi mengangguk, wajahnya serius. "Ayah saya dulu pejabat tinggi di perusahaan properti. Ia terlibat korupsi proyek besar beberapa tahun lalu. Ia dijebloskan penjara, tapi sekarang bebas karena bukti kurang. Keluarga kami hancur—uang hilang, nama tercemar. Saya pura-pura gelandangan bukan cuma belajar empati, tapi juga lari dari itu. Saya mau hidup mandiri, bukan dari warisan kotor."
Sari terdiam, hatinya campur aduk. "Dan kau pikir aku bisa terima? Keluargaku konservatif, Andi. Mereka tak akan setuju. Lagian, Reza... ia normal, tanpa drama."
Andi menatapnya dalam, tangannya menyentuh tangan Sari. "Saya tahu, Mbak. Tapi cinta bukan tentang normal. Saya cinta Mbak karena Mbak lihat saya sebagai manusia, bukan status. Kalau Mbak pilih saya, saya akan buktin. Saya sudah mulai bisnis kecil, jualan online. Saya bisa jadi suami yang baik."
Sari menarik tangannya, air matanya hampir jatuh. "Ini terlalu cepat, Andi. Kita baru kenal seminggu. Aku takut salah pilih."
Percakapan mereka berlanjut, Andi bercerita tentang impiannya membangun rumah tangga sederhana, tanpa kemewahan. Sari menceritakan tekanan keluarga, bagaimana ibunya selalu bilang, "Pilih pria yang aman." Tapi saat Andi tersenyum, Sari merasa hatinya goyah. Ia ingat bagaimana Andi membuatnya tertawa, berbeda dari Reza yang kaku.
Tiba-tiba, ponsel Sari berdering. Reza. "Sari, aku di luar kafe. Ibumu bilang kau di sini. Kita perlu bicara."
Sari terkejut. "Reza? Tunggu, aku..." Ia melihat Reza masuk, wajahnya marah. "Siapa pria ini, Sari? Kau bohongi aku?"
Andi berdiri, tenang. "Saya Andi, teman Sari. Kami sedang bicara."
Reza menatap Andi dari atas ke bawah, lalu ke Sari. "Teman? Kau pikir aku bodoh? Ibumu bilang kau aneh sejak kemarin. Ini karena dia?"
Sari berdiri, suaranya gemetar. "Reza, ini urusanku. Kau tak berhak ikut campur."
Reza tertawa sinis. "Aku calon suamimu, Sari. Keluargamu setuju. Jangan buang waktu sama gelandangan ini."
Andi maju, tapi Sari menghentikannya. "Dia bukan gelandangan! Dan aku belum putuskan apa-apa."
Reza pergi marah, meninggalkan kafe dalam keadaan tegang. Sari duduk lagi, tangannya gemetar. "Ini kacau, Andi. Sekarang Reza marah, keluargaku akan tahu."
Andi mengangguk. "Saya minta maaf. Tapi saya tak mau mundur. Kalau Mbak pilih saya, saya siap hadapi semuanya."
Sari pulang dengan kepala pusing. Malam itu, ibunya menelepon marah. "Reza bilang kau ketemu pria lain! Siapa dia? Kau malu keluarga?"
Sari menangis, tapi dalam hati, ia tahu keputusan sulit menanti. Apakah ia pilih stabilitas dengan Reza, atau petualangan dengan Andi? Dan skandal itu, apakah bisa ia abaikan?