Sari bangun pagi itu dengan kepala pusing. Malam sebelumnya, ia bermimpi aneh—Andi sebagai gelandangan yang berubah jadi pangeran, dan Reza yang sombong berubah jadi monster. Ia menggeleng, berusaha fokus. Hari ini, ia harus menghadiri acara keluarga di rumah ibunya. Ibu Sari telah mengundang Reza untuk makan malam resmi, sebagai langkah lanjut dari pertemuan jodoh. "Ini kesempatanmu, Sari. Reza pria baik, stabil. Jangan buang-buang waktu," kata ibunya kemarin.
Sari mengenakan dress sederhana, tapi pikirannya melayang ke Andi. Pesan dari pria itu tiba: "Mbak, saya pikir tentang kita semalaman. Kalau Mbak mau, saya mau ketemu keluarga Mbak. Saya serius." Sari ragu membalas. Bagaimana ia bisa perkenalkan Andi, yang baru saja ia kenal, ke keluarga? Lagian, Andi masih misterius—rahasia misinya, latar belakang keluarganya yang kaya tapi ia sembunyikan.
Di rumah ibu, suasana ramai. Ayah Sari, yang biasanya diam, tersenyum melihat Reza datang dengan bunga dan hadiah mahal. "Dokter Reza, terima kasih sudah datang. Sari, duduklah di sampingnya," kata ibu Sari sambil tersenyum lebar. Reza, dengan kemeja rapi dan jam tangan mewah, mulai bercerita tentang kariernya di rumah sakit. "Saya suka wanita seperti Sari—karir, cantik, dan bisa jadi ibu yang baik."
Sari tersenyum kaku, tapi hatinya kosong. Ia mencoba bayangkan hidup dengan Reza: rumah mewah, anak-anak, tapi tanpa cinta sejati. Saat makan, Reza bertanya tentang masa depan. "Kita bisa nikah tahun depan, Sari. Saya sudah siap."
Ibu Sari mengangguk antusias, tapi Sari merasa terjebak. Ia ingat kata-kata Andi: "Saya akan dukung karier Mbak." Tiba-tiba, ponselnya berdering. Pesan dari Andi: "Saya di depan rumah Mbak. Mau ketemu sekarang?" Sari terkejut. Bagaimana Andi tahu alamatnya? Ia pamit sebentar, keluar rumah.
Di depan gerbang, Andi berdiri dengan motor sederhana, wajahnya serius. "Mbak, saya ikuti Mbak dari kafe kemarin. Maaf, saya penasaran. Siapa pria itu?"
Sari marah tapi juga lega. "Andi, ini rumah keluargaku. Kau tak bisa seenaknya datang! Itu Reza, calon suami yang diatur ibuku."
Andi menatapnya dalam. "Saya tahu Mbak bingung. Tapi saya cinta Mbak. Kalau Mbak pilih saya, saya akan buktin. Saya bukan gelandangan lagi. Saya punya masa depan."
Sari menghela napas. "Andi, kau baru kenal aku. Lagian, keluargamu? Kau bilang kaya, tapi kenapa pura-pura miskin?"
Andi ragu, lalu mengaku. "Ayah saya... ia punya skandal. Ia korupsi dulu, tapi sekarang bersih. Saya tak mau hidup dari uang kotor. Itu kenapa saya kabur. Tapi saya janji, saya akan jujur sama Mbak."
Sari terdiam. Skandal? Ini rumit. Ia kembali ke dalam rumah, tapi pikirannya kacau. Reza melihatnya gelisah, bertanya, "Ada masalah?" Sari menggeleng, tapi saat makan malam selesai, ia tahu ia harus pilih. Ibu Sari mendesak, "Reza cocok untukmu, Sari. Jangan buang kesempatan."
Malam itu, Sari menelepon Andi. "Kita perlu bicara. Besok, di kafe."
Andi setuju, tapi Sari merasa dunia mulai runtuh. Dua pria, dua pilihan. Reza mewakili stabilitas, Andi mewakili petualangan. Tapi skandal keluarga Andi membuatnya takut. Apakah cinta bisa menang atas norma dan rahasia?