LightReader

Chapter 9 - MENYIMPAN RAHASIA

Beberapa jam bergelut di dapur, tidak membuat Nina merasa lelah sedikit pun. Dia sengaja membuat cookies dengan senyuman yang senantiasa terlukis di bibirnya.

"Mira, makan siangnya sudah siap?"

"Masih disiapkan oleh Chef Li, Nyonya"

"Oh yaudah, nanti tolong masukin ke tas ya dan itu ada cookies, kamu makan aja" Mira mengangguk dan melakukan sesuai instruksinya sementara Nina masuk ke kamar untuk membersihkan tubuhnya.

"Gua harus pake apa? Masa gua kaosan doang. Yakali, harga diri suami gua gimana?" Wajah Nina seketika memerah hanya dengan memikirkan Daniel. Kata suami menggelitik perutnya. Mata Nina terarah pada gaun berwarna cream selutut yang tergantung di lemarinya. Tangannya terulur dan mulai memakai gaun itu. Nina menatap pantulan dirinya di cermin dan tersenyum. Gaun itu terlihat sangat cocok di tubuhnya ditambah riasan tipis yang menghiasi wajahnya. Sederhana namun mampu menarik semua mata untuk melihatnya.

"Oke, kayanya pakai ini aja" Suara ketukan pintu mengalihkan atensi nina. Pintu perlahan terbuka dan ada Mira disana.

"Mobil dan supir sudah siap Nyonya. Mau berangkat sekarang?"

"Oh iya, makan siangnya sudah siap?"

"Sudah nyonya, sudah dimasukkan ke mobil" Nina mengangguk dan meraih tas kecil miliknya kemudian keluar kamar menuju parkiran.

Setelah beberapa saat melintasi jalan raya yang lumayan ramai, akhirnya Nina sampai di depan sebuah gedung tinggi bertuliskan ArthaniestCompany. Kakinya membawa nina menuju meja resepsionis dan disambut ramah oleh petugas.

"Halo selamat siang, selamat datang di Arthaniest. Ada yang bisa saya bantu?" Petugas itu tersenyum ramah pada Nina

"Saya mau bertemu Daniel"

"Mohon maaf, Ibu sudah buat janji sebelumnya dengan Pak Daniel?" Nina mengangguk.

"Sudah, bilang saja atas nama Nina"

"Oh Ibu Nina, Bapak sedang meeting tapi pesan beliau, Nona silakan tunggu di ruangannya saja. Anda akan diantarkan oleh rekan saya" Seorang pria menghampiri Nina dengan sopan.

"Selamat siang Bu Nina. Saya Lion, yang akan mengantar anda. Mari" Nina mengikuti pria di depannya menuju lift. Lift yang di khususkan bagi orang penting di perusahaan itu. Para karyawan menatap bingung ketika nina memasuki lift itu. Bertanya-tanya siapa Nina pasalnya pernikahn Daniel terbilang sangat tertutup dan belum di publikasikan, jadi wajar semua menatapnya dengan penuh tanya.

Ting!

Suara pintu lift terbuka dan mereka berjalan ke menuju sebuah ruangan. Nina melihat seorang perempuan berparas cantik keluar dari satu ruangan dengan wajah seperti menahan amarah. Gadis itu menatap sinis pada Nina saat melewatinya, untungnya Nina tidak ambil pusing dan cuek saja.

Pintu ruangan dimana gadis tadi keluar diketuk oleh Lion dan membukanya. Lion mempersilakan Nina masuk.

"Pak Daniel, Ibu Nina sudah sampai. Saya permisi dulu" Lion mempersilakan Nina masuk.

"Nina, lo udah datang" ekspresi Daniel seketika berubah ketika melihat Nina yang terlihat sangat cantik berdiri memandangnya. Dengan cepat Daniel berjalan ke arah Nina dan memeluk tubuhnya erat.

"D-Daniel?"

"Sebentar saja, gua butuh recharge energi" Nina sempat menegang namun membiarkan Daniel memeluknya, tangannya perlahan terulur mengusap punggung lebar milik suaminya itu.

“Sial, jantung gua mau meledak. Dia pasti bisa dengar ah malu banget. Oke tetap tenang Nina. Eh tapi ni anak kenapa tiba-tiba meluk. Dia sakit?” Nina bertanya-tanya di dalam benaknya atas tindakan Daniel yang tiba-tiba.

*Tiga puluh menit sebelumnya*

Daniel baru saja kembali dari salah satu meeting yang dia hadiri. Dia memasuki ruang kantornya namun merasa aneh. Kakinya melangkah ke arah kamar pribadi miliknya, pintunya sedikit terbuka membuat Daniel sedikit berjaga. Ketika tangannya meraih pintu dan membukanya, tubuh Daniel seketika menegang dikarenakan seorang perempuan tiba-tiba memeluknya. Dia berusaha melepaskan pelukan itu dan mendorongnya. Matanya menatap kaget, ketika menyadari siapa yang berada di hadapannya saat ini.

"Luna" Gadis itu tersenyum pada Daniel.

"Aku kangen banget sama kamu Daniel. Ak-"

"Cukup Luna. Lebih baik lo pergi. Sebentar lagi istri gua datang. Gua gak mau istri gua lihat orang asing disini” Ucapnya dingin.

"Maksud kamu apa sih Daniel? Gak usah bercanda gitu. Aku mau minta maaf udah ninggalin kamu. Ayo kita sama-sama coba bangun lagi impian kita, aku tau kamu marah tapi gak usah bercanda kayak gini. Maaf yaaaa" Luna berlagak manja pada Daniel.

"Tidak ada 'kita' diantara kita sekarang Luna. Lebih baik lo pergi. Gua udah nikah. Hubungan kita sudah berakhir disaat lo pergi hilang tanpa sepatah katapun. Tolong jaga batasan lo ke gua, dan jangan datang sembarangan kesini tanpa seijin gua. Silakan pergi sebelum gua panggil security" Daniel menunjuk pintu keluar mempersilakan Luna keluar dan bertepatan dengan Luna keluar, Nina sampai.

Setelah beberapa saat, Daniel akhirnya melerai pelukannya dengan Nina. Namun tangannya masih setia bertengger di pinggang Nina.

"Lo sakit?" Nina menyentuh kening Daniel untuk memeriksa suhu tubuhnya. Tangannya diraih Daniel dan dia tersenyum.

"Enggak, gua gak sakit. Gua cuman capek dan kangen sama lo. Lo cantik banget pakai dress ini. Beli lebih banyak lagi, gua mau liat lo pakai dress setiap hari" Hal itu sukses membuat wajah nina merona.

"Alah gombal banget buaya. Nih makan siangnya, keburu dingin. Gua mau balik"

"Makan sama gua"

"Itu porsi buat lo doang"

"Chef Li udah masukin lebih buat lo. Jadi makan sama gua ya" Tanpa menunggu jawaban Nina, Daniel menariknya ke arah sofa dan mulai membuka kotak makan siang.

“Wow, gua gak tau Chef Li bikin Cookies”

“Itu gua yang bikin, baru belajar sih. Tapi semoga lo suka” Daniel tersenyum hangat.

“Gua pasti suka lah. Kan yang bikinin istri gua”

“ Daniel, stop godain gua ih!!” Daniel tertawa karena sukses membuat Nina salah tingkah. Tangannya meraih sendok dan menyiapkan makanan.

"Aaaa..." Daniel mengarahkan makanan pada Nina sembari tersenyum.

"Ih gua bisa makan sendiri"

"Yang bilang gak bisa siapa? gua cuma mau nyuapin istri gua" Akhirnya Nina luluh dan menerima suapan dari Daniel. Senyum lebar terlukis di wajah Daniel sementara Nina berusaha menenangkan dirinya terlebih jantungnya yang tidak bersahabat sejak Daniel memeluknya tadi.

"Nanti pulang bareng gua aja ya. Mau ke rumah Oma dulu. Katanya Oma mau ngasih sesuatu buat lo"

"Hmm oke. Oh iya, tadi ada cewe keluar dari sini. Kelihatan marah gitu, dia siapa? Pacar lo? Lo gak selingkuh kan? Pertanyaan Nina sukses membuat Daniel berhenti dari kegiatan makannya dan menatap Nina. Ada sedikit rasa panik di wajahnya namun sukses dia tutupi.

"Bukan siapa-siapa. Cuman teman lama dan gua punya prinsip Monogami. Gua gak mungkin selingkuh."

"Ya kan siapa tau aja" Nina ingin bertanya lebih namun ucapannya tertahan ketika ponsel Daniel tiba-tiba berbunyi.

"Sorry, gua angkat dulu" Daniel sedikit menjauh dari Nina ketika menjawab teleponnya. Terlihat begitu penting, Nina hanya melihat suaminya itu yang sangat serius berbicara dengan orang di seberang telepon itu. Tak lama, Daniel kembali dan berpamitan pada Nina untuk menghadiri meeting.

Nina merebahkan tubuhnya pada sofa kantor milik Daniel sembari mengurus sesuatu di ponselnya dan menunggu Daniel kembali. Bosan menunggu, Nina memutuskan untuk melihat-lihat.

Ruang kantor ini terlihat luas. Ada meja kerja, sofa, bahkan ada ruang meeting kecil di dalam. Perhatian Nina teralihkan pada suatu ruangan lain di sana yang pintunya tertutup. Penasaran, dia membuka ruangan itu yang ternyata sebuah kamar tidur sederhana. Tampaknya Daniel sering istirahat disini namun yang aneh ada sedikit aroma parfum disana yang dia rasa tidak asing namun bukan milik Daniel. Nina coba berfikir positif, mungkin ini aroma pewangi ruangan.

Tidak ingin ambil pusing Nina kemudian berjalan keluar, kakinya membawanya melewati ruang meeting yang terbuat dari kaca. Disana Daniel duduk dengan wibawa sembari memperhatikan karyawannya yang tengah menjelaskan sesuatu. Dia menatap kagum pada suaminya itu yang terlibat sangat tampan ketika sedang serius. Ditambah lagi kacamata yang setia bertengger di hidung mancungnya.

Detik berikutnya Nina di buat kaget ketika Daniel tiba-tiba menggebrak meja di depannya sambil berdiri dan mulai marah. Suaranya tidak terdengar karena terhalang ruang kaca namun Nina yakin bahwa suaminya itu sedang marah, melihat ekspresi karyawan di sekitarnya yang menegang. Nina memutuskan untuk kembali ke ruangan Daniel dan menunggu.

"Dia serem banget kalau lagi marah gitu. Beda banget sama yang tadi gua temui. Kayaknya gua harus hati-hati deh ngomong sama dia. Gak banget kalau sampai dia emosi gitu ke gua terus marah terus gua digebrak gitu. No no no"

Saat perjalanan menuju rumah Oma, Nina duduk dengan manis di sebelah Daniel.

"Lo serem banget pas marah ternyata” Daniel menatap Nina dengan bingung.

“Emang lo liat gua marah ?kapan?dan dimana?”

“ Tadi pas gua keliling, gua gak sengaja lewat ruang meeting dan liat lo yang ngamuk. Gimana kalau lo tiba-tiba kesal terus marah sama gua trus-" Ucapannya terputus saat Daniel tiba-tiba mengecup bibir Nina sekilas. Matanya membelalak mendapati sesuatu di bibirnya yang sukses membungkamnya.

"Gua gak punya alasan buat marah sama lo. Gak mungkin gua berani memperlakukan lo kasar apalagi marah. Kalau gua sampai berani, lo bisa gampar gampar gua duluan." Nina bergerak memundurkan wajahnya yang sangat dekat dengan Daniel. Dia yakin saat ini pipinya sudah seperti kepiting rebus.

"Ayok, kita sudah sampai di rumah Oma. Tuh Oma sudah nunggu" Daniel keluar mobil terlebih dahulu, sementara Nina dengan sekuat tenaga mencoba menenangkan dirinya dan detak jantungnya yang tidak karuan.

"Tenang Nina tenang!!! Jangan letoy gini. Haduh dasar hati murahan. Tenangin diri lo, jangan gampangan banget buat mau sama cowo. Eh tapi kan dia suami gua, tapi kan dijodohin, tapi ganteng"

"Nina! Nina...! Hei"

"Hah iya kenapa?"

"Ayok, kok malah bengong, gua panggil dari tadi loh"

"Oh iya" Nina terkekeh mencoba menenangkan dirinya saat Daniel membukakan pintu mobil untuknya. Matanya menatap takjub pada rumah yang baru saja mereka masuki. Tidak jauh berbeda dengan rumah milik Daniel, hanya saja rumah ini terasa sedikit lebih mewah dengan sentuhan klasik di dalamnya.

More Chapters