LightReader

Chapter 8 - TINGGAL

Daniel bangun!!!"

Nina berusaha memberikan pertolongan pertama pada Daniel yang sudah tidak sadarkan diri.

"Please... please..." nafasnya ikut tersengal-sengal karena sudah mulai lelah melakukan CPR namun suaminya itu masih tidak sadarkan diri.

"Ayo dong Daniel, lo bilang mau bikin pernikahan kita berhasil. Gua belum mau jadi janda jadi please bangun!!!" Masih belum ada respon dari Daniel, matanya masih setia tertutup dan tidak ada pergerakan.

"Astaga, Tuan kenapa Nyonya?" Mira yang sempat mendengar teriakan Nina datang menghampiri.

"Mira, panggil Dokter!! Buruan!!!"

"I-iya..." Mira segera beranjak untuk mencari pertolongan.

"Daniel, ayo dong. Jangan nyerah, gua udah mulai buka hati sama lo tapi masa lo ninggalin gua" Lagi Nina memberikan napas buatan lewat mulut berharap dapat menolong Daniel.

"Hahhhhh!!! uhuk...uhukkk" Suara batuk dan nafas berat akhirnya terdengar dari Daniel. Dia kembali sadar, sementara Nina yang sudah kelelahan duduk menunduk di sampingnya sambil berusaha menenangkan nafasnya.

"Lo serius sama apa yang lo bilang?" Nina mengangkat kepalanya dan menatap Daniel.

"Hah? Maksud lo?"

"Lo udah mulai buka hati ke gua?"

"Apa... lo denger apa yang gua bilang?" Daniel mengangguk.

"Semua?" Daniel menggeleng

"Cuman pas lo bilang kakau lo udah mulai buka hati ke gua"

"Ihhh lo tuh ya!! Masih sempet-sempetnya mikirin itu jangan-jangan lo pura-pura lagi jatohnya? Ngaku gak lo!"

"Tadinya gua cuman mau ngerjain lo pura-pura jatuh. Trus pas mau naik, kaki gua keram dan gua tenggelam" Senyum jahil Daniel seketika pudar melihat Nina yang mulai meneteskan air mata.

"Lo gak tau sepanik apa gua pas lo gak muncul dipermukaan!!? Lo becandain hal kayak gini, gak lucu tau gak!! Gimana kalau tadi gua gak bisa nolong lo!!? Gimana kalau tadi gua pergi aja dan nganggep kalau lo cuman main-main!! Lo gak bisa berenang tapi becandaan lo kaya gini. Gak lucu tau gak!!"

Nina mengusap air matanya kasar dan beranjak hendak meninggalkan Daniel namun tangannya di cekat.

"Nina...Nina... gua beneran gak tau bakalan kejadian gini. Please.. sorry... gua minta maaf"

Nina melepaskan pegangan tangan Daniel dan meninggalkannya menuju pintu masuk rumah yang bertepatan dengan Mira yang membawa Dokter.

"Ugh..." Atensi mereka bertiga teralihkan ke arah suara. Daniel tengah berlutut dan kelihatan sedang menahan sakit membuat Nina kembali dan menuju suaminya itu.

"Kenapa...? Ada yang sakit?" Daniel meringis dan tidak merespon ucapan Nina. Tangan Daniel meremas dada kirinya menahan rasa sakit yang luar biasa.

"Daniel, jangan main-main gini!!" Daniel tidak merespon ucapan Nina dan dia tetap meringis kesakitan.

Dengan cepat, Nina dan sang Dokter membantunya bangkit dan masuk ke rumah. Daniel di baringkan di atas sofa dengan sang Dokter tengah memeriksa keadaannya.

Wajah Dokter terlihat serius membuat Nina sedikit khawatir. Ditambah lagi kondisi Daniel yang semakin pucat sembari menahan sakit dan nafasnya yang tidak beraturan. Ada sesuatu yang disembunyikan disana.

Setelah diberikan obat, akhirnya Daniel mulai tenang namun tidak dengan Nina.

"Gimana Dokter?"

Wajah sang Dokter melirik Daniel membuat Nina bingung dan semakin yakin bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Setelah beberapa saat, Daniel mengangguk dan Dokter itu mulai menjelaskan pada Nina.

"Tuan Daniel mempunyai riwayat penyakit Aritmia Jantung yang sepertinya kambuh mungkin karena faktor stress atau hal lainnya. Untungnya masih bisa ditangani dan sudah saya berikan obat. Tolong dipastikan untuk obatnya diminum teratur dan istirahat yang cukup dan jangan terlalu stres" Dokter itu kemudian berpamitan meninggalkan Nina dan Daniel.

Nina menatap Daniel dalam setelah mereka ditinggal berdua. Dia paham bagaimana rasanya terlihat baik-baik saja padahal sedang menyembunyikan luka.

"Jangan tatap gua dengan tatapan kasihan" Ucap Daniel sembari memandang langit-langit. Selama ini dia selalu berusaha terlihat baik-baik saja karena dia akan membenci tatapan orang-orang yang merasa kasihan padanya yang akhirnya membuat dirinya sedikit tertutup dan hanya berinteraksi dengan beberapa orang saja.

Nina menghela nafas dan berjalan ke kamar tanpa sepatah kata apa pun.

Melihat Nina yang pergi, Daniel bangkit untuk duduk dan tertunduk. Meratapi dirinya yang lemah, Daniel berpikir bahwa tidak akan ada seorangpun yang mau menerima pria penyakitan seperti dirinya dan semua akan meninggalkannya.

"Nih..." Daniel mengangkat kepala, di depannya Nina berdiri dengan handuk di tangannya.

"Keringin badan lo dulu" Daniel masih menatapnya diam. Melihat tidak ada pergerakan, Nina dengan inisiatif melebarkan handuk dan memakaikan ke badannya. Nina juga menggunakan handuk lain untuk mengeringkan rambut Daniel yang masih basah.

"Nanti lo kena flu kaya gua kalau basah-basah gini" tangannya masih setia mengusap rambut Daniel dengan lembut.

"Nina...." pergerakan tangan Nina terhenti.

"Hmmmm?" Nina menatap Daniel lama. "Kenapa?"

"Jangan kasihani gua. Kalau lo mau pergi, pergi aja"

"Gua gak akan pergi, bukan karna gua kasihan tapi karna gua paham gimana rasanya berpura-pura kuat" Daniel menatap Nina dengan serius.

"Gua gak pura-pura kuat"

"I know, lo ternyata beneran kuat! Kuat buat pura-pura. Gua ngerti gimana rasanya saat gak ada yang terima lo di saat titik terendah." Daniel menatap Nina seolah memvalidasi ucapannya.

"Lo punya gua sekarang, setidaknya lo bisa cerita apapun ke gua. Kadang, kita cuma butuh seseorang buat ngedengerin kita cerita hal yang gak masuk akal dan somehow it works dan bikin perasaan lebih lega" Nina menatap Daniel, tatapan yang sangat lembut.

"Oma tau?"

"Gua gak bisa kasih tau oma. Gua takut, Papa gua meninggal karena penyakit yang sama. Dia nurunin penyakit ini ke gua, dan gua gak mau oma kepikiran."

"Dengan lo nyembunyiin ini, gua yakin oma bakalan lebih sedih kalau suatu saat nanti dia tau..."

"Gua tau, gua cuman takut mati Nina"

"Stop! Udah... lo gak akan mati i mean semua orang bakalan mati tapi lo gak akan mati sekarang. Kita coba cari cara buat ngatasin. Lo jangan nyerah gitu, masa CEO badas kayak lo gampang nyerah"

"Gua cuma takut aja Nina"

"Wajar kalau takut. Semua orang punya rasa takut. Gua juga punya. Jadi lo bisa stop pura-pura kuat di depan gua, kapanpun lo butuh cerita gua bakalan dengerin" Daniel perlahan mengangguk.

"Soal omongan lo kemaren, gua udah mikirin. Gua gak bakalan tutup-tutupin lagi apa yang gua rasa selama ini. Jujur selama sebulan terakhir dengan semua perhatian kecil dan selalu ada di dekat lo bikin gua nyaman. Gua gak tau apa gua suka atau sekedar nyaman aja sama lo.Tapi kalau lo mau ayo kita coba sama-sama. Ayok buat pernikahan ini berhasil dan gua jadi istri..."

"Lo serius?" Nina mengangguk. "Lo bakalan punya suami penyakitan kaya gua"

"Stop bilang diri lo penyakitan. Lo gak sakit, dan kalau pun iya, lo bakalan sembuh..."

"Lo beneran mau coba?"

"Iya...Tapi gua harap lo bisa sabar sama gua karna gua belum sepenuhnya jatuh ke lo" Daniel tersenyum. Sementara Nina sudah merasa pipinya seperti terbakar. Untuk pertama kalinya dia dengan berani menyatakan perasaannya pada seorang pria yang bahkan sudah menjadi suaminya.

"Yaudah, lo ganti baju dulu gih, biar gua keringin sofanya"

"Biar Mira aja yang keringkan, lo bantu gua ganti baju"

"Ngaco lo!!"

"Kan lo sendiri yang bilang mau coba" Nina menghela napas dan memijit pelipisnya.

"Gak usah macam-macam lo. Sana ganti baju, atau gua berubah pikiran!"

"Oke...oke..." Daniel bangkit sambil tertawa kecil menuju kamarnya meninggalkan Nina yang menatapnya kesal.

"Sakit tapi tetep ngeselin. Hadehhh untung lo suami gua!"

Sebulan berlalu lagi, hubungan Nina dan Daniel semakin membaik dan semakin dekat walaupun masih sering ribut. Ribut menjadi bumbu wajib dalam hubungan mereka.

"Bisa diem gak? Atau ni leher gua cekek!" Daniel hanya tersenyum pasalnya dia terus-terusan menggoda Nina saat dimintai tolong untuk memasangkan dasi.

"Nah, udah rapi"

"Thanks" satu kecupan mendarat di pipi Nina membuatnya melotot namun merona.

"Lo!!! Ngapain cium-cium gua?"

"Gua gak cium-cium lo!"

"Trus barusan apa!?"

"Gua kan cium sekali bukan berkali-kali jadi namanya cium, bukan cium-cium. Atau lo mau gua cium-cium?"

"Jangan mesum lo!"

"Sama istri sendiri kan gak papa" Daniel berjalan mendekat dan hendak memeluk Nina namun gadis itu sukses kabur dan masuk ke kamarnya sementara Daniel hanya terkekeh melihat Nina yang salah tingkah.

Langkah kaki Nina terdengar menuruni anak tangga menuju dapur, di sana Daniel sudah menunggu dengan segelas kopi dan sarapan yang sudah disiapkan oleh Chef Li. Dengan sekuat tenaga Nina menenangkan detak jantungnya, berjalan mendekati Daniel dan duduk disebelahnya.

Dengan cekatan, Daniel menuangkan segelas jus untuk Nina dan menaruhnya di hadapannya.

“Jusnya masih fresh Kayak lo” Goda Daniel dan langsung dibalas tatapan tajam oleh Nina.

“Apaan sih…” Daniel tersenyum jahil.

"Nanti siang, boleh tolong bawain bekal ke kantor?" Permintaan itu membuat nina menatap Daniel tak percaya.

"Hah!?, kantor. Gua kan gak tau kantor lo dimana. Lagian gak biasanya loh"

"Nanti bakalan di anterin sama supir. Pas di kantor bakalan di arahin sama receptionisnya. Boleh ya? gua lagi pengen aja." Ingin sekali rasanya Nina menolak, tapi wajah memelas Daniel sukses membuatnya mengangguk.

"Yaudah, habis itu gua langsung balik ya" Daniel mengangguk dan tersenyum. Tangannya mengelus lembut rambut Nina

"Ihh jangan elus-elus gak baik" Nina menepis tangan Daniel dengan lembut

"Gak baik? Gak baik kenapa"

"Gak baik buat jantung gua. Ya pokoknya gitu deh" Daniel hanya tersenyum, menyadari bahwa Nina tengah menahan salah tingkah.

“Oh iya, gua duluan ya. Gua ada meeting pagi ini" Daniel beranjak dan berjalan ke pintu namun berbalik badan dan kembali ke Nina.

"Kenapa? Ada yang ketinggalan?"

"Ada" Satu kecupan mendarat di kening Nina.

"Sampai ketemu nanti siang istriku" setelahnya Daniel berjalan keluar meninggalkan Nina yang sukses merona dan mematung seperti orang bodoh.

More Chapters